Pages

Senin, 01 Agustus 2016

Pulang



By: Archie Wellen
Retold by: Cristine Lindop
Trandlated by: Siti Nadroh




 

Rumah, bagi sebagian suku Aborigin di Australia berarti sebuah perkemahan diluar kota, jauh dari tempat-tempat orang kulit putih tinggal.

William Jacob Woodward (Billy) pulang ke rumah dimana dia tumbuh, rumah yang jauh dari kota tempatnya menjadi seorang pelukis dari suku Aborigin yang sukses dan seorang bintang sepakbola didunia orang kulit putih. Tapi, berada jauh dari rumah selama lima tahun adalah waktu yang lama…

***



I want to go home
I want to go home
Oh, Lord, I want to go home…

Suara penyanyi itu muncul dari kaset dan keluar melalui udara, memasuki dunia nyanyian burung-burung magpie dan keheningan malam.

Lelaki itu tidak tahu akan dunia itu. Dunianya adalah mobil baru yang berkilau, Kingswood besar yang melewati jalanan dengan cepat.

Akhirnya dia bisa berbangga hati dan berjalan dengan kepala diangkat tinggi seperti yang dilakukan leluhurnya bertahun-tahun yang lalu.  Dia baru saja melaksanakan pertunjukkan pertamanya satu bulan lalu. Semua lukisannya habis terjual lalu dia membeli mobil dengan uang yang dia dapatkan.

Tangan hitamnya menggerakkan roda hitam berkilau yang berputar di persimpangan. Selama lima tahun dia bekerja keras dan menabung, sekarang, diulang tahunnya yang ke duapuluhsatu, dia pulang dengan mobil baru, pakaian baru, dan hidup yang baru. Dia mengambil sebatang rokok dari sebuah kotak yang ada dipinggirnya, lalu menyalakannya. Rambutnya rapi dan pakaiannya bersih. 

Billy Woordward pulang ke rumahnya, dengan bangga dan gagah, seperti seorang tentara yang kembali dari medan perang.

***


Enambelas tahun. Tahun terakhir di sekolah.

Adiknya, Carlton dan sepupunya, Rennie Davis, berada dipinggir sungai, pada malam terakhir sebelum dirinya pergi ke universias di Perth, disana mereka bertiga merayakan pesta perpisahan, bersama gadis-gadis mereka disampingnya. Udara panas yang sunyi, sinar bulan disungai, suara bisikan dan tawa kecil. Juga dentingan botol-botol bir yang beradu.

Masa-masa di universitas, dengan semua tugas dan pelajaran, semua orang melakukan hal yang sama dengan cara yang sama – tapi saat bermain sepakbola, Billy menjadi berbeda dari biasanya.

Tangan hitamnya menangkap bola. Kaki hitamnya menendang bola. Loncatannya menyundul bola, melambung tinggi ke langit yang panas.

Tidak ada seorangpun yang bisa menghentikannya. Dia lupa dengan sungai-sungai, orang-orang sedarahnya, dan seorang gadis dihatinya.

Saat dia berumur delapanbelas tahun, dia dipilih menjadi aggota tim terbaik di kota. Itu adalah tahun dimana dia bermain untuk Australia Barat. Saat itu, dia dianggap sebagai pemain terbaik. Itu adalah tahun-tahun kenangannya.

Dia tidak pernah pergi ke perkemahan di Guildford, jadi dia tidak pernah melihat orang-orang seperti dirinya; hitamnya, sunyinya, tatapan orang-orangnya, keributan dan ketakutannya, orang-orang yang mabuk. Dia yang sekarang seperti orang kulit putih.

William Jacob Woodward menyelesaikan masa lima tahun sekolahnya dengan hasil yang memuaskan. Semua guru sangat bangga kepadanya. Dia pergi ke Institut Teknologi Australia Barat untuk belajar melukis. Dia memakai pakaian bersih dan memotong rambutnya sehingga semua gadis disana menyukainya.

Billy adalah seorang lelaki yang tampan, dengan hidung dan dagu yang mirip kakeknya dan ketenangan dari leluhur suku Aborigin. Dia berdiri tegak dan penuh kebanggaan, dengan bibir sensitif dari seorang pemimpi dan tatapan mata cokelat emas yang tenang.

Dia pergi ke klub malam secara rutin dan duduk sendiri di satu sudut yang gelap, atau bersama seorang gadis yang dilukisnya. Dia biasanya minum anggur dan melihat orang-orang kulit putih berdansa diringi musik berirama cepat.

Dia sedang berjalan menuju rumahnya ketika seorang wanita aborigin setengah baya keluar dari sebuah gang dipinggir jalan dan setengah menghalanginya, kedua tangannya menarik kaos Billy. Wanita itu tertawa didepan muka Billy dalam keadaan mabuk.

“Billy! Ya, kau Billy Woodward, kan?”

“Ya. Siapa kau?” tanya Billy dengan ketus.

“Kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Rose, bibimu, dari pedalaman Koodup.” Wanita itu tertawa lagi. Jelek, sangat jelek. Matanya merah dan kuning, giginya rusak, dan rambutnya kotor tidak terawat.

Dia dari suku yang sama dengan dirinya.

Dia mendorong wanita itu dan menginggalkannya dengan cepat. Tapi berhari-hari setelah kejadian itu, dia selalu teringat dengan wajah wanita itu setiap kali dia mencoba membuat sebuah lukisan. Dia merasa sangat malu bahwa orang seperti wanita itu sama seperti dirinya, dari satu suku yang sama.

Kehidupan Billy adalah: melukis gambar, bermain bola dan bersandiwara. Tapi orang-orang dari sukunya tahu, mereka selalu mengetahuinya.

Dipertandingan sepakbolanya yang terakhir, dia bermain melawan seorang lelaki setengah aborigin yang terus menatapnya selama permainan berlangsung dengan matanya yang hitam.

Setelah permainan berakhir, keluarga lelaki itu tiba dengan sebuah mobil tua besar. Billy, berdiri bersama teman-temannya yang berkulit putih, melihat kearah mereka dari kejauhan. Dia melihat anak-anak menendang bola dengan berteriak dan tertawa, dan dua orang lelaki disamping mobil itu membicarakan pemain yang lebih muda, seorang gadis cantik menoleh keluar dari jendela mobil, dan sepasang orang tua berada dibelakangnya. Ketiga lelaki itu melihat kearah Billy – Billy yang fashionable, bersama teman-teman kulit putihnya. Senyum mereka membeku beberapa saat, tatapan mata mereka seperti sebuah pisau yang menusuk Billy.

Oleh karena itu Billy pulang, karena dia teringat akan rumahnya saat dipertandingannya yang terakhir itu.
Malam itu hujan. Malam hari – waktu dimana perasaan takut akan hantu muncul seperti akan membunuh, dengan tidak meninggalkan jejak apapun ditanah dibelakang mereka, lewat bagaikan bayangan awan mendung disekitar matahari.

Pepohonan bergerak di bawah sinar yang redup. Sesuatu yang aneh berwarna hitam  dengan rambut yang panjang dan berantakan, menarik tangan Billy. Para leluhur seolah menangis, “ingat aku.” Suara jeritan atau bisikan yang lelah; lelah karena peringatan tak berguna yang tidak didengarkan. Billy tidak mengerti pepohonan itu. mereka melempar Billy ke depan, bahkan saat dia berfikir untuk kembali dan tidak pulang ke rumahnya – sebuah tempat yang dia pernah berjanji pada dirinya untuk tidak pernah kembali kesana lagi.
Terdengar langkah kaki di jalan tepat dipersimpangan Koodup.

Ternyata seorang lelaki suku Aborigin.

Billy menghentikan mobilnya, atau dia akan menabrak lelaki itu.

Pintu mobil terbuka.

Lelaki itu masuk kedalam mobil bersama angina dan hujan.

“Terimakasih, kawan. Dingin sekali disini.” Katanya, kemudian lelaki itu menatap Billy dengan mata hitamnya yang tajam. “Apa kau ini seorang Nyoongah*, kawan?”

“Ya.”

Well, namaku Darcy Goodrich.”

Dia mengulurkan tangannya yang kasar, kuning kecokelatan, dan kotor. Suatu kesedihan seumur hidup melekat disetiap sela jarinya.

Billy berjabat tangan dengannya, “Namaku William Woodward.”

“Benarkah?” kedua matanya melihat kearah Billy lagi. “Kau menuju daerah sekitar Koodup, William?”

“Ya.”

“Bagus. Oh... mobil milikmu ini bagus sekali. kau pasti punya banyak uang, kan?”

Billy hanya diam.

Dia lebih suka kalau lelaki basah yang kedinginan itu tidak bersamanya. Dia tetap memfokuskan mata cokelat keemasannya ke jalanan didepannya.

“Punya rokok, William?”

“Tentu, silakan ambil sendiri.”

Jari-jari hitam itu membuka kotak rokok yang mahal milik Billy.

“Kau mau juga, kawan?”

“Terimakasih.”

“Apakah kau putra Teddy Woodward, William?”

“Ya, itu benar. Bagaimana kabar ibu dan ayah, dan semuanya?”

Akhirnya dia mengetahui semua tentang keluarganya dan larut dalam lautan kesedihan.

Darcy melihatnya dengan terkejut, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Dia menghisap rokoknya tanpa suara.

“Apa yang tidak kau ketahui?” tanyanya dengan pelan. “Ayahmu seorang pemabuk. Dia seorang pemabuk yang buta. Mobilnya datang entah dari mana ketika dia menyeberang jalan dimalam hari seperti ini. Tidak ada yang melihatnya. Tidak ada yang menghentikannya atau membantunya. Saudaramu Carl menemukan ayahmu dihari berikutnya dan tidak ada yang membantunya. Kejadian itu terjadi beberapa tahun lalu.”

Beberapa tahun lalu – itu berarti saat Billy berumur sembilanbelas tahun, saat dia menjadi bintang sepakbola. Disalah satu malam yang bersinar bersama orang-orang kulit putih, saat dia hidup dengan kondisi yang baik ditemani anggur dan wanita kulit putih, Ayahnya justru meninggal di kota – seorang diri.  

Dia mengingat ayahnya sebagai seorang lelaki yang berani berbuat curang bahkan lebih baik dari orang lain di perkemahan saat bermain kartu disuatu acara. Dia bisa membuat perahu dari bulu-bulu bebek, kemudian dia, Carlton dan Billy berlomba dipinggir danau, dimana orang-orang dulu sering datang, awalnya.

Cahaya dari Koodup menyinari dirinya saat ia melewati sebuah tikungan.

“Kuberitahu padamu, kawan. Berhentilah di hotel lalu beli sekardus bir.”

“Baiklah, Darcy.” Billy tersenyum dan melihat lelaki itu untuk pertama kalinya. Dia akhirnya menyadari kalau dirinya butuh seoraang teman untuk menemaninya pulang dan bercerita tentang kehidupan lamanya.

“Kau pasti ingin bertemu dengan keluargamu lagi, kan?” tanya Darcy.

Keluarganya: Bibi Rose yang jelek, mendiang ayahnya yang dilupakan, kakak dan sepupunya yang nakal. Bahkan lelaki pendiam ini. Mereka semua adalah keluarganya. Berasal dari suku yang sama dengannya.

Dia tidak akan pernah bisa menyangkalnya.

Mobilnya berhenti disamping hotel, kemudian dua orang Nyoongah itu berlari dibawah hujan lalu masuk ke bar hotel yang gelap.

Pelayan bar disana lama sekali menghampiri mereka, walaupun bar itu sangat sepi pengunjung. Sepasang mata merah menatap Billy.

“Tolong sekardus bir.”

“Hanya orang bajingan yang minum bir di perkemahan. Polisi mengatakan kepadaku bahwa orang-orang yang banyak minum sepertimu hanya menimbulkan masalah.”

“Oh ayolah, kami akan meminumnya ditempat yang kami mau, kawan.”

“Benarkah? Kau memang bajingan!” pelayan bar itu menatap Billy dengan terkejut. “Baiklah, kau tidak akan mendapat apapun dariku. Kau bisa pergi dari sini sebelum aku memanggil polisi. Mereka akan memberitahumu apa yang boleh dan tidak boleh kau lakukan, negro sialan yang pintar!”

Sesuatu menohok perasaan billy dengan sangat kuat sehingga dia ingin menarik pelayan bar itu dan memukulnya.

Billy berkulit hitam, dan pelayan bar itu berkulit putih, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

Setiap waktu billy bebas menikmati anggur di klub malam dengan pakaian berkelas dan dikelilingi oleh senyuman dari wanita – wanita kulit putih, dia bisa memainkan permainan orang-orang kulit putih bahkan lebih baik dari orang-orang di sukunya. Dan melukis pemandangan kotanya dengan warna-warna yang disukai orang kulit putih, sementara orang-orang sebangsanya justru meremehkan dan menganggapnya tidak berguna, selama itu pula dia menganggap dirinya lebih baik dari orang lain di suku bangsanya.

Tapi pada akhirnya, dia hanya lelaki negro.

Darcy berajalan perlahan mendekati pelayan bar yang sedang marah itu.

“Permisi… Tuan Owett, tapi William baru saja pulang, lihat.” Katanya. Dia merasa malu karena telah membuat kesalahan. “Kami akan meminumnya di perkemahan, kau tahu.”

“Baru pulang? Mengapa dia dipenjara?”

Billy memukul pelayan bar itu sebagai jawaban, tepat diperutnya dan sangat menyakitkan.

“Baiklah... Baiklah, Darcy, aku akan melupakan kejadian ini sekarang juga. Hanya saja, jangan biarkan kawanmu ini membuatku kesal lagi.”

Mereka diguyur hujan lagi saat keluar dari bar itu dan masuk kedalam mobil. Lalu pergi menjauh melewati jalanan berbatu sekitar satu kilo meter meninggalkan kota. Darcy membuka satu botol dan memberikannya ke Billy.

“Kalau kau bertindak bodoh, kawan, kau akan pergi jauuuuhhhh dari kota ini.”

Billy minum bir pahit itu sangat banyak. Rasanya seperti sinar matahari setelah badai hebat. Dia mulai merasa tenang.

“Hey, Darcy, hari ini umurku tepat 21 tahun.”

Darcy tersenyum lebar dan menjulurkan tangannya.

“Duaputuluhsatu? Bagaimana rasanya?”

“Tidak ada bedanya dari kemarin.”

Billy menjabat tangan Darcy.

Mereka tertawa dan minum untuk merayakan hari ulang tahun Billy sambil menuju perkemahan. Gelap dan basah, dengan angin kencang dan hujan yang menyerang pondok-pondok suku aborigin yang tidak beraturan bentuknya. Darcy menunjuk ke sebuah pondok diujung perkemahan.

“Ibumu tinggal disana.”

Bangunan itu sederhana, terbuat dari logam dan kayu. Dua buah karung, dijahit menjadi satu, dijadikan sebuah pintu. Dimana-mana terlihat mainan berukuran kecil yang berserakan, dan lumpur.
Billy berhenti sedekat mungkin dengan pintu Dia sudah lupa seperti apa rumahnya.

“Ayo, kawan. Ayo lihat ibumu. Kau mungkin beruntung, dan lihat saudaramu.”

Perlahan dia keluar dari mobil, tempat yang sunyi dan kumuh itu menariknya.

Dia adalah salah satu anggota keluarga itu.

Dia mengikuti Darcy melewati pintu yang terbuat dari karung itu. Dia merasa tidak yakin dan khawatir sendiri.

Disana ada enam orang: dua wanita tua, seorang lelaki sangat tua, dua lelaki muda, dan seorang wanita muda yang pemalu, yang menanti seorang bayi. Lelaki muda yang berada paling dekat ke pintu melihat keluar dengan wajah yang kekuning-kuningan. Rambut hitam panjang terurai di wajahnya. Dia memakai baju berwarna merah dari bahan katun – merah untuk tanah leluhurnya, merah untuk darah yang jatuh ke tanah saat bangsa kulit putih datang. Merah, satu-satunya hal yang bersinar di tempat yang gelap dan membosankan ini.

Lelaki muda itu tersenyum tipis kearah Darcy dan birnya.

“Selamat siang, Darcy, dia temanmu?”

“Kau ini bodoh sekali, Carl. Dia ini kakakmu yang baru pulang.”

Carlton menatap Billy, tidak percaya dengan ucapan Darcy. Kemudian, senyumnya sedikit mengembang. Lalu dia berdiri, mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman dan saling menatap, tersenyum. Kebahagiaan muncul secara perlahan diantara keduanya.

Lalu Rennie, sepupunya yang tinggi, kurus serta berambut kemerahan dan mata abu-abu, bersalaman dengannya. Dia mengenalkan Billy kepada ibunya, Phyllis, yang mengingatkan Billy pada China Groves dan Florrie Waters sebagai orang tua ibunya.

Ibu Billy duduk terdiam di meja dapur. Sebelah matanya tidak bisa melihat, sebelah lagi menatap putranya, tapi tidak ada pancaran selamat datang darinya. Dia terlalu angkuh untuk menunjukkan rasa sakitnya.

Dari wanita ini aku lahir, fikir Billy, seperti bunga yang muncul dari tanah. Dari perkemahan ini dia terbang.

Dia mengingat ibunya sebagai seorang wanita berkulit cokelat yang mudah tertawa, dengan rambut hitam panjang, dia bernyanyi dengan pelan sambil membersihkan rumah atau memasak. Sekarang dia sudah tua dan terlihat bodoh dengan segala kesedihannya.

“Jadi, akhirnya kau kembali. Kenapa kau tidak pulang saat kami memakamkan ayahmu? Kukira kau berfikir kalau kau jauh lebih baik dari keluarga lamamu, ‘kan?” dia bergumam dengan suara yang kecil bahkan sebelum Billy sempat mengucapkan salam. Lalu matanya kembali menunjukkan kesedihan.

“Hari ini ulang tahunku, bu. Aku ingin melihat semua orang. Tidak ada yang memberitahuku kalau ayah sudah meninggal.”

Carlton menatap Billy.

“Pasti yang ke duapuluhsatu, kan, Billy.”

“Ya.”

“Baiklah, kita harus adakan pesta,” Carlton tersenyum. “Kami akan membeli minuman.”

Carlton dan Rennie pergi ke kota dengan menggunakan mobil Billy. Saat mereka pergi, Billy merasa sungkan dan kesepian. Ibunya hanya menatapnya. Phyllis tidak mengucapkan apapun, dan neneknya mengobrol dengan Darcy, obrolan perkemahan yang tidak dimengerti oleh Billy.

Kedua saudaranya kembali melalui pintu dengan sebuah kardus yang ditaruh diatas meja oleh Carlton, kemudian dia mendekati kakaknya. Wajahnya menatap Billy seperti anak kecil yang menunggu untuk menunjukkan sesuatu yang dia buat kepada ayahnya. Bibirnya yang hitam berusaha tidak tersenyum.

“Selamat ulang tahun, Billy.” Kata Carlton, lalu memberikan sebuah jam tangan emas yang berkilau dari dalam saku celana jins nya.

“Jam tangan itu hidup, Billy.” Kata Rennie disamping ibunya, Darcy dan China tertawa.

Gelak tawa menari didalam ruangan itu seperti daun-daun kering yang melayang lepas dari pohonnya.
Mereka minum dan mengobrol. Darcy pulang ke rumahnya dan para orang tua pergi tidur. Ibunya tidak berkata apapun kepada Billy sepanjang malam. Esok pagi Billy akan membeli beberapa gorden cantik untuk jendela, memasang sebuah pintu yang lebih baik, dan membeli baju yang paling bagus untuk ibunya.

Mereka teringat dengan kenangan indah saat Billy bukanlah William Woodward si bintang sepakbola dan artis, tapi Billy si anak nakal, dengan senyum lebar dan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik karena postur tubuhnya yang bagus.

Disinilah mereka – berkumpul bersama lagi, tapi sekarang Rennie akan menjadi seorang ayah, dan Carlton baru saja kembali setelah tiga bulan dipenjara. Dan Billy? Dia tidak dimanapun.

Akhirnya Carlton berdiri.

“Waktunya tidur.” Dia menepuk pundak kakaknya dengan pelan. “Sampai jumpa besok, Billy.” Dia tersenyum.

Billy berbaring diatas selimut dan memandang api yang hampir mati. Dalam fikirannya dia bisa mendengar suara ayahnya yang menceritakan sebuah kisah, dan suara ibunya yang menyanyi. Lalu dia tertidur.

***


Dia bangun karena mendengar suara burung-burung magpie di pepohonan yang sunyi. Dia turun ke lantai dan berjalan menuju pintu dengan perlahan.

Mata Carlton melihatnya dari balik selimut di tempat tidurnya.

“Kau mau kemana?” Dia berbisik.

“Hanya jalan-jalan.”

“Sampai jumpa lagi, Billy.” Dia tersenyum lalu kembali tidur. Billy pergi keluar.

Matahari dengan gerimis kecil muncul keatas bukit dan menyinari perkemahan. Gelas-gelas yang pecah terkena sinar matahari, terlihat putih, seperti tulang binatang yang mati. Beberapa anak muda berdiri mengelilingi mobil Billy. Billy melambaikan tangannya kearah mereka dan mereka balas melambai kearahnya. Setelah mandi, Billy pergi ke danau. Dia ingin – sangat ingin – mengingat ayahnya.

Dia berdiri disana, melihat kilauan hujan yang jatuh ke air yang hijau. Burung-burung bernyanyi dengan kencang dan jelas dari pepohonan disekitarnya yang berwarna hijau, cokelat dan hitam. Lalu dia berjalan kembali ke pondok. Asap dari api melambung keatas dan menyatu dengan awan mendung.

Saat dia tiba dipinggir perkemahan, sebuah mobil polisi dengan paksa berjalan melewati lumpur dan sampah. 

Seseorang yang berkulit putih menatap garang kearahnya. Mobil itu berhenti.

“Hey kau! Kemari!”

Orang-orang disekitar perapian melihatnya dari sudut mata mereka, saat dia berjalan mendekat.

“Itu mobilmu?”

“Ya.” Billy menatap polisi besar dengan seragam biru itu. disampingnya ada supirnya, polisi yang lain.

“Siapa namamu, dan darimana kau mendapatkan mobil itu?” tanya si supir.

“Aku sudah bilang kepadamu, itu mobilku. Namaku William Jacob Woodward, ada masalah?” Billy menjawab dengan marah.

Polisi itu keluar dari mobilnya. Dia melihat Billy yang hitam, yang tiba-tiba saja merasa kecil dan lemah.

“Kau saudara Carlton?”

“Jika kau ingin tahu –“

“Aku ingin kau tahu, kau negro sialan. Aku ingin tahu semua tentangmu.” Jawab polisi itu.

“Ya, seperti dimana kau semalam saat toko dirampok, secepat kau pulang kerumah dan menimbulkan masalah di bar.” Jawab si supir.

“Aku tidak membuat masalah, dan aku tidak terlibat dalam perampokan apapun. Aku suka caramu datang kemari saat ada masalah –”

“Jika kau tidak terlibat dalam perampokan, lalu jam tangan apa ini?” tanya polisi itu penuh kemenangan, lalu dia menarik tangan Billy yang sudah melukis banyak gambar indah untuk suku bangsanya. Dia menariknya ke punggung Billy, lalu melempar Billy kearah mobil polisi itu. jam tangan emas itu menggantung diantara jari-jarinya yang merah muda.

“Dengar, aku disini sejak semalam. Kau bisa tanyakan pada nenekku atau Darcy Goodrich.” Tapi perasaan Billy tahu kalau itu bukan solusinya.

“Jangan katakan itu padaku. Saat ada masalah, kalian, orang-orang sialan, akan bekerjasama seperti lalat mengerumuni toilet.” Kata si supir.

Tidak ada gunanya lagi. Tidak dengan pepohonan, yang dengan bebas melepaskan ranting kecilnya. Tidak dengan orang-orang disekitar api yang hangat. Tidak dengan hujan, yang turun membasahi leher dan kulitnya. Hanya lelaki besar dan mesin yang berkilau dengan tulisan POLISI dipinggirnya.

“Kau negro sialan, aku akan membuatmu – dan saudara kandungmu – menyesal. Semalam kau hampir membunuh si Peter tua.” Kata si polisi besar. Lalu supir yang berdiri disampingnya, menatap Billy dengan marah dibalik kacamata hitamnya.

“Kalian keluarga Woodwards semuanya sama saja, pencuri sialan. Jika kau fikir kau adalah seorang petinju dan memukul orang tua, kau bisa mencoba melawan polisi besar ini saat kami kembali ke pos.”

“Ayo tangkap yang lainnya, Morgan.” Kata si polisi besar. “Bu Riley bilang kalau ada dua orang lagi dari mereka.”

Billy dipaksa masuk kedalam mobil itu dengan kasar, dan duduk disana dengan malang saat mobil itu berjalan menjauh dari perkemahan. Dia melihat Kingswood baru yang berdiri di lumpur. Darcy, Rennie yang ketakutan, dan beberapa orang lain berdiri disana, menatap dengan hampa. Billy melihat polisi itu menarik saudaranya dari dalam pondok, matanya penuh kesedihan,menunduk ke tanah. Dia didorong masuk ke mobil bagian belakang.

Carlton melihat Billy dengan tatapan putus asa, lalu tersenyum lemah.

“Selamat datang di rumah, kakak.” Dia berbisik.





***






Catatan:
*Nyoongah adalah sebutan untuk penduduk asli suku Aborigin.

Archie Wellen (1957–) tumbuh di sebuah peternakan didaerah Barat daya Australia. Novel pertamanya yang berjudul Day of the Dog terbit pada tahun 1981 yang kemudian dijadikan sebuah film berjudul Blackfellas ditahun 1993. Buku dan filmnya memenangkan banyak penghargaan. Novel keduanya, Land of the Golden Clouds, diterbitkan pada tahun 1998. Dia juga menulis puisi, cerita pendek, dan drama. Menuturnya sangat penting bagi suku Aborigin untuk menulis tentang pengalaman hidup mereka karena “manusia mati dan membawa perasaan mereka bersamanya tapi tulisan tetap hidup selamanya.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar