Pages

Senin, 15 Agustus 2016

Pohon Lada



By:  Dal Stivens
Retold by: Christine Lindop
Translated by:  Siti Nadroh 


Saat kita mengenang masa lalu, kita biasanya memikirkan saat-saat menyenangkan – rumah di mana kita tumbuh berkembang, permainan yang kita mainkan, dan impian yang kita punya.
Joe muda tumbuh besar di kota, tapi ayahnya memiliki kenangan indah tentang masa kecil dirinya di sebuah desa kecil. Joe mendengarkan cerita ayahnya dan membayangkan pohon lada besar di halaman belakang rumahnya…


Ayahku sering bercerita tentang pohon lada saat aku kecil, dan jelas itu hal yang sangat berarti baginya – seperti sebuah Rolls Royce yang selalu ingin ia beli. Bukan tentang apa yang dikatakan ayah mengenai pohon lada itu – ia tidak pandai merangkai kata-kata – tapi tentang bagaimana ia mengatakannya. Saat ia bercerita tentang pohon lada di Tullama, tempat di mana ia tumbuh besar, kau bisa membayangkannya dengan jelas: sebuah pohon besar dengan lembaran daun-daun hijaunya yang panjang di halaman belakang rumah yang luas di suatu desa.

“Halaman belakang yang pas – bukan satu dari halaman kotamu yang buruk itu.” kata ayahku. Di pohon besar itu selalu terdengar riuh suara burung-burung yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain.

Saat kami tinggal di Newtown, Sydney, aku pernah melihat pohon-pohon lada saat ayah membawaku jalan-jalan pada minggu sore. “Lihat, ada pohon lada.” Kataku pada ayah saat aku melihat pohon itu.

“Ya ampun, nak, itu hanya kumpulan pohon kecil yang tumbuhnya berkerumun.” Kata ayahku. “Pohon lada tidak bisa tumbuh subur di perkotaan. Terlalu banyak polusi. Kau harus melihatnya di barat sana, di kampung halamanku.”

Ayahku bertubuh tinggi dan kurus dengan mata cokelat sayu dan kepala yang penuh dengan impian. Itulah mengapa ia ingin memiliki sebuah Rolls Royce, suatu hari nanti. “Pertama rumah kita kemudian suatu hari, kalau aku beruntung, aku akan membeli sebuah Rolls Royce.” Katanya.

Beberapa temannya berpikir kalau itu impian gila.

“Apa yang akan kau lakukan dengan mobil seperti itu, Peter?” Tanya mereka. “Pergi dan hidup bersama para millioner?”

Ayah lalu mengusap kumis cokelat panjangnya, dengan sedikit warna putih diantaranya, dan mencoba menjelaskan, tapi ia tidak bisa membuat mereka mengerti. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk menyadari betapa sebuah Rolls Royce sangat berarti baginya.

“Ini bukan tentang bagaimana orang lain berpikir tentangku.” Kata ayah pada ibu. “Tidak, ya ampun. Aku ingin memiliki sebuah Rolls Royce karena itu adalah mesin paling sempurna yang ada di dunia ini. Itulah mengapa Rolls Royce–– “

Lalu ia berhenti dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ia rasakan, dan dengan kikuk tapi penuh cinta, ia akan melanjutkan ceritanya tentang betapa cantiknya mesin itu…

“Apa yang akan seorang mekanik bengkel lakukan dengan sebuah Rolls Royce, aku tanya kau!” kata ibu. “Aku akan merasa bodoh jika duduk didalamnya.”

Sedetik kemudian ibu meraih sapunya dan mulai membersihkan lantai dapur dengan kasar. Ibuku bertubuh kurus dengan rambut kecoklatan yang disingkapkan kebelakang dari wajahnya.

Seperti pohon lada itu, mobil Rolls Royce juga sangat berarti bagi ayah. Ia lahir di Tullama, di sebuah desa yang gersang di mana pohon-pohon mallee tumbuh. Ayahnya adalah seorang kuli bangunan dan menginginkan putranya menjadi seperti dirinya. Tapi mimpi ayahku adalah menjadi seorang insinyur teknik mesin. Saat ia berumur delapanbelas tahun, ia pergi ke kota dan mulai belajar bersama dengan seorang insinyur teknik mesin. Ia pergi ke kelas pada malam hari. Tapi setelah dua tahun, ia berhenti karena kerusakan pada matanya.

Iitu semua karena uang.” Katanya suatu hari. “Jika kau punya uang, kau bisa pergi ke universitas dan belajar banyak hal dengan sebaik-baiknya lalu menjadi seorang insinyur. Aku terlalu keras bekerja dengan mataku, kau lihat – aku pergi ke kelas malam lima kali dalam seminggu dan belajar setibanya aku di rumah.”

Setelah itu, ayahku mengambil pekerjaan apapun yang bisa ia dapatkan, tapi selalu berkaitan dengan mesin. “Aku suka bermain dengan mesin-mesin, tapi aku tidak punya pengalaman berlatih yang sesungguhnya.” Katanya suatu hari.

Ia tahu banyak hal dan sebagian besar adalah hal-hal yang hanya bisa kau pelajari dari buku-buku. Ia paham tentang bebatuan dan bagaimana proses terbentuknya. Ia bisa bicara berjam-jam tentang kehidupan di bumi dan bagaimana awal mulanya. Ia megajarkanku lebih banyak daripada semua guruku di sekolah.

Aku ingat saat ia berbicara dengan ibu disatu malam. Saat itu umurku dua belas tahun, dan ia berumur empatpuluhtujuh tahun. Saat itu keadaannya serba sulit dan ibuku khawatir akan masa depan kami.

“Setiap hari aku mendengar orang-orang yang kehilangan pekerjaannya.” Kata ibu.

“Aku belum kehilangan pekerjaanku.” Kata ayah. “Dan jika itu terjadi, aku punya satu cara untuk menghasilkan uang.”

“Pasti itu tentang penemuanmu yang lain kan, Peter? Kali ini apa lagi?”

“Itu urusanku.” Jawab ayah. Ia mengatakannya dengan bangga.

Satu hal yang membuat ibuku kesal adalah karena ayah selalu menghabiskan uang demi penemuan-penemuannya. Yang lainnya adalah karena ayah selalu memenuhi halaman belakang rumah dengan sampah.

“Apa yang akan kau lakukan dengan halaman kecil yang kotor ini? Tanya ayah. “Saat aku kecil di Tullama, aku memiliki halaman belakang yang sesungguhnya – kenapa? Karena halaman itu luas – sebesar ––"

Lalu ia berhenti, tidak mampu mendapatkan kata yang tepat.

Jadilah beberapa buah mesin tua tiba di halaman belakang. “Ini sangat murah!” Katanya dengan gembira.

Kemudian setelah ayah berkata kalau ia memiliki sebuah rencana untuk menghasilkan uang, ia pergi lebih awal pada satu minggu pagi. Ia kembali pada waktu makan siang dengan sebuah lori Ford. Dibelakang lori itu terdapat sepasang mesin percobaan. Aku berlari mendekatinya.

“Aku baru saja membelinya, Joe. Lihat.” Katanya padaku.

Dan ia sekarang memiliki – kedua mesin dan lori itu. 

“Sangat murah! Empatpuluh pound untuk keduanya – sepuluh pound sekarang, dan dua pound setiap bulannya.”

Ibuku kesal saat ia mendengarnya.

“Kenapa membuang uang untuk sebuah mesin saat kita membutuhkannya untuk membayar rumah, Peter?” tanya ibu.

“Astaga… mesin ini akan membayar rumah kita dalam waktu singkat.” Kata ayah. “Dan bisa untuk membeli barang-barang lain juga.”

Aku mengetahuinya dari cara ia melihat keatas dan kearah kepala ibuku saat ia memikirkan mobil Rolls Royce itu.

Setiap hari ia sangat bersemangat, mengitari mesin itu, berdiri dibelakangnya dan melihatnya, lalu berjalan mendekatinya. Ia menghabiskan sore harinya dengan menyalakan dan mematikan mesin itu. Setiap malam, saat ia pulang ke rumah dari garasi di minggu berikutnya, hal pertama yang ia lakukan adalah melihat mesin itu. Ia memiliki beberapa rencana di pikirannya tapi ia masih merahasiakannya.

“Tunggu dan lihat, Joe.” Katanya.

Ia tidak megatakan rahasianya selama seminggu lebih walaupun aku tahu kalau tidak ada hal lain yang ia pikirkan. Akhirnya, ia mendekatiku di dapur pada satu malam, saat ibuku berada di kamar tidur, lalu berbisik dengan penuh teka-teki. “Ini adalah sebuah penemuan untuk membersihkan sumur, nak.”
 
“Untuk membersihkan sumur?”

Ia terdiam untuk mendengar sekelilingnya, khawatir ibu kembali.

“Malam ini aku menaruh sebuah lampu disana, nak.” Ia berbisik, “Keluarlah nanti dan aku akan memperlihatkan padamu.”

Ide ayahku, ia menjelaskannya kemudian, adalah suatu cara membersihkan sumur di desa. Kau menekan sikat keras diujung pipa penghisap kotoran dan kau tidak akan kehilangan banyak air dari sumur.

“Setiap kota kecil memiliki setengah lusin sumur, Nak.” Katanya. “Banyak bank yang memilikinya, dan satu atau dua diantaranya milik keluarga orang kaya. Sama seperti di Tullama. Ada uang didalamya karena kau bisa membersihkan sumur itu tanpa terlalu banya membuang air. Seperti menemukan emas – kau tidak boleh kalah, Nak.”

Hal itu terdengar menarik bagiku.
 
“Kapan ayah mulai?” tanyaku.

“Secepatnya.” Katanya. “Pekerjaan di garasi tidak akan bertahan lebih lama lagi.”

Ia benar mengenai hal itu, tapi sampai hari kematian ibuku, ia selalu mempunyai sebuah fikiran bahwa mungkin ayah hanya membuat pekerjaannya menemui sebuah akhir. Pada awal tahun 1930 ayahku pergi dengan lorinya, pergi ke barat.

“Kau harus pergi ke tempat-tempat yang tidak sering turun hujan.” Katanya.

“Seperti Tullama?” tanyaku.

“Ya, seperti Tullama, Nak.”

Aku mulai memikirkan pohon lada.

“Apakah kau akan pergi ke Tullama dan melihat pohon lada itu?”

Ayah mengusap kumisnya yang panjang. Dari matanya muncul pandangan itu – pandangan yang sama saat ia berpikir atau membicarakan Rolls Royce. Ia terdiam sejenak.

“Ya ampun, tentu saja, jika aku pergi kesana.”

Setelah mengatakan itu, ayah memulai perjalanannya. Setiap minggu aku mendapat surat darinya. Ia menulisnya dengan baik. ia pergi ke barat dari Sedney dan aku mengikuti kota-kota yang ia katakan di surat itu melalui peta. Satu kota membutuhkan waktu hampir seharian, lalu untuk kota-kota yang lebih besar, ia akan tinggal disana selama satu minggu, sedangkan di kota yang lebih kecil hanya satu hari atau satu hari setengah.

Setelah dua bulan pergi, ayah masih berada di kota yang cukup jauh dari Tullama, tapi kau bisa lihat kalau ia pergi mendekatinya.

“Ayahmu dan pohon ladanya yang bodoh!” kata ibu, tapi ia mengatakannya tanpa emosi. Ayah mingirimkan uang kepadanya sebanyak yang ayah gunakan untuk membeli rumah saat ia bekerja di garasi.

Tapi ketika ayah sudah mendekati Tullama, ibu terlihat sedikit bersemangat. Ia membuat bendera kecil untukku untuk ditaruh diatas peta. Beberapa waktu terakhir suatu perubahan muncul di surat ayah. Awalnya surat-surat itu berisi hal yang menggembirakan dan penuh semangat, tapi sekarang lebih tenang. Ia tidak banyak membicarakan uang yang ia dapatkan, atau mengatakan hal lain tentang Rolls Royce. Mungkin kegembiraannya yang semakin dekat degan pohon lada membuat dirinya lebih tenang, menurutku begitu.

“Aku tahu apa ini,” kata ibuku. ”Ia tidak mendapatkan makanan yang layak. Ia terlalu tua untuk berhenti dengan keadaaan seperti ini. Ia tidak memperhatikan dirinya, aku yakin. Dan tanpa tempat tidur yang nyata untuk berbaring – hanya dibalik lori itu.”

Kupikir hari itu tidak akan pernah tiba – tapi ternyata kini ayah hanya berjarak satu kota lagi sebelum ia sampai di Tullama. Surat-suratnya biasanya tiba pada hari Selasa – ia menulisnya hari minggu – tapi belakangan aku menunggu kiriman surat itu setiap hari dan tiga kali terlambat sekolah. Saat suratnya sampai, aku meraihnya dari tangan pak pos dan segera masuk ke dalam rumah. Surat itu dari Tullama.

“Baiklah… baiklah… tenang, Joe.” Kata ibu, “Kau dan pohon lada-mu.”

Aku membaca surat itu dibalik siku ibu. Hanya satu lembar. Tidak ada tulisan tentang pohon lada. Ayah baik-baik saja dan berhasil mendapatkan uang, tapi ia memutuskan untuk segera kembali pulang.

Aku tidak memahaminya.

Pada hari selasa berikutnya, tidak ada surat yang datang. Tidak juga dihari rabu. Hari kamis ayah tiba di rumah. Ia mengejutkan kami, tiba diwaktu sarapan. Ia bilang kalau ia sudah menjual lori dan mesinnya, dan pulang ke rumah menggunakan kereta. Ia terlihat kelelahan dan malu dan entah bagaimana semuanya menyatu. Aku melihat kumisnya mulai memutih.

“Mesinnya tidak bagus.” Katanya. “Selalu rusak. Mesin itu merugikanku dengan hampir semua yang kudapatkan. Aku harus menjualnya untuk mendapatkan uang dan membayar hutang, juga untuk membeli tiket pulang ke rumah.”

“Oh Peter.” Kata ibu, memeluk ayah. “Cintaku yang malang. Aku tahu ada yang salah.”

“Ibu pikir itu karena makanannya.” Kataku. “Ia pikir ayah tidak mendapatkan makanan yang layak.”

“Aku akan membuatkan secangkir teh untukmu, Peter.” Kata ibu. “Lalu, aku akan membuatkanmu sarapan.”

“Astaga… Kedengarannya bagus.” Kata ayahku. Ini pertama kalinya sejak ia masuk dan benar-benar terdengar seperti ayahku yang biasanya.

Ibu bergegas pergi ke dapur dan ayah berbicara lagi. “Aku pikir awalnya aku melakukannya dengan baik.” Katanya. “Tapi mesin itu terlalu tua. Aku selalu membongkarnya – mengganti bagian ini, bagian itu. Semua itu menghabiskan uang yang sudah aku dapatkan.”

Lalu ia bercerita entang perjalanannya. Sekarang aku mengerti mengapa ia kembali, dan aku ingin tahu semua hal tentang pohon lada itu.

“Apakah kau melihat pohon lada itu, ayah?”

“Ya, aku benar-benar melihatnya.”

Aku berdiri tepat didepannya saat ia duduk didepan meja, tapi ia tidak melihat kearahku melainkan pada sesuatu yang sangat jauh. Ia tidak menjawabku dalam waktu yang lama.

“Itu hanya kumpulan pohon kecil, Nak – dan sebuah halaman belakang yang kecil.”

Ia tidak akan mengatakan apapun lagi selain itu dan ia tidak pernah membicarakan pohon lada – atau Rolls Royce – lagi.


***







Catatan:

Dal Stivens (1911 – 1997) bekerja sebagai seorang jurnalis, reporter lapangan dan pelayan publik sebelum menjadi seorang penulis penuh di tahun 1950. Novelnya yang terkenal berjudul A Horse of Air, dan ia juga menulis banyak cerita pendek. Katanya, “cerita pendek harus berkembang secara natural diluar tahun berapa kau hidup”, dan karakter utama di cerita yang berjudul The Pepper-tree merupakan pengalamannya saat bertemu seorang laki-laki dimasa kecilnya yang datang ke kota untuk membersihkan sumur. Lelaki itu mengoleksi fosil, dan dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari seorang anak kecil yang penasaran. Stivens memiliki kecintaan pada lukisan, dan sejarah alam, ia juga pendiri Lembaga Penulis Australia (Australian Society of Authors).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar