Diceritakan kembali oleh: Christine Lindop
Penerjemah: Siti Nadroh
Terkadang, masa kini
tidaklah cukup, orang-orang harus terhubung dengan masa lalu – untuk mengetahui
sejarah keluarga mereka, siapa mereka, darimana asal mereka, bagaimana mereka
hidup…
Di Barat Laut
Queensland ada seorang pria yang mencari masa lalunya. Disini, matahari membakar
daratan kering dan gersang, udara panas membuat mata menjadi merah. Bagaimana
orang-orang – atau pepohonan – bertahan di udara panas yang mengerikan ini?
“Hanya sekaleng susu, saya khawatir, Tuan Condon. Saat Anda
hidup di tempat seperti ini Anda harus mengharapkan itu.” Kata seorang wanita.
Dia menggenggam dan mengangkat tinggi sebuah teko ke udara, menunggu jawaban.
“Oh – tidak, jangan susu. Terima kasih.” Sejenak dia
melupakan wanita itu dan menatap pemandangan yang tidak ramah diluar. Lalu dia
mendekati wanita itu dan mencoba mengobrol walaupun cuacanya terlalu panas
untuk bergabung dengan pesta minum teh yang konyol itu. Wanita itu bahkan
mengganti pakiannya!
“Apa Anda sudah lama tinggal disini, Nyonya Hastings?”
“Tidak. Harold datang kesini sebagai seorang menejer dua
tahun lalu – itu terjadi sebelum saya menikah dengannya. Saya tidak mengerti
mengapa dia tinggal di tempat seperti ini! Kami mengharapkan suatu pekerjaan di
kota secepat kami bisa mendapatkan sebuah rumah. Tentu saja bayarannya bagus,
itu benar. Tapi tujuhpuluh mil dari kota terdekat – bayangkan! Dan sejujurnya,
Tuan Condon, Saya tidak berfikir kalau kehidupan di kota cocok untuk saya. Anda
tahu, rumah lama saya ditepi sungai, cukup dekat ke pertokoan di kota – tepat
ditengah-tengah. Tapi kalau Charlotte Downs – saya selalu berkata, “pemandangan terbaik Charlotte Downs adalah
dari kaca saat kau pergi menjauh.”
Tuan Condon tertawa kecil, “Jadi, siapa pemilik tempat ini
sebenarnya?”
“Oh, milik sebuah perusahaan, seperti kebanyakan tempat tua
lain disini. Tidak akan ada orang yang memilih untuk tinggal disini, ‘kan? Saya
tidak tahu sudah berapa lama mereka memilikinya. Kami kadang mendapat suatu
kunjungan dari orang-orang penting – dengan mobil-mobil besar, anda tahu, dan
pakaian yang bagus – tapi hanya dimusim dingin.” Ia agak marah lalu tertawa
kecil. “Mereka tidak perlu tahu seperti apa akhir tahun disini, ‘kan?”
“Lalu, anda tidak tahu apakah ada bangunan-bangunan asli yang
masih berdiri?”
Wanita itu terlihat bosan. “Tidak. Saya tidak pernah
menanyakannya. Tapi Bertha mungkin tahu – dia selalu bekerja dirumah ini.
Ayahnya bekerja disini dengan teko sepanjang hidupnya. Jika anda ingin bertanya
kepadanya…”
“Baiklah, sebenarya saya memiliki sebuah alasan khusus, anda
tahu.” Dia mulai menjelaskan. Tapi wanita itu tidak tertarik dengan alasannya.
“Bertha.” Dia memanggil seseorang dengan menghadap ruangan
gelap diluar beranda. “Kemari sebentar.”
Senjenak sunyi, kemudian pintu dibelakang pria itu
terbuka, lalu dia berbalik. Bertha datang mendekat – berumur lebih dari
empatpuluh tahun, berkulit cokelat tua, bertelanjang kaki, dengan pakaian yang
lusuh, berjalan penuh rasa sakit dengan kaki yang kurus kecil.
“Ya, Nona?”
“Panggil saya Nyonya Hastings, Bertha, bukankah saya sudah
pernah mengatakannya kepadamu. Pria ini , Tuan Condon, ingin mengetahui sesuatu
tentang bangunan-bangunan disini.” Dia menaruh rokok dan pergi dengan tidak
sabar.
“Saya hanya bertanya pada nyonya Hastings…” – Condon berkata karena
tidak enak hati – “Apakah ada bangunan-bangunan asli yang tersisa, yang pertama
kali dibangun disini.”
Bertha mengangkat lengannya yang kurus. “Diluar sana, didekat
pohon hijau besar, anda lihat?”
“Ya.” Jawab Condon.
“Itu adalah rumah tua, ayahku yang mengatakannya beberapa
tahun lalu. Lihat, rumah itu terbuat dari papan. Mereka menggunakannya sebagai
tempat penyimpanan – kayu, cat, dan lainnya. Hampir ambruk, Anda lihat?”
“Apakah ayahmu – apakah dia pernah mengatakan kepadamu
tentang orang-orang yang membangun pondok itu? Orang-orang memanggilnya keluarga
Condon.”
Wajah Bertha tidak menunjukkan apapun. “Tidak. Saya sedang
memasak, Nona – maksudku, Nyonya Hastings. Sebaiknya saya pergi dan melihat
masakan saya.”
Nyonya Hastings berjalan kearah Condon, pendengarannya jelas
sekali. “Ada pertanyaan lain, Tuan Condon?”
Condon menggelengkan kepalanya dan berterimakasih kepada
Bertha. Tidak ada yang tersisa disana. Tahun-tahun berlalu, debu dari
musim-musim kemarau dan basahnya musim hujan sudah menghapus semua yang pernah
ada. Tapi dia tetap ingin melihat bangunan itu sebelum dia pergi.
“Katakan padaku,” Nyonya Hastings bertanya, hanya sedikit
penasaran, “berapa tahun yang lalu saat keluarga Anda disini?”
“Kakek moyang saya meninggal disini pada tahun 1865.”
“Ya tuhan! Dan anda masih tertarik dengan hal itu?” kata
nyonya Hastings. “Apa Anda ingin pergi dan melihat bangunan itu, mungkin?”
Condon berdiri, “Ya, terimakasih. Saya harus segera pergi.
Saya ada janji di kota malam ini.”
“Silakan anda pergi sendiri kesana.” Kata Nyonya Hastings.
“Saya tidak akan keluar, udaranya terlalu panas. Tapi saya akan kembali untuk
mengucapkan selamat tinggal. Tidak banyak tamu yang datang kesini.” Matanya dengan
jelas menunjukkan kalau persoalan pengunjung disini adalah suatu kekecewaan
yang nyata.
Condon berjalan menuruni tangga dan mendekati bangunan tua.
Sambil meninggalkan beranda yang teduh, udara panas membawa helaan nafasnya.
Menurutnya bulan November adalah bulan terburuk untuk pergi ke daerah barat
laut Queensland. Jika perusahaannya mengirimnya kesana lagi untuk urusan
bisnis, dia akan mencoba menolaknya. Nama kota itu Hambleton – kota yang
membuatnya berhenti. Jadi, masih ada,
fikirnya, Hambleton, nama yang muncul didalam buku harian tua yang sekarang
tulisannya sudah menjadi merah muda, seperti darah kering diatas kertas. Jadi, tempat
itu benar-benar ada. Kemudian dia memutuskan untuk melihatnya.
Bangunan kecil itu nampak buruk sekarang, tapi dia bisa melihat kalau bagnunan itu dibuat
dengan sungguh-sungguh. Dia teringat akan cerita selama
gedung itu dibangun, tertulis didalam buku harian, bulan demi bulan; memilih
pepohonan, memotongnya, membuat papan, menggabungkan semuanya, kemudian memasang
atap dan membuat lantai.
***
Ellen dan anak-anak
pindah ke rumah itu kemarin. Sebuah pilihan terbaik daripada sebuah kereta
kuda, dan mereka sangat senang. Masa depan terlihat bagus, dan ternaknya baik-baik
saja.
***
Ia membungkuk untuk melihat bagian-bagian rumah yang terbuat
dari kayu itu, hampir satu abad lamanya – ya, Stephen Condon tua sudah
mengetahui pekerjaannya. “Tapi untuk apa aku mengetahuinya?” Dia bergumam
dengan sedih. Oleh karena itu, jelas baginya jika pada akhirnya Stephen akan bangga dengan karyanya sendiri melalui cara yang tidak pernah diketahuinya.
Dibagian dalam, bangunan itu dipenuhi berbagai jenis sampah, dirawat lalu ditinggalkan oleh pemilik yang berbeda bertahun-tahun yang lalu. Dua roda
tua untuk kereta kuda tersandar di pojok, ada beberapa papan kayu, logam-logam
tua berukuran kecil yang aneh, tonggak kayu, untaian tali, kotak kosong, dan
benda-benda rusak lain yang dilupakan – semuanya tertutup debu putih tebal.
Bagian dalam rumah itu menghilang dibaliksampah tersebut.
Dia bisa melihat tempat dimana dulu terdapat sebuah jendela.
Tempat dimana dia melihat Ellen, nenek moyangnya, yang datang dan hidup dalam
fikirannya melalui lembaran buku harian itu. Disana nenek moyangnya duduk dan
menjahit; disana nenek moyangnya bersandar, lemah karena sakit, sementara dua
anaknya panas karena demam berada ditempat tidur yang keras; disana nenek
moyangnya mengenal kesepian, ketakutan dan kebahagiaan. Ellen – berumur 17
tahun saat menika, 20 tahun saat ia datang ke Australia dari perbukitan hijau
yang teduh di Devonshire, 22 tahun saat meninggal dunia, Ellen yang menyukai
burung dan menyimpan beberapa potong roti untuk diberikan kepada burung-burung
itu, Ellen yang membenci ular dan kehilangan putrinya karena gigitan ular. Dan
disana, didekat cerobong asap, terdapat sebuah meja. Dia membayangkan Stephen
yang sedang memotong kayu, membuat meja, dan memberikannya kepada Ellen.
Tetapi udara panas di pondok kecil itu membawa Condon kembali
ke pintu. Dia bersandar diluar pintu sambil menghela nafas dan melihat
sekeliling bangunan-bangunan rumah lalu kearah pepohonan kering dan tanah yang
gersang.
Para pelopor. Betapa bodohnya orang-orang yang membicarakan
tentang mereka. Pada akhirnya, para pelopor itu hanya manusia biasa seperti
yang lainnya – mereka bukan orang-orang yang baik, atau lebih kuat, atau bahkan
lebih baik. Jika mereka bisa memilih maka tidak akan ada orang yang memilih
untuk hidup di tempat seperti ini, dia bisa membayangkan ucapan Nyonya
Hastings. Atau justru orang-orang itu benar-benar berbeda? Apakah mereka
menemukan makna yang lebih dalam, tujuan yang lebih baik, dalam hidupnya –
lebih dari yang diketahui oleh nyonya Hstings dan dirinya, John Condon? Hal itu
tidak berguna untuk ditanyakan – kau tidak bisa tahu lebih banyak selain apa
yang diucapkan buku harian kepadamu.
Dan apa yang dikatakan buku itu tentang pondok mengerikan
yang berada disampingnya? Kematian, kematian, dan kematian; harapan yang
hilang, lalu hidup kembali; kesepian, kebodohan, kelaparan yang menjanjikan
kematian – kemudian tulisan tangan terakhirnya menangis: istriku meniggal dunia. Tidak ada namanya, tidak pernah disebutkan
lagi, dan buku harian itu berakhir.
Secara tidak sengaja Condon menemukan tempat istirahat,
didekat laut, dibawah panasnya kota bagian utara, dimana Stephen Condon biasa menghabiskan
waktunya untuk membaca koran-koran lama. Impian Stephen Condon tiba pada sebuah
akhir yang menyedihkan; dia pergi dari Charlotte Downs, tidak meninggalkan
apapun kecuali makam dibelakangnya. Dia mengemudi dan membawa putranya yang
masih hidup, tigaratus mil kearah kota bagian utara itu, dan meninggal disana.
Apa yang terjadi setelahnya? John Condon tidak mengetahuinya.
Hanya buku harian itu yang tersisa, ditemukan diantara lembaran kertas tua saat
ayahnya meninggal dunia. Pada bagian sampul ayahnya menulis “Buku harian kakekku?”dan
Stephen Condon menghilang dibalik tanda tanya itu, menjadi sebuah masa lalu yang
hilang.
Lalu mengapa dia, John Condon, datang ke tempat itu? Tidak
ada yang dia dapatkan selain rasa sakit kepala. Apakah dia ingin kembali ke
tempat itu, sebuah daerah dengan panas yang mengerikan, dimana mata dan
kepalamu seperti terbakar? Hal itu mungkin terjadi jika dia mampu membeli
tempat itu – dan tentu saja dia tidak mampu – tidak, sebenarnya da benar-benar
tidak menginginkannnya. Dia menutup pintu dan mencari tempat berteduh. Dia akan
pergi sesegera mungkin setelah dia menemukan wanita itu dan mengucapkan
perpisahan. Kematian! Tempat itu dipenuhi oleh kematian.
Terdapat sebuah tempat berteduh disekitar dinding yang
mengelilingi pondok itu. Diantara panasnya udara dan sinar matahari yang
membakar, dia melihat sebuah tempat teduh lalu berajalan mendekatinya sambil
bersyukur. Kemudian dia memandang dedauan hijau rindang diatas kepalanya
yang bergerak perlahan karena tertiup angin, menghasilkan kesejukan. Itu adalah
sebuah pohon ara yang menangis.
***
Hari ini Ellen menanam
pohon ara Port Jackson. Sepertinya mustahi pohon itu bisa bertahan, tapi dengan
segala cara dia tetap menjaganya agar tetap hidup dekat kereta kuda. Kami
menanamnya untuk masa tua kami dengan sebuah kursi dan meja dibawahnya,
walaupun tingginya sekarang hanya satu kaki. Pohon itu akan menciptakan suatu
kesejukan yang indah untuk taman kami…
***
Hari yang sangat sulit
dan menyedihkan bagi kami berdua. Hari ini kami memakamkan Jane kecil dekat pohon
ara itu. Ellen bilang kalau kami harus memakamkannya didekat rumah.
***
Semalam Ellen baru saja
melahirkan seorang anak laki-laki, tapi dia meninggal sesaat setelah dilahirkan.
Ellen sangat terpukul dan lemah. Satu putra masih tersisa untuk kami…
***
Suatu perjalanan gila – suatu perjalanan hati, bukan kepala.
Walaupun Condon tidak bisa merasakan, tapi saat dia memandang bayang-bayang
biru-hijau pepohonan itu, dia merasakan suatu kemenangan. “Baiklah…” katanya
dalam hati, walaupun dia tidak benar-benar tahu kenapa, “maanfaatnya muncul.”
Ya, pohon ara itu selamat. Pohon itu masih hidup dengan daunnya yang hijau;
disebuah tempat yang gersang, pohon itu berhasil bertahan hidup. Dan keluarga
Condons yang meninggal sudah memberikan darah mereka untuk membuat pohon ini
menjadi sesuatu yang bernyawa. Pohon itu lebih tinggi dari apapun yang bisa dia
lihat. Keluarga Condons dan pemandangan gersang itu – disana mereka bertemu.
Itulah sumbernya – itulah yang mereka inginkan.
Nyonya Hastings berjalan perlahan melewati rumput kering,
topi penghalang sinar mataharinya bersinar merah muda. “Mari minum sebentar sebelum Anda pergi, tuan Condon. Anda
sudah berada disini hampir satu jam! Menurutku matahari sudah membuat Anda
sakit.”
Tiba-tiba dia menunjuk keatas pohon itu. “Nenek moyangku dan
dua anaknya dimakamkan dibawah pohon ini.” Sekarang, mengapa dia mengatakan
itu? Akhirnya dia sadar kalau dia bangga dengan kenyataan yang ada.
Nyonya Hastings sedikit menjerit, “tapi… sungguh mengerikan!
Sekarang saya benar-benar tidak suka dengan tempat ini. Saya merinding setiap
kali berfikir tentang makam. Mari kembali ke rumah. Tidak lama lagi suami
saya akan kembali; saya yakin dia akan sangat senang bertemu dengan Anda.”
Pergi menjauh, John Condon kembali menjadi seorang pengusaha.
Dia tidak memiliki banyak waktu untuk datang ke kota demi memenuhi janjinya.
Tinggi dan gagah diatas tanah gersang, pohon ara yang menangis itu menggerakkan
daun-daunnya penuh kemenangan, tapi John Condon tidak melihat kebelakang. Dia
sudah mendapatkan apa yang menjadi alasannya datang kesana.
***
Catatan:
Cerita ini berjudul "The Weeping Fig" karya Judith Wright.
Judith Wright (1915 – 2000) terkenal karena puisinya walaupun
dia juga banyak menulis cerita pendek dan buku anak-anak. Banyak orang yang
menganggap dia sebagai salah satu penyair terbaik Australia di abad 20. Dia memiliki cinta yang
dalam terhadap alam Australia. Selama bertahun-tahun dia berkerja menjaga
lingkungan dan memperjuangkan hak asasi suku Aborigin. Dia disebut sebagai “Suara
hati Australia”. Dan dia meyatakan bahwa “Saya akan tetap menjadi seorang
penulis dan pelestari alam selama hidupku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar