By: Archie Wellen
Retold by: Cristine Lindop
Trandlated by: Siti Nadroh
Rumah, bagi sebagian
suku Aborigin di Australia berarti sebuah perkemahan diluar kota, jauh dari
tempat-tempat orang kulit putih tinggal.
William Jacob Woodward
(Billy) pulang ke rumah dimana dia tumbuh, rumah yang jauh dari kota tempatnya
menjadi seorang pelukis dari suku Aborigin yang sukses dan seorang bintang
sepakbola didunia orang kulit putih. Tapi, berada jauh dari rumah selama lima
tahun adalah waktu yang lama…
***
I want to go home
I want to go home
Oh, Lord, I want to go
home…
Suara
penyanyi itu muncul dari kaset dan keluar melalui udara, memasuki dunia
nyanyian burung-burung magpie dan keheningan malam.
Lelaki itu
tidak tahu akan dunia itu. Dunianya adalah mobil baru yang berkilau, Kingswood
besar yang melewati jalanan dengan cepat.
Akhirnya dia
bisa berbangga hati dan berjalan dengan kepala diangkat tinggi seperti yang
dilakukan leluhurnya bertahun-tahun yang lalu.
Dia baru saja melaksanakan pertunjukkan pertamanya satu bulan lalu.
Semua lukisannya habis terjual lalu dia membeli mobil dengan uang yang dia dapatkan.
Tangan hitamnya
menggerakkan roda hitam berkilau yang berputar di persimpangan. Selama lima
tahun dia bekerja keras dan menabung, sekarang, diulang tahunnya yang ke
duapuluhsatu, dia pulang dengan mobil baru, pakaian baru, dan hidup yang baru.
Dia mengambil sebatang rokok dari sebuah kotak yang ada dipinggirnya, lalu
menyalakannya. Rambutnya rapi dan pakaiannya bersih.
Billy
Woordward pulang ke rumahnya, dengan bangga dan gagah, seperti seorang tentara
yang kembali dari medan perang.
***
Enambelas
tahun. Tahun terakhir di sekolah.
Adiknya,
Carlton dan sepupunya, Rennie Davis, berada dipinggir sungai, pada malam terakhir
sebelum dirinya pergi ke universias di Perth, disana mereka bertiga merayakan
pesta perpisahan, bersama gadis-gadis mereka disampingnya. Udara panas yang
sunyi, sinar bulan disungai, suara bisikan dan tawa kecil. Juga dentingan
botol-botol bir yang beradu.
Masa-masa di
universitas, dengan semua tugas dan pelajaran, semua orang melakukan hal yang
sama dengan cara yang sama – tapi saat bermain sepakbola, Billy menjadi berbeda
dari biasanya.
Tangan
hitamnya menangkap bola. Kaki hitamnya menendang bola. Loncatannya menyundul
bola, melambung tinggi ke langit yang panas.
Tidak ada
seorangpun yang bisa menghentikannya. Dia lupa dengan sungai-sungai,
orang-orang sedarahnya, dan seorang gadis dihatinya.
Saat dia
berumur delapanbelas tahun, dia dipilih menjadi aggota tim terbaik di kota. Itu
adalah tahun dimana dia bermain untuk Australia Barat. Saat itu, dia dianggap
sebagai pemain terbaik. Itu adalah tahun-tahun kenangannya.
Dia tidak
pernah pergi ke perkemahan di Guildford, jadi dia tidak pernah melihat
orang-orang seperti dirinya; hitamnya, sunyinya, tatapan orang-orangnya, keributan
dan ketakutannya, orang-orang yang mabuk. Dia yang sekarang seperti orang kulit
putih.
William
Jacob Woodward menyelesaikan masa lima tahun sekolahnya dengan hasil yang
memuaskan. Semua guru sangat bangga kepadanya. Dia pergi ke Institut Teknologi
Australia Barat untuk belajar melukis. Dia memakai pakaian bersih dan memotong
rambutnya sehingga semua gadis disana menyukainya.
Billy adalah
seorang lelaki yang tampan, dengan hidung dan dagu yang mirip kakeknya dan
ketenangan dari leluhur suku Aborigin. Dia berdiri tegak dan penuh kebanggaan,
dengan bibir sensitif dari seorang pemimpi dan tatapan mata cokelat emas yang
tenang.
Dia pergi ke
klub malam secara rutin dan duduk sendiri di satu sudut yang gelap, atau
bersama seorang gadis yang dilukisnya. Dia biasanya minum anggur dan melihat
orang-orang kulit putih berdansa diringi musik berirama cepat.
Dia sedang
berjalan menuju rumahnya ketika seorang wanita aborigin setengah baya keluar dari
sebuah gang dipinggir jalan dan setengah menghalanginya, kedua tangannya
menarik kaos Billy. Wanita itu tertawa didepan muka Billy dalam keadaan mabuk.
“Billy! Ya,
kau Billy Woodward, kan?”
“Ya. Siapa
kau?” tanya Billy dengan ketus.
“Kau tidak
tahu siapa aku? Aku adalah Rose, bibimu, dari pedalaman Koodup.” Wanita itu
tertawa lagi. Jelek, sangat jelek. Matanya merah dan kuning, giginya rusak, dan
rambutnya kotor tidak terawat.
Dia dari
suku yang sama dengan dirinya.
Dia
mendorong wanita itu dan menginggalkannya dengan cepat. Tapi berhari-hari
setelah kejadian itu, dia selalu teringat dengan wajah wanita itu setiap kali
dia mencoba membuat sebuah lukisan. Dia merasa sangat malu bahwa orang seperti
wanita itu sama seperti dirinya, dari satu suku yang sama.
Kehidupan
Billy adalah: melukis gambar, bermain bola dan bersandiwara. Tapi orang-orang
dari sukunya tahu, mereka selalu mengetahuinya.
Dipertandingan sepakbolanya yang terakhir, dia bermain melawan seorang lelaki
setengah aborigin yang terus menatapnya selama permainan berlangsung dengan
matanya yang hitam.
Setelah
permainan berakhir, keluarga lelaki itu tiba dengan sebuah mobil tua besar.
Billy, berdiri bersama teman-temannya yang berkulit putih, melihat kearah
mereka dari kejauhan. Dia melihat anak-anak menendang bola dengan berteriak dan
tertawa, dan dua orang lelaki disamping mobil itu membicarakan pemain yang
lebih muda, seorang gadis cantik menoleh keluar dari jendela mobil, dan
sepasang orang tua berada dibelakangnya. Ketiga lelaki itu melihat kearah Billy
– Billy yang fashionable, bersama teman-teman kulit putihnya. Senyum mereka
membeku beberapa saat, tatapan mata mereka seperti sebuah pisau yang menusuk
Billy.
Oleh karena
itu Billy pulang, karena dia teringat akan rumahnya saat dipertandingannya yang
terakhir itu.
Malam itu
hujan. Malam hari – waktu dimana perasaan takut akan hantu muncul seperti akan
membunuh, dengan tidak meninggalkan jejak apapun ditanah dibelakang mereka,
lewat bagaikan bayangan awan mendung disekitar matahari.
Pepohonan
bergerak di bawah sinar yang redup. Sesuatu yang aneh berwarna hitam dengan rambut yang panjang dan berantakan,
menarik tangan Billy. Para leluhur seolah menangis, “ingat aku.” Suara jeritan
atau bisikan yang lelah; lelah karena peringatan tak berguna yang tidak
didengarkan. Billy tidak mengerti pepohonan itu. mereka melempar Billy ke
depan, bahkan saat dia berfikir untuk kembali dan tidak pulang ke rumahnya –
sebuah tempat yang dia pernah berjanji pada dirinya untuk tidak pernah kembali
kesana lagi.
Terdengar
langkah kaki di jalan tepat dipersimpangan Koodup.
Ternyata
seorang lelaki suku Aborigin.
Billy
menghentikan mobilnya, atau dia akan menabrak lelaki itu.
Pintu mobil terbuka.
Lelaki itu
masuk kedalam mobil bersama angina dan hujan.
“Terimakasih,
kawan. Dingin sekali disini.” Katanya, kemudian lelaki itu menatap Billy dengan
mata hitamnya yang tajam. “Apa kau ini seorang Nyoongah*, kawan?”
“Ya.”
“Well, namaku Darcy Goodrich.”
Dia mengulurkan
tangannya yang kasar, kuning kecokelatan, dan kotor. Suatu kesedihan seumur
hidup melekat disetiap sela jarinya.
Billy
berjabat tangan dengannya, “Namaku William Woodward.”
“Benarkah?”
kedua matanya melihat kearah Billy lagi. “Kau menuju daerah sekitar Koodup,
William?”
“Ya.”
“Bagus. Oh...
mobil milikmu ini bagus sekali. kau pasti punya banyak uang, kan?”
Billy hanya
diam.
Dia lebih
suka kalau lelaki basah yang kedinginan itu tidak bersamanya. Dia tetap
memfokuskan mata cokelat keemasannya ke jalanan didepannya.
“Punya
rokok, William?”
“Tentu,
silakan ambil sendiri.”
Jari-jari
hitam itu membuka kotak rokok yang mahal milik Billy.
“Kau mau
juga, kawan?”
“Terimakasih.”
“Apakah kau
putra Teddy Woodward, William?”
“Ya, itu
benar. Bagaimana kabar ibu dan ayah, dan semuanya?”
Akhirnya dia
mengetahui semua tentang keluarganya dan larut dalam lautan kesedihan.
Darcy
melihatnya dengan terkejut, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Dia
menghisap rokoknya tanpa suara.
“Apa yang
tidak kau ketahui?” tanyanya dengan pelan. “Ayahmu seorang pemabuk. Dia seorang
pemabuk yang buta. Mobilnya datang entah dari mana ketika dia menyeberang jalan
dimalam hari seperti ini. Tidak ada yang melihatnya. Tidak ada yang
menghentikannya atau membantunya. Saudaramu Carl menemukan ayahmu dihari
berikutnya dan tidak ada yang membantunya. Kejadian itu terjadi beberapa tahun
lalu.”
Beberapa
tahun lalu – itu berarti saat Billy berumur sembilanbelas tahun, saat dia
menjadi bintang sepakbola. Disalah satu malam yang bersinar bersama orang-orang
kulit putih, saat dia hidup dengan kondisi yang baik ditemani anggur dan wanita
kulit putih, Ayahnya justru meninggal di kota – seorang diri.
Dia
mengingat ayahnya sebagai seorang lelaki yang berani berbuat curang bahkan
lebih baik dari orang lain di perkemahan saat bermain kartu disuatu acara. Dia
bisa membuat perahu dari bulu-bulu bebek, kemudian dia, Carlton dan Billy
berlomba dipinggir danau, dimana orang-orang dulu sering datang, awalnya.
Cahaya dari
Koodup menyinari dirinya saat ia melewati sebuah tikungan.
“Kuberitahu
padamu, kawan. Berhentilah di hotel lalu beli sekardus bir.”
“Baiklah,
Darcy.” Billy tersenyum dan melihat lelaki itu untuk pertama kalinya. Dia
akhirnya menyadari kalau dirinya butuh seoraang teman untuk menemaninya pulang
dan bercerita tentang kehidupan lamanya.
“Kau pasti
ingin bertemu dengan keluargamu lagi, kan?” tanya Darcy.
Keluarganya:
Bibi Rose yang jelek, mendiang ayahnya yang dilupakan, kakak dan sepupunya yang
nakal. Bahkan lelaki pendiam ini. Mereka semua adalah keluarganya. Berasal dari
suku yang sama dengannya.
Dia tidak
akan pernah bisa menyangkalnya.
Mobilnya
berhenti disamping hotel, kemudian dua orang Nyoongah itu berlari dibawah hujan
lalu masuk ke bar hotel yang gelap.
Pelayan bar
disana lama sekali menghampiri mereka, walaupun bar itu sangat sepi pengunjung.
Sepasang mata merah menatap Billy.
“Tolong
sekardus bir.”
“Hanya orang
bajingan yang minum bir di perkemahan. Polisi mengatakan kepadaku bahwa
orang-orang yang banyak minum sepertimu hanya menimbulkan masalah.”
“Oh ayolah,
kami akan meminumnya ditempat yang kami mau, kawan.”
“Benarkah?
Kau memang bajingan!” pelayan bar itu menatap Billy dengan terkejut. “Baiklah,
kau tidak akan mendapat apapun dariku. Kau bisa pergi dari sini sebelum aku
memanggil polisi. Mereka akan memberitahumu apa yang boleh dan tidak boleh kau
lakukan, negro sialan yang pintar!”
Sesuatu
menohok perasaan billy dengan sangat kuat sehingga dia ingin menarik pelayan
bar itu dan memukulnya.
Billy
berkulit hitam, dan pelayan bar itu berkulit putih, dan tidak ada yang bisa
mengubahnya.
Setiap waktu
billy bebas menikmati anggur di klub malam dengan pakaian berkelas dan
dikelilingi oleh senyuman dari wanita – wanita kulit putih, dia bisa memainkan
permainan orang-orang kulit putih bahkan lebih baik dari orang-orang di sukunya.
Dan melukis pemandangan kotanya dengan warna-warna yang disukai orang kulit
putih, sementara orang-orang sebangsanya justru meremehkan dan menganggapnya
tidak berguna, selama itu pula dia menganggap dirinya lebih baik dari orang
lain di suku bangsanya.
Tapi pada
akhirnya, dia hanya lelaki negro.
Darcy
berajalan perlahan mendekati pelayan bar yang sedang marah itu.
“Permisi… Tuan
Owett, tapi William baru saja pulang, lihat.” Katanya. Dia merasa malu karena
telah membuat kesalahan. “Kami akan meminumnya di perkemahan, kau tahu.”
“Baru
pulang? Mengapa dia dipenjara?”
Billy
memukul pelayan bar itu sebagai jawaban, tepat diperutnya dan sangat
menyakitkan.
“Baiklah... Baiklah,
Darcy, aku akan melupakan kejadian ini sekarang juga. Hanya saja, jangan
biarkan kawanmu ini membuatku kesal lagi.”
Mereka
diguyur hujan lagi saat keluar dari bar itu dan masuk kedalam mobil. Lalu pergi
menjauh melewati jalanan berbatu sekitar satu kilo meter meninggalkan kota.
Darcy membuka satu botol dan memberikannya ke Billy.
“Kalau kau
bertindak bodoh, kawan, kau akan pergi jauuuuhhhh dari kota ini.”
Billy minum
bir pahit itu sangat banyak. Rasanya seperti sinar matahari setelah badai
hebat. Dia mulai merasa tenang.
“Hey, Darcy,
hari ini umurku tepat 21 tahun.”
Darcy
tersenyum lebar dan menjulurkan tangannya.
“Duaputuluhsatu?
Bagaimana rasanya?”
“Tidak ada
bedanya dari kemarin.”
Billy
menjabat tangan Darcy.
Mereka
tertawa dan minum untuk merayakan hari ulang tahun Billy sambil menuju
perkemahan. Gelap dan basah, dengan angin kencang dan hujan yang menyerang pondok-pondok
suku aborigin yang tidak beraturan bentuknya. Darcy menunjuk ke sebuah pondok diujung
perkemahan.
“Ibumu
tinggal disana.”
Bangunan itu sederhana, terbuat dari logam dan kayu. Dua buah karung, dijahit
menjadi satu, dijadikan sebuah pintu. Dimana-mana terlihat mainan berukuran
kecil yang berserakan, dan lumpur.
Billy
berhenti sedekat mungkin dengan pintu Dia sudah lupa seperti apa rumahnya.
“Ayo, kawan.
Ayo lihat ibumu. Kau mungkin beruntung, dan lihat saudaramu.”
Perlahan dia
keluar dari mobil, tempat yang sunyi dan kumuh itu menariknya.
Dia adalah salah
satu anggota keluarga itu.
Dia
mengikuti Darcy melewati pintu yang terbuat dari karung itu. Dia merasa tidak yakin
dan khawatir sendiri.
Disana ada
enam orang: dua wanita tua, seorang lelaki sangat tua, dua lelaki muda, dan
seorang wanita muda yang pemalu, yang menanti seorang bayi. Lelaki muda yang
berada paling dekat ke pintu melihat keluar dengan wajah yang kekuning-kuningan.
Rambut hitam panjang terurai di wajahnya. Dia memakai baju berwarna merah dari
bahan katun – merah untuk tanah leluhurnya, merah untuk darah yang jatuh ke
tanah saat bangsa kulit putih datang. Merah, satu-satunya hal yang bersinar di
tempat yang gelap dan membosankan ini.
Lelaki muda
itu tersenyum tipis kearah Darcy dan birnya.
“Selamat
siang, Darcy, dia temanmu?”
“Kau ini bodoh sekali, Carl. Dia ini kakakmu yang baru pulang.”
Carlton
menatap Billy, tidak percaya dengan ucapan Darcy. Kemudian, senyumnya sedikit
mengembang. Lalu dia berdiri, mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman dan
saling menatap, tersenyum. Kebahagiaan muncul secara perlahan diantara
keduanya.
Lalu Rennie,
sepupunya yang tinggi, kurus serta berambut kemerahan dan mata abu-abu,
bersalaman dengannya. Dia mengenalkan Billy kepada ibunya, Phyllis, yang mengingatkan
Billy pada China Groves dan Florrie Waters sebagai orang tua ibunya.
Ibu Billy duduk
terdiam di meja dapur. Sebelah matanya tidak bisa melihat, sebelah lagi menatap
putranya, tapi tidak ada pancaran selamat datang darinya. Dia terlalu angkuh
untuk menunjukkan rasa sakitnya.
Dari wanita ini aku lahir, fikir Billy, seperti bunga yang muncul dari tanah. Dari perkemahan ini dia terbang.
Dia
mengingat ibunya sebagai seorang wanita berkulit cokelat yang mudah tertawa,
dengan rambut hitam panjang, dia bernyanyi dengan pelan sambil membersihkan
rumah atau memasak. Sekarang dia sudah tua dan terlihat bodoh dengan segala
kesedihannya.
“Jadi,
akhirnya kau kembali. Kenapa kau tidak pulang saat kami memakamkan ayahmu?
Kukira kau berfikir kalau kau jauh lebih baik dari keluarga lamamu, ‘kan?” dia
bergumam dengan suara yang kecil bahkan sebelum Billy sempat mengucapkan salam.
Lalu matanya kembali menunjukkan kesedihan.
“Hari ini
ulang tahunku, bu. Aku ingin melihat semua orang. Tidak ada yang memberitahuku
kalau ayah sudah meninggal.”
Carlton
menatap Billy.
“Pasti yang
ke duapuluhsatu, kan, Billy.”
“Ya.”
“Baiklah,
kita harus adakan pesta,” Carlton tersenyum. “Kami akan membeli minuman.”
Carlton dan Rennie
pergi ke kota dengan menggunakan mobil Billy. Saat mereka pergi, Billy merasa
sungkan dan kesepian. Ibunya hanya menatapnya. Phyllis tidak mengucapkan
apapun, dan neneknya mengobrol dengan Darcy, obrolan perkemahan yang tidak
dimengerti oleh Billy.
Kedua
saudaranya kembali melalui pintu dengan sebuah kardus yang ditaruh diatas meja
oleh Carlton, kemudian dia mendekati kakaknya. Wajahnya menatap Billy seperti
anak kecil yang menunggu untuk menunjukkan sesuatu yang dia buat kepada
ayahnya. Bibirnya yang hitam berusaha tidak tersenyum.
“Selamat
ulang tahun, Billy.” Kata Carlton, lalu memberikan sebuah jam tangan emas yang
berkilau dari dalam saku celana jins nya.
“Jam tangan itu
hidup, Billy.” Kata Rennie disamping ibunya, Darcy dan China tertawa.
Gelak tawa
menari didalam ruangan itu seperti daun-daun kering yang melayang lepas dari
pohonnya.
Mereka minum
dan mengobrol. Darcy pulang ke rumahnya dan para orang tua pergi tidur. Ibunya
tidak berkata apapun kepada Billy sepanjang malam. Esok pagi Billy akan membeli
beberapa gorden cantik untuk jendela, memasang sebuah pintu yang lebih baik,
dan membeli baju yang paling bagus untuk ibunya.
Mereka
teringat dengan kenangan indah saat Billy bukanlah William Woodward si bintang
sepakbola dan artis, tapi Billy si anak nakal, dengan senyum lebar dan
dikelilingi oleh gadis-gadis cantik karena postur tubuhnya yang bagus.
Disinilah
mereka – berkumpul bersama lagi, tapi sekarang Rennie akan menjadi seorang
ayah, dan Carlton baru saja kembali setelah tiga bulan dipenjara. Dan Billy?
Dia tidak dimanapun.
Akhirnya
Carlton berdiri.
“Waktunya
tidur.” Dia menepuk pundak kakaknya dengan pelan. “Sampai jumpa besok, Billy.”
Dia tersenyum.
Billy
berbaring diatas selimut dan memandang api yang hampir mati. Dalam fikirannya
dia bisa mendengar suara ayahnya yang menceritakan sebuah kisah, dan suara
ibunya yang menyanyi. Lalu dia tertidur.
***
Dia bangun
karena mendengar suara burung-burung magpie di pepohonan yang sunyi. Dia turun
ke lantai dan berjalan menuju pintu dengan perlahan.
Mata Carlton
melihatnya dari balik selimut di tempat tidurnya.
“Kau mau kemana?” Dia berbisik.
“Hanya
jalan-jalan.”
“Sampai
jumpa lagi, Billy.” Dia tersenyum lalu kembali tidur. Billy pergi keluar.
Matahari dengan
gerimis kecil muncul keatas bukit dan menyinari perkemahan. Gelas-gelas yang
pecah terkena sinar matahari, terlihat putih, seperti tulang binatang yang
mati. Beberapa anak muda berdiri mengelilingi mobil Billy. Billy melambaikan
tangannya kearah mereka dan mereka balas melambai kearahnya. Setelah mandi, Billy
pergi ke danau. Dia ingin – sangat ingin – mengingat ayahnya.
Dia berdiri
disana, melihat kilauan hujan yang jatuh ke air yang hijau. Burung-burung
bernyanyi dengan kencang dan jelas dari pepohonan disekitarnya yang berwarna
hijau, cokelat dan hitam. Lalu dia berjalan kembali ke pondok. Asap dari api
melambung keatas dan menyatu dengan awan mendung.
Saat dia
tiba dipinggir perkemahan, sebuah mobil polisi dengan paksa berjalan melewati
lumpur dan sampah.
Seseorang yang berkulit putih menatap garang kearahnya.
Mobil itu berhenti.
“Hey kau!
Kemari!”
Orang-orang
disekitar perapian melihatnya dari sudut mata mereka, saat dia berjalan
mendekat.
“Itu
mobilmu?”
“Ya.” Billy
menatap polisi besar dengan seragam biru itu. disampingnya ada supirnya, polisi
yang lain.
“Siapa
namamu, dan darimana kau mendapatkan mobil itu?” tanya si supir.
“Aku sudah
bilang kepadamu, itu mobilku. Namaku William Jacob Woodward, ada masalah?”
Billy menjawab dengan marah.
Polisi itu
keluar dari mobilnya. Dia melihat Billy yang hitam, yang tiba-tiba saja merasa
kecil dan lemah.
“Kau saudara
Carlton?”
“Jika kau
ingin tahu –“
“Aku ingin
kau tahu, kau negro sialan. Aku ingin tahu semua tentangmu.” Jawab polisi itu.
“Ya, seperti
dimana kau semalam saat toko dirampok, secepat kau pulang kerumah dan
menimbulkan masalah di bar.” Jawab si supir.
“Aku tidak
membuat masalah, dan aku tidak terlibat dalam perampokan apapun. Aku suka
caramu datang kemari saat ada masalah –”
“Jika kau
tidak terlibat dalam perampokan, lalu jam tangan apa ini?” tanya polisi itu penuh
kemenangan, lalu dia menarik tangan Billy yang sudah melukis banyak gambar
indah untuk suku bangsanya. Dia menariknya ke punggung Billy, lalu melempar
Billy kearah mobil polisi itu. jam tangan emas itu menggantung diantara
jari-jarinya yang merah muda.
“Dengar, aku
disini sejak semalam. Kau bisa tanyakan pada nenekku atau Darcy Goodrich.” Tapi
perasaan Billy tahu kalau itu bukan solusinya.
“Jangan
katakan itu padaku. Saat ada masalah, kalian, orang-orang sialan, akan
bekerjasama seperti lalat mengerumuni toilet.” Kata si supir.
Tidak ada
gunanya lagi. Tidak dengan pepohonan, yang dengan bebas melepaskan ranting
kecilnya. Tidak dengan orang-orang disekitar api yang hangat. Tidak dengan
hujan, yang turun membasahi leher dan kulitnya. Hanya lelaki besar dan mesin
yang berkilau dengan tulisan POLISI dipinggirnya.
“Kau negro
sialan, aku akan membuatmu – dan saudara kandungmu – menyesal. Semalam kau
hampir membunuh si Peter tua.” Kata si polisi besar. Lalu supir yang berdiri
disampingnya, menatap Billy dengan marah dibalik kacamata hitamnya.
“Kalian
keluarga Woodwards semuanya sama saja, pencuri sialan. Jika kau fikir kau
adalah seorang petinju dan memukul orang tua, kau bisa mencoba melawan polisi
besar ini saat kami kembali ke pos.”
“Ayo tangkap
yang lainnya, Morgan.” Kata si polisi besar. “Bu Riley bilang kalau ada dua
orang lagi dari mereka.”
Billy
dipaksa masuk kedalam mobil itu dengan kasar, dan duduk disana dengan malang
saat mobil itu berjalan menjauh dari perkemahan. Dia melihat Kingswood baru yang
berdiri di lumpur. Darcy, Rennie yang ketakutan, dan beberapa orang lain
berdiri disana, menatap dengan hampa. Billy melihat polisi itu menarik
saudaranya dari dalam pondok, matanya penuh kesedihan,menunduk ke tanah. Dia
didorong masuk ke mobil bagian belakang.
Carlton melihat
Billy dengan tatapan putus asa, lalu tersenyum lemah.
“Selamat
datang di rumah, kakak.” Dia berbisik.
***
Catatan:
*Nyoongah adalah sebutan untuk penduduk asli suku Aborigin.
Archie Wellen (1957–) tumbuh di sebuah peternakan didaerah Barat daya Australia. Novel pertamanya yang berjudul Day of the Dog terbit pada tahun 1981 yang kemudian dijadikan sebuah film berjudul Blackfellas ditahun 1993. Buku dan filmnya memenangkan banyak penghargaan. Novel keduanya, Land of the Golden Clouds, diterbitkan pada tahun 1998. Dia juga menulis puisi, cerita pendek, dan drama. Menuturnya sangat penting bagi suku Aborigin untuk menulis tentang pengalaman hidup mereka karena “manusia mati dan membawa perasaan mereka bersamanya tapi tulisan tetap hidup selamanya.”
*Nyoongah adalah sebutan untuk penduduk asli suku Aborigin.
Archie Wellen (1957–) tumbuh di sebuah peternakan didaerah Barat daya Australia. Novel pertamanya yang berjudul Day of the Dog terbit pada tahun 1981 yang kemudian dijadikan sebuah film berjudul Blackfellas ditahun 1993. Buku dan filmnya memenangkan banyak penghargaan. Novel keduanya, Land of the Golden Clouds, diterbitkan pada tahun 1998. Dia juga menulis puisi, cerita pendek, dan drama. Menuturnya sangat penting bagi suku Aborigin untuk menulis tentang pengalaman hidup mereka karena “manusia mati dan membawa perasaan mereka bersamanya tapi tulisan tetap hidup selamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar