Penulis: Mena Abdullah dan Rey Mathew
Diceritakan kembali oleh: Christine Lindop
Penerjemah: Siti Nadroh
Hidup di kota yang
baru berarti belajar tentang kehidupan yang baru, dan mempelajarinya diluar lingkungan
keluarga tercinta, kau akan sadar bahwa tidak semua orang ramah. Rashida, Nimmi
(yang menceritakan kisah ini) dan Lal adalah anak-anak keluarga suku Punjabi
yang hidup di peternakan di Australia. Perjalanan pertama mereka ke kota
memberi pengelaman baru untuk mereka – ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan
dan ada juga yang sangat mengejutkan.
Sehari penuh – perjalanan ke kota, kata-kata ejekan untuk
orang kulit hitam, ceret yang bernyanyi – semuaya karena Rusilla yang terbang
jauh.
Rusilla adalah seekor burung kecil dan tidak ada yang
memeliharanya di peternakan, tapi burung itu milik Lal. Kehilangannya adalah
hal yang buruk dan menyedihkan bagi Lal.
Burung itu ditemukan oleh Rashida, oh bukan, tapi Rashida dan
aku. Berada direrumputan dekat sungai, warna merah dan hijaunya berkilau saat burung
itu mencoba terbang diantara rerumputan tinggi. Aku yang melihanya pertama kali
dan menunjuknya. Tapi Rashida yang menangkapnya dengan perlahan. Lalu kami
membawanya pulang untuk diberikan kepada Ayah. Baiklah, Rashida yang
membawanya. Sebenarnya aku juga ingin memegangnya karena akulah yang
menemukannya pertama kali, tapi Rashida tidak mengizinkanku dan aku tidak bisa
memaksanya. Ia berhak menentukannya karena ia lebih tua dariku. Walaupun kami
hanya anak-anak tepian sungai Gwydir, kami adalah keluarga suku Punjabi dan
keluaga suku Punjabi tidak memohon atau mengemis.
Ayah memperhatikan burung itu. “Masih muda dan lemah.”
Katanya. “Hampir mati.”
“Betul.” Kata Rashida dengan bangga. Ia mencoba meramal
kehidupan seperti suku Punjabi. “Hampir mati.”
Rashida memberikan burung itu kepadaku dan aku mengambilnya
dengan senang. Aku menggenggamnya dengan erat, terlalu erat mungkin. Kedua
sayapnya bergerak dengan liar ditanganku dan aku bisa merasakan detakan aneh
dibawah sayapnya, aku tahu kalau itu adalah detak jantungnya.
Jadi aku menggenggamnya lebih lembut dari sebelumnya. “Burung
apa?” kataku. “ini jenis burung apa? Apa namanya?”
“Rusilla.” Jawab Ayah. “Burung ini disebut Rusilla.”
“Rusilla?” tanyaku. “Rusilla.” Nama yang bagus dan aku
menyukainya.
Aku membawanya ke rumah dan memperlihatkannya pada Lal yang
berusia empat tahun.
“Aku punya seekor Rusilla.” Kataku. “Ini burung yang langka,
masih muda, lemah, dan hampir mati. Tapi kau bisa membantuku mencarikan makanan
untuknya.”
Saat aku menaruh burung itu kedalam kandang anak ayam yang
pernah hidup di taman, Lal berjalan mendekat dan wajahnya sangat seruis. Sejak
hari itu, memelihara dan mencari makanan di taman untuk Rusilla menjadi tugas
kami, Lal dan aku.
Taman adalah tempat yang indah dan menyenangkan. Taman itu
tempat ibu kami, milik Ama sendiri. Dibalik dindingnya ada peternakan yang
diisi oleh kambing, anak-anak ayam, Suleiman si ayam jantan, tempat dimana ayah
berkerja, lebih jauh lagi ada bukit orang-orang Australia dengan wajahnya yang
berbeda. Kami tidak pernah bertemu mereka, dan Ama – sebutan untuk ibu; Ama
berarti cinta – Ama bilang kalau mereka sangat asing. Tapi semua selalu tampak
asing bagi Ama kecuali taman ini.
Didalam tembok itu terdapat pedesaan yang ia kenal. Dingin
dan indah dengan wangi dari berbagai jenis bunga, ada melati seperti
bintang-bintang kecil, bunga violet putih, dan mawar Kashmiri merah muda yang
kuncup seperti kepalan tangan bayi. Wangi masakan suku Punjabi dari dapur tidak
berarti apa-apa ditempat itu. Disana juga ada Shahjehan si ayam betina. Lalu ada
burung-burung liar berdatangan, burung magpie dengan suaranya yang keras yang
membangunkan kami dipagi hari dan berkicau untuk kami dimalam hari, juga seekor
burung hitam yang disebut “kokila” oleh orang india dan “koel” oleh orang
Australia. Semuanya adalah burung yang suka bernyanyi yang datang dan pergi.
Bagi Rusilla, taman ini adalah sebuah sangkar.
Taman ini juga sebuah sangkar bagi Lal. Ia seorang anak kecil
yang baik dan anak laki-laki satu-satunya karena yang lainnya sudah meninggal
setelah ia membuka matanya. Ama dan ayah sangat khawatir terhadap Lal, mereka
menjaganya di taman. Rashida dan aku bisa berlari dengan bebas dipinggiran
sungai, bertelanjang kaki dan berteriak kencang, tapi Lal tidak bisa keluar
rumah tanpa ditemani orang dewasa. Ia harus tetap tinggal di taman bersama si bayi,
Jamila, yang berumur enam bulan, yang menghabiskan hari-harinya dengan memasukkan
genggaman tangan ke mulutnya , melihari daun-daun mawar terbang ke udara atau
tidur sepanjang waktu. Dengan Jamila yang masih kecil itu, bisakah Lal bermain
dengannya? Bagi Lal, Rushida adalah seekor burung sekaligus seorang teman dari surga.
Burung itu benar-benar menjadi milik Lal sejak aku tidak lagi
tertarik dengannya. Aku bilang pada Lal kalau dia boleh memiliki burung itu,
lagipula burung itu tidak berguna karena tidak pernah melakukan apapun selain
berjalan mengelilingi kandangnya. Tapi Lal tidak peduli. Ia menyukai burung itu
dan terus menatapnya selama berjam-jam.
Pada suatu pagi ketika kami bangun tidur, kami tidak melihat
Rusilla, burung itu hilang. Kandangnya terbuka dan Salom si kucing menghilang.
Burung-burung magpie berkicau dan Lal meggerakkan genggaman tangannya karena ia
melihat ayahnya mengepalkan tangannya kearah matahari, lalu dia menangis.
Lal benar-benar menangis, air mata membasahi wajahnya, walau tanpa
suara. Ia berlari mengelilingi taman – cepat dan lambat – melihat kesana
kemari, mencari Rusilla. Tapi ia tidak berkata apapun.
“Ama,” kata Rashida, “biarkan Lal pergi ke sungai bersama aku
dan Nimmi.”
“kami akan memperlihatkan bebek-bebek kepadanya.” Kataku.
“Bayi mungil, Lal.”
Tapi itu bukan hal yang bagus. Ama berkata kepada ayah kalau
itu bukan hal yang bagus, dan ayah tersenyum kecil, menggenggam tangan Lal
dalam waktu yang lama. Tapi airmata masih membasahi wajah Lal dan setiap sore
ayah pergi mengelilingi peterakan untuk mencari Rusilla. Burung dari surge itu
sudah hilang.
Anak-anak tidur bersama di satu kamar dan malam itu Rashida
dan aku terjaga dalam waktu yang lama karena mendengar suara Lal. Akhirnya kami
naik ke tempat tidur besar dan mendekatinya.
“Lal sayang…” kata Rashida, “jangan menangis. Jangan
menangis.” Aku melihat ada airmata yang mengalir dipipi Rashida lalu aku merasa
kalau mataku mulai basah.
“Jangan menangis.” Kataku. Kemudian aku menangis, sangat
kencang. Rashida yang juga menangis menjadi kesal kepadaku, lalu Ama tiba-tiba
masuk ke kamar kami. Ia menggendong Lal kemudian memeluknya seperti bayi kecil.
“Ribut sekali.” katanya. “Pergi tidur.” Lalu Ama duduk
dikursi bersama Lal dan berkata kepadanya dengan bahasa India dengan suaranya
yang pelan – sangat pelan, tapi kami masih bisa mendengarnya. “Anakku,”
katanya. “Anakku, jangan menangis lagi. Allah menciptakan burung untuk terbang.
Jangan menangis. Tidak baik kalau kau diam didalam sangkar sementara kau
memiliki sayap untuk terbang. Jangan menangis. Kau tidak bisa mengurung seekor
burung. Kau tidak bisa menahan apapun, anakku.”
Lal duduk dekat dengan Ama, wajahnya merah karena menangis
terus-menerus. Wajah Ama terlihat lelah tapi tiba-tiba ia tersenyum dan
terlihat cantik. “Besok, Seyed akan mengajakmu naik kereta kuda dan kau bisa
melihat kota.”
“Aku juga, Ama? Aku juga?” Rashida dan aku meloncat dari
tempat tidur. Tidak satupun dari kami pernah pergi ke kota. Lal berhenti
menangis.
“iya, kalian semua.” Jawab Ama. Ia membawa Lal ke kamarnya
sementara Rashida dan aku berbisik-bisik dengan semangat tentang paman Seyed,
Rusilla, dan kota.
Keesokan harinya paman Seyed datang dengan kereta kudanya.
Kereta kuda itu selalu digunakan untuk ke kota dan sudah sangat tua. Dulu
kereta kuda itu digunakan ayah saat pertama kali datang ke Australia. Dengan
uang hasil kerja pertamanya ia membelinya. Masih ada namanya tertulis dibagian
samping kereta.
Sudah lama kami tinggal disini tapi kami belum pernah pergi
ke kota. Kami melompat dibagian belakang kereta sampai Seyed khawatir kami
jatuh. Akhirnya dia mencoba mengobrol dengan kami, berharap bisa membuat kami
diam.
“Lihat, itu lapangan yang bagus.” Katanya. Ia selalu berbicara
menggunakan bahasa Inggris. “Dulu aku ingin ayahmu membeli lapangan itu, tapi
tidak dia lakukan. Dia ingin pulang ke rumah untuk menikah. Aku bilang
kepadanya kalau dia masih terlalu muda untuk menikah, tapi dia tidak
mendengarku.” Seyed menggelengkan kepalanya lalu Rashida tertawa. Rashida tahu
kalau ayahnya berumur empatpuluh tahun saat menikah. Seyed menggeleng lagi.
“Ayahmu selalu bilang ingin menikah.”
Kapan kau akan menikah, paman Seyed?” Tanya Rashida.
“Masih banyak waktu.” Jawab paman Seyed, dia berumur lima puluh
tahun. “Masih banyak waktu.”
“Aku akan menikah denganmu.” Kataku, kemudian aku berfikir
sejenak. “Nanti.” Tambahku, dan Rashida tertawa.
Percakapan itu berlangsung lama hingga matahari terasa
membesar karena cahayanya yang panas disiang hari dan rumah-rumah seperti
mendekat satu sama lain karena bayangannya. Saat kami menuju kota, tidak ada
lagi kalimat yang diucapkan.
“Sebaiknya kalian menunggu disini, tidak terkena sinar
matahari. Jangan berlari ke jalanan, aku akan kembali beberapa menit lagi.”
Seyed menunjukkan jari peringatan kepada kami lalu meninggalkan kami. Kota itu kecil, lalu kami melihat kearahnya, melihat dengan
serius.
“Apa itu?” Tanyaku sambil menunjuk ke sebuah bangunan yang
sangat tinggi.
“Itu gereja.” Jawab Rashida.
“Lihat!” kata Lal tiba-tiba. “Rusilla.”
Kami melihatnya. Itu sebuah patung ayam jantan, berdekatan
dengan sebuah patung lelaki disamping gedung. Patung itu terlihat sangat bagus
dan kami terpukau melihatnya sementara Lal berceloteh tentang Rusilla dengan
gembira, burung dari surga, dan bagaimana burung itu hidup disebuah rumah.
Karena Rusilla dan patung lelaki itu kami jadi tidak
menyadari mereka. Tiba-tiba mereka sudah disana, anak-anak berkulit putih –
seorang anak lelaki tinggi besar, seorang anak perempuan dan seorang anak
kecil. Kami menatap mereka. Mereka juga menatap kami.
“What y’ wearin’ y’ pyjamas in the street f’r? (untuk apa
kalian memakai baju tidur dijalanan?)” Tanya si anak lelaki tinggi besar.
“What y’ wearin’ y’ pyjamas in the street f’r?” Tanya si anak perempuan.
Kami menatap mereka dan aku mengulang pertanyaan itu
dikepalaku, lagi dan lagi seperti sebuah lagu. What are you wearing your pyjamas in the street for? Aku tidak
mengerti apa artinya tapi aku tahu kalau pertanyaan itu tentang pakaian kami.
Kami semua berpakaian sama yaitu salwar kameez, sejenis terusan dan celana
panjang dari katun. Pakaian jenis ini harganya murah dan mudah dibuat. Mengapa
mereka menujuk, bernyanyi dan berulang kali mengatakan kata-kata pedas itu ?
“Negro.” Si anak lelaki tinggi besar mulai bernyanyi. “Tarik
pelatuknya.”
“Negro. Negro. Tarik pelatuknya.” Yang lain mulai ikut
bernyanyi. Mereka semua bernyanyi seperti sebuah game.
“Game!” teriak Lal. Selama ini dia hidup didunia perempuan
dan dia anak lelaki satu-satunya, dan disini ada anak laki-laki lain. Lal
berlari untuk bertemu mereka.
Si anak lelaki tinggi besar menangkap Lal dan memengang
pinggangnya lalu mendorong Lal ke tanah. Aku menatapnya lalu berdiri karena
terkejut, dan aku bisa merasakan kakiku mulai gemetar.
“Sur ka bucha!” kata Rashida. ”Sur ka bucha!” ia berteriak
dan berdiri didepan si anak lelaki tinggi besar, lalu memukulnya dengan kepalan
tangannya. Mulutku menganga karena ucapan Rashida itu berarti “anak babi” dan
sangat kotor untuk diucapkan tapi aku mengikutinya dan berteriak “Sur! Sur!”
dan melompat kehadapan si anak peempuan. Kedua tanganku menggenggam rambutnya.
Kami berkelahi – menendang dan memukul sementara Lal terkejut
dan duduk di tanah – kemudian Seyed kembali.
“Ai! Ai!” teriaknya saat ia melihat kami lalu berlari
mendekat. Karena suaranya, perkelahian kami terhenti dan anak-anak itu berlari
menjauh. Rashida berdiri menatap Seyed, terlihat kuat dan penuh kemarahan, tapi
aku melihat kearah Seyed.
Seyed bertanya kepada kami apa yang sudah terjadi dan aku
mengangkat kepalan tanganku yang berisi beberapa helai rambut berwarna terang
dan mulai menangis. Dan tentu saja, membuat Lal ikut menangis; dia tidak bisa
membiarkan satu pun dari kami menangis sendirian. Seyed mencoba tetap tenang.
Ia menggendong Lal dan membersihkan debu ditubuhnya. Dia membersihkan rambutku
dan berkata pada Rashida siapa yang terlalu angkuh untuk menangis, lalu dia menyeka
hidung Rashida.
“Antarkan kami ke rumah.” Perintah Rashida. “Antarkan kami ke
rumah sekarang.”
“Aku ada keperluan di bank. Tidak bisa pulang sekarang.” Tapi
dia bisa melihat kalau Rashida sudah hampir menangis, jadi dia menyuruh kami
untuk cepat duduk di kereta kuda itu dan membawa kami melewati jalanan. Kami
bersandar dan tidak satupun dari kami yang melihat keluar.
“Kita akan pergi kemana?” tanyakyu dengan suara yang sangat
kecil sehingga Seyed tidak bisa mendengarnya. Rashida mengubah posisi duduknya
dan melihat keluar.
“Kita tidak pulang ke rumah.” Jawabnya, suaranya bergetar. DIa
tetap duduk tegap, terlihat angkuh. Sementara aku tetap bersandar dan menangis
di rambut Lal, menurutku Rashida terlihat sangat mirip dengan ayah dan berharap
orang lain berfikir begitu juga terhadapku.
Seyed membawa kami ke sebuah rumah kecil dibagian lain dari
kota dimana seorang wanita kulit putih tinggal disana. Dia bilang pada kami
untuk tetap bersama wanita itu dan tidak membuat masalah karena wanita itu
adalah temannya, dan jika kami berkelakuan baik dia akan kembali dan
mengantarkan kami pulang dengan segera. Kemudian dia pergi ke kota sementara
kami tetap di taman dan melihat ke tanah.
“Aku tidak tahu nama kalian.” Kata wanita itu.
Rashida yang tertua. “Namaku Rashida Bani. Ini adik
perempuanku, Nimmi Kushil. Dan ini adik laki-lakiku – satu-satunya anak lelaki
di keluarga kami – namanya Lal Muhammad. Kami datang dari peternakan Simla.”
“Aku tahu tempat itu.” kata wanita itu. “Aku tahu tempat itu
dan aku kenal ayahmu sebelum kau lahir.” Kami menatapnya dengan sopan; dia
pasti sangat tua. Kami tidak bisa membayangkan saat dimana ayah dan Ama belum
memikirkan dan mengharapkan kami.
Wanita itu membawa kami kedalam rumahnya dan seperti wanita
bijaksana lainnya, ia pergi dengan pekerjaannya dan meninggalkan kami
sendirian. Kami berjalan mengelilingi rumah secara perlahan, melihat satu sama
lain, dan melihat semuanya. Lalu kami memutuskan.
Rashida berdiri didekat piano. Dia menekan tombolnya. Lalu
sesuatu yang hebat terjadi. Suatu nada keluar dengan kencang dan jelas.
Kemudian menghilang, tapi kau tahu kalau nada itu tidak akan pergi karena kau
sudah mengingatnya difikiran dan hatimu. Di menekan tombol lainnya dan setelah
nadanya mulai terdengar, dia menyanyi. Kemudian ada dua nada yang sama dan
berbeda tapi lagi-lagi nada piano itu menghilang dan tersimpan difikiranmu. Lal
tertawa dan aku berdiri mendengarkan semetara Rashida mencoba nada lain yang
berbeda. Beberapa bernada tinggi dan ada juga yang bernada rendah, dan dia
bernyanyi sebisanya dengan semua nada itu. di rumah, dia selalu bernyanyi dan
dia tahu semua lagu milik Ama.
Aku duduk dilantai dekat Rashida dan membalikkan halaman
majalah. Halamannya bersinar dan wangi. Ada gambar besar dan aku mendekatkan
kepalaku untuk melihat dan menciumnya dan aku benar-benar menyukainya.
Lal mulai berbicara pada seeker kucing hitam yang tidur
dibawah meja. Ia berbicara dengan gembira dalam waktu yang lama tapi kucing itu
bangun dan berjalan memasuki ruangan lain. Lal mengikutinya.
Tiba-tiba terdengar suara siulan keras dan teriakan Lal.
Rashida dan aku bangkit dan berlari mengejar Lal. Dia berada di dapur, berdiri
didepan kompor. Diatas kompor itu ada sebuah ceret, sebuah ceret yang
bernyanyi. Ia menunjuk ceret itu.
“Lihat.” Katanya. “Dengar.” Kami tidak percaya. Kami bertiga
berdiri disana dengan mata terbuka lebar karena terkejut. Sebuah ceret
bernyanyi, bernyanyi dengan suara yang jelas dan tinggi.
“Seperti seekor burung.” Kata Rashida.
“Sulap.” Kataku.
“Russila.” Kata Lal.
Wanita itu masuk dan mengangkat ceret itu sambil mematikan
kompornya. “Ceret ini bernyanyi untuk memberitahu kalau airnya sudah panas.”
Katanya. “Aku melihat pamanmu berada dijalan kembali kesini dan menaruh ceret
ini untuk membuat teh.”
Lalu kami duduk untuk minum teh dan makan kue juga mengobrol
seperti sebuah keluarga. Sekarang kami menyukai wanita itu, wanita baik hati
dengan piano dan majalah, kucing dan ceret itu. Kami bercerita tentang
peternakan, tentang rusilla dan taman dimana Lal tinggal, juga tentang Jamila
si bayi mungil dan tentang betapa lama waktu tidurnya. Kami menceritakan apapun
kepadanya dan dia mendengarkan, tertawa dan tersenyum sementara Seyed minum teh
hitam penuh gula. Lal juga bercerita. Ia bercerita kepada Seyed dengan sangat
serius tentang ceret luar biasa yang benyanyi seperti seekor burung.
Kemudian kami keluar mendekati kereta kuda milik Seyed. Kami
berdiri sejenak di taman untuk mengucapkan selamat tinggal dan wanita itu
memetik dua tangkai mawar lalu memberikan yang berwarna merah pekat ke Rashida
dan setangkai mawar merah muda kepadaku.
“Untuk gadis-gadis yang baik.” katanya. Lalu ia melihat
kearah Lal dan mengusap kepalanya. “Aku tidak bisa memberi bunga kepada seorang
laki-laki.”
Wajah Lal menunduk dan kami khawatir dia akan menangis, tapi
dia hanya terlihat sedih dan Seyed menggendongnya menaiki kereta kuda.
“Jangan pergi.” Kata wanita itu. “Tunggu.” Lalu dia masuk
kedalam rumahnya.
Kami semua sudah duduk di kereta kuda dan siap pergi saat dia
keluar. Dia membawa ceret itu. “Ini untukmu.” Katanya dan ia memberikan ceret itu kepada
Lal. “Aku masih punya dua.”
Lal menatap ceret itu tapi Seyed menatapnya penuh makna, dan
separuh hatinya ingin mengambil ceret
itu dan mengembalikannya. Bahkan Lal juga tahu kalau laki-laki suku Punjabi
tidak menerima hadiah dengan mudah.
“Biarkan dia membawanya.” Kata wanita itu. “Seorang teman
memberimu sesuatu yang sudah menjadi miliknya.” Seyed terlihat berfikir, lalu dia tersenyum, sebuah senyum
yang bagus. “Kau wanita suku Punjabi.” Katanya.
Sekarang ceret itu menjadi milik Lal. Sepanjang perjalanan ke
rumah, kami menggenggam hadiah kami masing-masing, bahkan saat kami tertidur.
Tapi kami terbangun ketika sudah hampir sampai di rumah. Kami melompat
mendekati Seyed yang khawatir kami akan jatuh. Kami mendengarnya berdoa kepada
Allah untuk menjaga kami hingga dia mengantarkan kami ke rumah dan bertemu
ayah.
Matahari mulai tenggelam saat kami melihat rumah kami. Hari
itu berakhir. Burung-burung terbang kembali ke pepohonan dan ada suara-suara
kecil dari hewan malam yang mengantuk.
Juga tercium bau asap kayu dan masakan, dan disana, didekat pintu, ada
Ama dengan si bayi dalam gendongan dan sebuah senter di tangannya.
“Tidak lagi.” Kata Seyed Muhammad dengan serius (tapi tidak
sungguhan) saat dia membantu kami turun dari kereta kuda. “Aku tidak akan
membawa anak-anak mengerikan ini lagi ke kota, selama Allah membiarkanku
hidup.”
Kami semua menertawakannya dan kami memberikan bunga mawar
untuk Ama agar dia bisa mencium wanginya. Tapi Lal memaksa berdiri diantara
kami.
“Lihat, Ama.” Katanya sambil mengangkat ceret miliknya,
“Rusilla.”
***
Catatan:
Cerita ini berjudul "Because of the Rusilla" karya Mena Abdullah dan Rey Mathew.
Mena Abdullah (1930–) adalah putri dari seorang imigran suku Punjabi di Australia. Ia hidup di daerah peternakan kambing dekat sungai Gwydir di New South Wales. Selama beberapa tahun ia bekerja Organisasi Persemakmuran dan Penelitian Ilmiah, dimana ia bertemu dengan Rey Mathew (1929–2002). Bersama-sama mereka menulis sebuah kumpulan cerpen berjudul The Time of the Peacock (1965) termasuk cerita Because of the Rusilla. Mena Abdullah terus menulis cerita pendek yang kebanyakan tentang kehidupan sebagai muslim di Australia. Rey Mathew menghabiskan sebagian besar hidupnya di luar Australia sebagai penulis naskah dan kritikus seni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar