By: Dal Stivens
Retold by: Christine Lindop
Retold by: Christine Lindop
Translated by: Siti Nadroh
Saat kita mengenang
masa lalu, kita biasanya memikirkan saat-saat menyenangkan – rumah di mana kita
tumbuh berkembang, permainan yang kita mainkan, dan impian yang kita punya.
Joe muda tumbuh besar
di kota, tapi ayahnya memiliki kenangan indah tentang masa kecil dirinya di
sebuah desa kecil. Joe mendengarkan cerita ayahnya dan membayangkan pohon lada
besar di halaman belakang rumahnya…
Ayahku sering bercerita tentang pohon lada saat aku kecil,
dan jelas itu hal yang sangat berarti baginya – seperti sebuah Rolls Royce yang
selalu ingin ia beli. Bukan tentang apa yang dikatakan ayah mengenai pohon lada
itu – ia tidak pandai merangkai kata-kata – tapi tentang bagaimana ia
mengatakannya. Saat ia bercerita tentang pohon lada di Tullama, tempat di mana
ia tumbuh besar, kau bisa membayangkannya dengan jelas: sebuah pohon besar
dengan lembaran daun-daun hijaunya yang panjang di halaman belakang rumah yang
luas di suatu desa.
“Halaman belakang yang pas – bukan satu dari halaman kotamu
yang buruk itu.” kata ayahku. Di pohon besar itu selalu terdengar riuh suara
burung-burung yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain.
Saat kami tinggal di Newtown, Sydney, aku pernah melihat
pohon-pohon lada saat ayah membawaku jalan-jalan pada minggu sore. “Lihat, ada
pohon lada.” Kataku pada ayah saat aku melihat pohon itu.
“Ya ampun, nak, itu hanya kumpulan pohon kecil yang tumbuhnya
berkerumun.” Kata ayahku. “Pohon lada tidak bisa tumbuh subur di perkotaan.
Terlalu banyak polusi. Kau harus melihatnya di barat sana, di kampung halamanku.”
Ayahku bertubuh tinggi dan kurus dengan mata cokelat sayu dan
kepala yang penuh dengan impian. Itulah mengapa ia ingin memiliki sebuah Rolls
Royce, suatu hari nanti. “Pertama rumah kita kemudian suatu hari, kalau aku
beruntung, aku akan membeli sebuah Rolls Royce.” Katanya.
Beberapa temannya berpikir kalau itu impian gila.
“Apa yang akan kau lakukan dengan mobil seperti itu, Peter?”
Tanya mereka. “Pergi dan hidup bersama para millioner?”
Ayah lalu mengusap kumis cokelat panjangnya, dengan sedikit
warna putih diantaranya, dan mencoba menjelaskan, tapi ia tidak bisa membuat
mereka mengerti. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk menyadari betapa sebuah
Rolls Royce sangat berarti baginya.
“Ini bukan tentang bagaimana orang lain berpikir tentangku.”
Kata ayah pada ibu. “Tidak, ya ampun. Aku ingin memiliki sebuah Rolls Royce
karena itu adalah mesin paling sempurna yang ada di dunia ini. Itulah mengapa Rolls
Royce–– “
Lalu ia berhenti dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk
menjelaskan apa yang ia rasakan, dan dengan kikuk tapi penuh cinta, ia akan
melanjutkan ceritanya tentang betapa cantiknya mesin itu…
“Apa yang akan seorang mekanik bengkel lakukan dengan sebuah
Rolls Royce, aku tanya kau!” kata ibu. “Aku akan merasa bodoh jika duduk didalamnya.”
Sedetik kemudian ibu meraih sapunya dan mulai membersihkan
lantai dapur dengan kasar. Ibuku bertubuh kurus dengan rambut kecoklatan yang
disingkapkan kebelakang dari wajahnya.
Seperti pohon lada itu, mobil Rolls Royce juga sangat berarti
bagi ayah. Ia lahir di Tullama, di sebuah desa yang gersang di mana pohon-pohon
mallee tumbuh. Ayahnya adalah seorang kuli bangunan dan menginginkan putranya menjadi
seperti dirinya. Tapi mimpi ayahku adalah menjadi seorang insinyur teknik mesin.
Saat ia berumur delapanbelas tahun, ia pergi ke kota dan mulai belajar bersama
dengan seorang insinyur teknik mesin. Ia pergi ke kelas pada malam hari. Tapi
setelah dua tahun, ia berhenti karena kerusakan pada matanya.
Iitu semua karena uang.” Katanya suatu hari. “Jika kau punya
uang, kau bisa pergi ke universitas dan belajar banyak hal dengan
sebaik-baiknya lalu menjadi seorang insinyur. Aku terlalu keras bekerja dengan
mataku, kau lihat – aku pergi ke kelas malam lima kali dalam seminggu dan
belajar setibanya aku di rumah.”
Setelah itu, ayahku mengambil pekerjaan apapun yang bisa ia
dapatkan, tapi selalu berkaitan dengan mesin. “Aku suka bermain dengan
mesin-mesin, tapi aku tidak punya pengalaman berlatih yang sesungguhnya.” Katanya
suatu hari.
Ia tahu banyak hal dan sebagian besar adalah hal-hal yang
hanya bisa kau pelajari dari buku-buku. Ia paham tentang bebatuan dan bagaimana
proses terbentuknya. Ia bisa bicara berjam-jam tentang kehidupan di bumi dan
bagaimana awal mulanya. Ia megajarkanku lebih banyak daripada semua guruku di
sekolah.
Aku ingat saat ia berbicara dengan ibu disatu malam. Saat itu
umurku dua belas tahun, dan ia berumur empatpuluhtujuh tahun. Saat itu
keadaannya serba sulit dan ibuku khawatir akan masa depan kami.
“Setiap hari aku mendengar orang-orang yang kehilangan
pekerjaannya.” Kata ibu.
“Aku belum kehilangan pekerjaanku.” Kata ayah. “Dan jika itu
terjadi, aku punya satu cara untuk menghasilkan uang.”
“Pasti itu tentang penemuanmu yang lain kan, Peter? Kali ini
apa lagi?”
“Itu urusanku.” Jawab ayah. Ia mengatakannya dengan bangga.
Satu hal yang membuat ibuku kesal adalah karena ayah selalu
menghabiskan uang demi penemuan-penemuannya. Yang lainnya adalah karena ayah
selalu memenuhi halaman belakang rumah dengan sampah.
“Apa yang akan kau lakukan dengan halaman kecil yang kotor
ini? Tanya ayah. “Saat aku kecil di Tullama, aku memiliki halaman belakang yang
sesungguhnya – kenapa? Karena halaman itu luas – sebesar ––"
Lalu ia berhenti, tidak mampu mendapatkan kata yang tepat.
Jadilah beberapa buah mesin tua tiba di halaman belakang. “Ini
sangat murah!” Katanya dengan gembira.
Kemudian setelah ayah berkata kalau ia memiliki sebuah
rencana untuk menghasilkan uang, ia pergi lebih awal pada satu minggu pagi. Ia
kembali pada waktu makan siang dengan sebuah lori Ford. Dibelakang lori itu
terdapat sepasang mesin percobaan. Aku berlari mendekatinya.
“Aku baru saja membelinya, Joe. Lihat.” Katanya padaku.
Dan ia sekarang memiliki – kedua mesin dan lori itu.
“Sangat murah! Empatpuluh pound untuk keduanya – sepuluh
pound sekarang, dan dua pound setiap bulannya.”
Ibuku kesal saat ia mendengarnya.
“Kenapa membuang uang untuk sebuah mesin saat kita
membutuhkannya untuk membayar rumah, Peter?” tanya ibu.
“Astaga… mesin ini akan membayar rumah kita dalam waktu
singkat.” Kata ayah. “Dan bisa untuk membeli barang-barang lain juga.”
Aku mengetahuinya dari cara ia melihat keatas dan kearah kepala
ibuku saat ia memikirkan mobil Rolls Royce itu.
Setiap hari ia sangat bersemangat, mengitari mesin itu,
berdiri dibelakangnya dan melihatnya, lalu berjalan mendekatinya. Ia
menghabiskan sore harinya dengan menyalakan dan mematikan mesin itu. Setiap
malam, saat ia pulang ke rumah dari garasi di minggu berikutnya, hal pertama
yang ia lakukan adalah melihat mesin itu. Ia memiliki beberapa rencana di pikirannya
tapi ia masih merahasiakannya.
“Tunggu dan lihat, Joe.” Katanya.
Ia tidak megatakan rahasianya selama seminggu lebih walaupun
aku tahu kalau tidak ada hal lain yang ia pikirkan. Akhirnya, ia mendekatiku di
dapur pada satu malam, saat ibuku berada di kamar tidur, lalu berbisik dengan
penuh teka-teki. “Ini adalah sebuah penemuan untuk membersihkan sumur, nak.”
“Untuk membersihkan sumur?”
Ia terdiam untuk mendengar sekelilingnya, khawatir ibu
kembali.
“Malam ini aku menaruh sebuah lampu disana, nak.” Ia
berbisik, “Keluarlah nanti dan aku akan memperlihatkan padamu.”
Ide ayahku,
ia menjelaskannya kemudian, adalah suatu cara membersihkan sumur di desa. Kau menekan
sikat keras diujung pipa penghisap kotoran dan kau tidak akan kehilangan banyak
air dari sumur.
“Setiap kota kecil memiliki setengah lusin sumur, Nak.”
Katanya. “Banyak bank yang memilikinya, dan satu atau dua diantaranya milik keluarga
orang kaya. Sama seperti di Tullama. Ada uang didalamya karena kau bisa
membersihkan sumur itu tanpa terlalu banya membuang air. Seperti menemukan emas
– kau tidak boleh kalah, Nak.”
Hal itu terdengar menarik bagiku.
“Kapan ayah mulai?” tanyaku.
“Secepatnya.” Katanya. “Pekerjaan di garasi tidak akan
bertahan lebih lama lagi.”
Ia benar mengenai hal itu, tapi sampai hari kematian ibuku,
ia selalu mempunyai sebuah fikiran bahwa mungkin ayah hanya membuat
pekerjaannya menemui sebuah akhir. Pada awal tahun 1930 ayahku pergi dengan
lorinya, pergi ke barat.
“Kau harus pergi ke tempat-tempat yang tidak sering turun
hujan.” Katanya.
“Seperti Tullama?” tanyaku.
“Ya, seperti Tullama, Nak.”
Aku mulai memikirkan pohon lada.
“Apakah kau akan pergi ke Tullama dan melihat pohon lada
itu?”
Ayah mengusap kumisnya yang panjang. Dari matanya muncul
pandangan itu – pandangan yang sama saat ia berpikir atau membicarakan Rolls
Royce. Ia terdiam sejenak.
“Ya ampun, tentu saja, jika aku pergi kesana.”
Setelah mengatakan itu, ayah memulai perjalanannya. Setiap
minggu aku mendapat surat darinya. Ia menulisnya dengan baik. ia pergi ke barat
dari Sedney dan aku mengikuti kota-kota yang ia katakan di surat itu melalui
peta. Satu kota membutuhkan waktu hampir seharian, lalu untuk kota-kota yang
lebih besar, ia akan tinggal disana selama satu minggu, sedangkan di kota yang
lebih kecil hanya satu hari atau satu hari setengah.
Setelah dua bulan pergi, ayah masih berada di kota yang cukup
jauh dari Tullama, tapi kau bisa lihat kalau ia pergi mendekatinya.
“Ayahmu dan pohon ladanya yang bodoh!” kata ibu, tapi ia mengatakannya
tanpa emosi. Ayah mingirimkan uang kepadanya sebanyak yang ayah gunakan untuk
membeli rumah saat ia bekerja di garasi.
Tapi ketika ayah sudah mendekati Tullama, ibu terlihat
sedikit bersemangat. Ia membuat bendera kecil untukku untuk ditaruh diatas
peta. Beberapa waktu terakhir suatu perubahan muncul di surat ayah. Awalnya
surat-surat itu berisi hal yang menggembirakan dan penuh semangat, tapi
sekarang lebih tenang. Ia tidak banyak membicarakan uang yang ia dapatkan, atau
mengatakan hal lain tentang Rolls Royce. Mungkin kegembiraannya yang semakin
dekat degan pohon lada membuat dirinya lebih tenang, menurutku begitu.
“Aku tahu apa ini,” kata ibuku. ”Ia tidak mendapatkan makanan
yang layak. Ia terlalu tua untuk berhenti dengan keadaaan seperti ini. Ia tidak
memperhatikan dirinya, aku yakin. Dan tanpa tempat tidur yang nyata untuk
berbaring – hanya dibalik lori itu.”
Kupikir hari itu tidak akan pernah tiba – tapi ternyata kini ayah
hanya berjarak satu kota lagi sebelum ia sampai di Tullama. Surat-suratnya
biasanya tiba pada hari Selasa – ia menulisnya hari minggu – tapi belakangan
aku menunggu kiriman surat itu setiap hari dan tiga kali terlambat sekolah.
Saat suratnya sampai, aku meraihnya dari tangan pak pos dan segera masuk ke
dalam rumah. Surat itu dari Tullama.
“Baiklah… baiklah… tenang, Joe.” Kata ibu, “Kau dan pohon lada-mu.”
Aku membaca surat itu dibalik siku ibu. Hanya satu lembar.
Tidak ada tulisan tentang pohon lada. Ayah baik-baik saja dan berhasil
mendapatkan uang, tapi ia memutuskan untuk segera kembali pulang.
Aku tidak memahaminya.
Pada hari selasa berikutnya, tidak ada surat yang datang.
Tidak juga dihari rabu. Hari kamis ayah tiba di rumah. Ia mengejutkan kami,
tiba diwaktu sarapan. Ia bilang kalau ia sudah menjual lori dan mesinnya, dan
pulang ke rumah menggunakan kereta. Ia terlihat kelelahan dan malu dan entah
bagaimana semuanya menyatu. Aku melihat kumisnya mulai memutih.
“Mesinnya tidak bagus.” Katanya. “Selalu rusak. Mesin itu
merugikanku dengan hampir semua yang kudapatkan. Aku harus menjualnya untuk
mendapatkan uang dan membayar hutang, juga untuk membeli tiket pulang ke
rumah.”
“Oh Peter.” Kata ibu, memeluk ayah. “Cintaku yang malang. Aku
tahu ada yang salah.”
“Ibu pikir itu karena makanannya.” Kataku. “Ia pikir ayah
tidak mendapatkan makanan yang layak.”
“Aku akan membuatkan secangkir teh untukmu, Peter.” Kata ibu.
“Lalu, aku akan membuatkanmu sarapan.”
“Astaga… Kedengarannya bagus.” Kata ayahku. Ini pertama
kalinya sejak ia masuk dan benar-benar terdengar seperti ayahku yang biasanya.
Ibu bergegas pergi ke dapur dan ayah berbicara lagi. “Aku
pikir awalnya aku melakukannya dengan baik.” Katanya. “Tapi mesin itu terlalu
tua. Aku selalu membongkarnya – mengganti bagian ini, bagian itu. Semua itu
menghabiskan uang yang sudah aku dapatkan.”
Lalu ia bercerita entang perjalanannya. Sekarang aku mengerti
mengapa ia kembali, dan aku ingin tahu semua hal tentang pohon lada itu.
“Apakah kau melihat pohon lada itu, ayah?”
“Ya, aku benar-benar melihatnya.”
Aku berdiri tepat didepannya saat ia duduk didepan meja, tapi
ia tidak melihat kearahku melainkan pada sesuatu yang sangat jauh. Ia tidak
menjawabku dalam waktu yang lama.
“Itu hanya kumpulan pohon kecil, Nak – dan sebuah halaman
belakang yang kecil.”
Ia tidak akan mengatakan apapun lagi selain itu dan ia tidak
pernah membicarakan pohon lada – atau Rolls Royce – lagi.
***
Catatan:
Dal Stivens (1911 – 1997) bekerja sebagai seorang jurnalis, reporter
lapangan dan pelayan publik sebelum menjadi seorang penulis penuh di tahun
1950. Novelnya yang terkenal berjudul A
Horse of Air, dan ia juga menulis banyak cerita pendek. Katanya, “cerita
pendek harus berkembang secara natural diluar tahun berapa kau hidup”, dan
karakter utama di cerita yang berjudul The
Pepper-tree merupakan pengalamannya saat bertemu seorang laki-laki dimasa
kecilnya yang datang ke kota untuk membersihkan sumur. Lelaki itu mengoleksi
fosil, dan dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari seorang anak kecil
yang penasaran. Stivens memiliki kecintaan pada lukisan, dan sejarah alam, ia
juga pendiri Lembaga Penulis Australia (Australian Society of Authors).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar