Pages

Rabu, 20 Juli 2016

Pohon Ara yang Menangis





Penulis:  Judith Wright 
Diceritakan kembali oleh: Christine Lindop
Penerjemah:  Siti Nadroh


 

Terkadang, masa kini tidaklah cukup, orang-orang harus terhubung dengan masa lalu – untuk mengetahui sejarah keluarga mereka, siapa mereka, darimana asal mereka, bagaimana mereka hidup…

Di Barat Laut Queensland ada seorang pria yang mencari masa lalunya. Disini, matahari membakar daratan kering dan gersang, udara panas membuat mata menjadi merah. Bagaimana orang-orang – atau pepohonan – bertahan di udara panas yang mengerikan ini?



“Hanya sekaleng susu, saya khawatir, Tuan Condon. Saat Anda hidup di tempat seperti ini Anda harus mengharapkan itu.” Kata seorang wanita. Dia menggenggam dan mengangkat tinggi sebuah teko ke udara, menunggu jawaban.

“Oh – tidak, jangan susu. Terima kasih.” Sejenak dia melupakan wanita itu dan menatap pemandangan yang tidak ramah diluar. Lalu dia mendekati wanita itu dan mencoba mengobrol walaupun cuacanya terlalu panas untuk bergabung dengan pesta minum teh yang konyol itu. Wanita itu bahkan mengganti pakiannya!

“Apa Anda sudah lama tinggal disini, Nyonya Hastings?”

“Tidak. Harold datang kesini sebagai seorang menejer dua tahun lalu – itu terjadi sebelum saya menikah dengannya. Saya tidak mengerti mengapa dia tinggal di tempat seperti ini! Kami mengharapkan suatu pekerjaan di kota secepat kami bisa mendapatkan sebuah rumah. Tentu saja bayarannya bagus, itu benar. Tapi tujuhpuluh mil dari kota terdekat – bayangkan! Dan sejujurnya, Tuan Condon, Saya tidak berfikir kalau kehidupan di kota cocok untuk saya. Anda tahu, rumah lama saya ditepi sungai, cukup dekat ke pertokoan di kota – tepat ditengah-tengah. Tapi kalau Charlotte Downs – saya selalu berkata, “pemandangan terbaik Charlotte Downs adalah dari kaca saat kau pergi menjauh.”

Tuan Condon tertawa kecil, “Jadi, siapa pemilik tempat ini sebenarnya?”

“Oh, milik sebuah perusahaan, seperti kebanyakan tempat tua lain disini. Tidak akan ada orang yang memilih untuk tinggal disini, ‘kan? Saya tidak tahu sudah berapa lama mereka memilikinya. Kami kadang mendapat suatu kunjungan dari orang-orang penting – dengan mobil-mobil besar, anda tahu, dan pakaian yang bagus – tapi hanya dimusim dingin.” Ia agak marah lalu tertawa kecil. “Mereka tidak perlu tahu seperti apa akhir tahun disini, ‘kan?”

“Lalu, anda tidak tahu apakah ada bangunan-bangunan asli yang masih berdiri?”

Wanita itu terlihat bosan. “Tidak. Saya tidak pernah menanyakannya. Tapi Bertha mungkin tahu – dia selalu bekerja dirumah ini. Ayahnya bekerja disini dengan teko sepanjang hidupnya. Jika anda ingin bertanya kepadanya…”

“Baiklah, sebenarya saya memiliki sebuah alasan khusus, anda tahu.” Dia mulai menjelaskan. Tapi wanita itu tidak tertarik dengan alasannya.

“Bertha.” Dia memanggil seseorang dengan menghadap ruangan gelap diluar beranda. “Kemari sebentar.”

Senjenak sunyi, kemudian pintu dibelakang pria itu terbuka, lalu dia berbalik. Bertha datang mendekat – berumur lebih dari empatpuluh tahun, berkulit cokelat tua, bertelanjang kaki, dengan pakaian yang lusuh, berjalan penuh rasa sakit dengan kaki yang kurus kecil.

“Ya, Nona?”

“Panggil saya Nyonya Hastings, Bertha, bukankah saya sudah pernah mengatakannya kepadamu. Pria ini , Tuan Condon, ingin mengetahui sesuatu tentang bangunan-bangunan disini.” Dia menaruh rokok dan pergi dengan tidak sabar.

“Saya hanya bertanya pada nyonya Hastings…” – Condon berkata karena tidak enak hati – “Apakah ada bangunan-bangunan asli yang tersisa, yang pertama kali dibangun disini.”

Bertha mengangkat lengannya yang kurus. “Diluar sana, didekat pohon hijau besar, anda lihat?”

“Ya.” Jawab Condon.

“Itu adalah rumah tua, ayahku yang mengatakannya beberapa tahun lalu. Lihat, rumah itu terbuat dari papan. Mereka menggunakannya sebagai tempat penyimpanan – kayu, cat, dan lainnya. Hampir ambruk, Anda lihat?”

“Apakah ayahmu – apakah dia pernah mengatakan kepadamu tentang orang-orang yang membangun pondok itu? Orang-orang memanggilnya keluarga Condon.”

Wajah Bertha tidak menunjukkan apapun. “Tidak. Saya sedang memasak, Nona – maksudku, Nyonya Hastings. Sebaiknya saya pergi dan melihat masakan saya.”

Nyonya Hastings berjalan kearah Condon, pendengarannya jelas sekali. “Ada pertanyaan lain, Tuan Condon?”

Condon menggelengkan kepalanya dan berterimakasih kepada Bertha. Tidak ada yang tersisa disana. Tahun-tahun berlalu, debu dari musim-musim kemarau dan basahnya musim hujan sudah menghapus semua yang pernah ada. Tapi dia tetap ingin melihat bangunan itu sebelum dia pergi.

“Katakan padaku,” Nyonya Hastings bertanya, hanya sedikit penasaran, “berapa tahun yang lalu saat keluarga Anda disini?”

“Kakek moyang saya meninggal disini pada tahun 1865.”

“Ya tuhan! Dan anda masih tertarik dengan hal itu?” kata nyonya Hastings. “Apa Anda ingin pergi dan melihat bangunan itu, mungkin?”

Condon berdiri, “Ya, terimakasih. Saya harus segera pergi. Saya ada janji di kota malam ini.”

“Silakan anda pergi sendiri kesana.” Kata Nyonya Hastings. “Saya tidak akan keluar, udaranya terlalu panas. Tapi saya akan kembali untuk mengucapkan selamat tinggal. Tidak banyak tamu yang datang kesini.” Matanya dengan jelas menunjukkan kalau persoalan pengunjung disini adalah suatu kekecewaan yang nyata.

Condon berjalan menuruni tangga dan mendekati bangunan tua. Sambil meninggalkan beranda yang teduh, udara panas membawa helaan nafasnya. Menurutnya bulan November adalah bulan terburuk untuk pergi ke daerah barat laut Queensland. Jika perusahaannya mengirimnya kesana lagi untuk urusan bisnis, dia akan mencoba menolaknya. Nama kota itu Hambleton – kota yang membuatnya berhenti. Jadi, masih ada, fikirnya, Hambleton, nama yang muncul didalam buku harian tua yang sekarang tulisannya sudah menjadi merah muda, seperti darah kering diatas kertas. Jadi, tempat itu benar-benar ada. Kemudian dia memutuskan untuk melihatnya.

Bangunan kecil itu nampak buruk sekarang, tapi dia bisa melihat kalau bagnunan itu dibuat dengan sungguh-sungguh. Dia teringat akan cerita selama gedung itu dibangun, tertulis didalam buku harian, bulan demi bulan; memilih pepohonan, memotongnya, membuat papan, menggabungkan semuanya, kemudian memasang atap dan membuat lantai.

***

Ellen dan anak-anak pindah ke rumah itu kemarin. Sebuah pilihan terbaik daripada sebuah kereta kuda, dan mereka sangat senang. Masa depan terlihat bagus, dan ternaknya baik-baik saja.

***

Ia membungkuk untuk melihat bagian-bagian rumah yang terbuat dari kayu itu, hampir satu abad lamanya – ya, Stephen Condon tua sudah mengetahui pekerjaannya. “Tapi untuk apa aku mengetahuinya?” Dia bergumam dengan sedih. Oleh karena itu, jelas baginya jika pada akhirnya Stephen akan bangga dengan karyanya sendiri melalui cara yang tidak pernah diketahuinya.

Dibagian dalam, bangunan itu dipenuhi berbagai jenis sampah, dirawat lalu ditinggalkan oleh pemilik yang berbeda bertahun-tahun yang lalu. Dua roda tua untuk kereta kuda tersandar di pojok, ada beberapa papan kayu, logam-logam tua berukuran kecil yang aneh, tonggak kayu, untaian tali, kotak kosong, dan benda-benda rusak lain yang dilupakan – semuanya tertutup debu putih tebal. Bagian dalam rumah itu menghilang dibaliksampah tersebut.

Dia bisa melihat tempat dimana dulu terdapat sebuah jendela. Tempat dimana dia melihat Ellen, nenek moyangnya, yang datang dan hidup dalam fikirannya melalui lembaran buku harian itu. Disana nenek moyangnya duduk dan menjahit; disana nenek moyangnya bersandar, lemah karena sakit, sementara dua anaknya panas karena demam berada ditempat tidur yang keras; disana nenek moyangnya mengenal kesepian, ketakutan dan kebahagiaan. Ellen – berumur 17 tahun saat menika, 20 tahun saat ia datang ke Australia dari perbukitan hijau yang teduh di Devonshire, 22 tahun saat meninggal dunia, Ellen yang menyukai burung dan menyimpan beberapa potong roti untuk diberikan kepada burung-burung itu, Ellen yang membenci ular dan kehilangan putrinya karena gigitan ular. Dan disana, didekat cerobong asap, terdapat sebuah meja. Dia membayangkan Stephen yang sedang memotong kayu, membuat meja, dan memberikannya kepada Ellen.

Tetapi udara panas di pondok kecil itu membawa Condon kembali ke pintu. Dia bersandar diluar pintu sambil menghela nafas dan melihat sekeliling bangunan-bangunan rumah lalu kearah pepohonan kering dan tanah yang gersang.

Para pelopor. Betapa bodohnya orang-orang yang membicarakan tentang mereka. Pada akhirnya, para pelopor itu hanya manusia biasa seperti yang lainnya – mereka bukan orang-orang yang baik, atau lebih kuat, atau bahkan lebih baik. Jika mereka bisa memilih maka tidak akan ada orang yang memilih untuk hidup di tempat seperti ini, dia bisa membayangkan ucapan Nyonya Hastings. Atau justru orang-orang itu benar-benar berbeda? Apakah mereka menemukan makna yang lebih dalam, tujuan yang lebih baik, dalam hidupnya – lebih dari yang diketahui oleh nyonya Hstings dan dirinya, John Condon? Hal itu tidak berguna untuk ditanyakan – kau tidak bisa tahu lebih banyak selain apa yang diucapkan buku harian kepadamu.

Dan apa yang dikatakan buku itu tentang pondok mengerikan yang berada disampingnya? Kematian, kematian, dan kematian; harapan yang hilang, lalu hidup kembali; kesepian, kebodohan, kelaparan yang menjanjikan kematian – kemudian tulisan tangan terakhirnya menangis: istriku meniggal dunia. Tidak ada namanya, tidak pernah disebutkan lagi, dan buku harian itu berakhir.

Secara tidak sengaja Condon menemukan tempat istirahat, didekat laut, dibawah panasnya kota bagian utara, dimana Stephen Condon biasa menghabiskan waktunya untuk membaca koran-koran lama. Impian Stephen Condon tiba pada sebuah akhir yang menyedihkan; dia pergi dari Charlotte Downs, tidak meninggalkan apapun kecuali makam dibelakangnya. Dia mengemudi dan membawa putranya yang masih hidup, tigaratus mil kearah kota bagian utara itu, dan meninggal disana.

Apa yang terjadi setelahnya? John Condon tidak mengetahuinya. Hanya buku harian itu yang tersisa, ditemukan diantara lembaran kertas tua saat ayahnya meninggal dunia. Pada bagian sampul ayahnya menulis “Buku harian kakekku?”dan Stephen Condon menghilang dibalik tanda tanya itu, menjadi sebuah masa lalu yang hilang.

Lalu mengapa dia, John Condon, datang ke tempat itu? Tidak ada yang dia dapatkan selain rasa sakit kepala. Apakah dia ingin kembali ke tempat itu, sebuah daerah dengan panas yang mengerikan, dimana mata dan kepalamu seperti terbakar? Hal itu mungkin terjadi jika dia mampu membeli tempat itu – dan tentu saja dia tidak mampu – tidak, sebenarnya da benar-benar tidak menginginkannnya. Dia menutup pintu dan mencari tempat berteduh. Dia akan pergi sesegera mungkin setelah dia menemukan wanita itu dan mengucapkan perpisahan. Kematian! Tempat itu dipenuhi oleh kematian.

Terdapat sebuah tempat berteduh disekitar dinding yang mengelilingi pondok itu. Diantara panasnya udara dan sinar matahari yang membakar, dia melihat sebuah tempat teduh lalu berajalan mendekatinya sambil bersyukur. Kemudian dia memandang dedauan hijau rindang diatas kepalanya yang bergerak perlahan karena tertiup angin, menghasilkan kesejukan. Itu adalah sebuah pohon ara yang menangis.

***

Hari ini Ellen menanam pohon ara Port Jackson. Sepertinya mustahi pohon itu bisa bertahan, tapi dengan segala cara dia tetap menjaganya agar tetap hidup dekat kereta kuda. Kami menanamnya untuk masa tua kami dengan sebuah kursi dan meja dibawahnya, walaupun tingginya sekarang hanya satu kaki. Pohon itu akan menciptakan suatu kesejukan yang indah untuk taman kami…

***

Hari yang sangat sulit dan menyedihkan bagi kami berdua. Hari ini kami memakamkan Jane kecil dekat pohon ara itu. Ellen bilang kalau kami harus memakamkannya didekat rumah.

***

Semalam Ellen baru saja melahirkan seorang anak laki-laki, tapi dia meninggal sesaat setelah dilahirkan. Ellen sangat terpukul dan lemah. Satu putra masih tersisa untuk kami…

***

Suatu perjalanan gila – suatu perjalanan hati, bukan kepala. Walaupun Condon tidak bisa merasakan, tapi saat dia memandang bayang-bayang biru-hijau pepohonan itu, dia merasakan suatu kemenangan. “Baiklah…” katanya dalam hati, walaupun dia tidak benar-benar tahu kenapa, “maanfaatnya muncul.” Ya, pohon ara itu selamat. Pohon itu masih hidup dengan daunnya yang hijau; disebuah tempat yang gersang, pohon itu berhasil bertahan hidup. Dan keluarga Condons yang meninggal sudah memberikan darah mereka untuk membuat pohon ini menjadi sesuatu yang bernyawa. Pohon itu lebih tinggi dari apapun yang bisa dia lihat. Keluarga Condons dan pemandangan gersang itu – disana mereka bertemu. Itulah sumbernya – itulah yang mereka inginkan.

Nyonya Hastings berjalan perlahan melewati rumput kering, topi penghalang sinar mataharinya bersinar merah muda. “Mari minum sebentar sebelum Anda pergi, tuan Condon. Anda sudah berada disini hampir satu jam! Menurutku matahari sudah membuat Anda sakit.”

Tiba-tiba dia menunjuk keatas pohon itu. “Nenek moyangku dan dua anaknya dimakamkan dibawah pohon ini.” Sekarang, mengapa dia mengatakan itu? Akhirnya dia sadar kalau dia bangga dengan kenyataan yang ada.

Nyonya Hastings sedikit menjerit, “tapi… sungguh mengerikan! Sekarang saya benar-benar tidak suka dengan tempat ini. Saya merinding setiap kali berfikir tentang makam. Mari kembali ke rumah. Tidak lama lagi suami saya akan kembali; saya yakin dia akan sangat senang bertemu dengan Anda.”

Pergi menjauh, John Condon kembali menjadi seorang pengusaha. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk datang ke kota demi memenuhi janjinya. Tinggi dan gagah diatas tanah gersang, pohon ara yang menangis itu menggerakkan daun-daunnya penuh kemenangan, tapi John Condon tidak melihat kebelakang. Dia sudah mendapatkan apa yang menjadi alasannya datang kesana.




***





Catatan:



Cerita ini berjudul "The Weeping Fig" karya Judith Wright.

Judith Wright (1915 – 2000) terkenal karena puisinya walaupun dia juga banyak menulis cerita pendek dan buku anak-anak. Banyak orang yang menganggap dia sebagai salah satu penyair terbaik  Australia di abad 20. Dia memiliki cinta yang dalam terhadap alam Australia. Selama bertahun-tahun dia berkerja menjaga lingkungan dan memperjuangkan hak asasi suku Aborigin. Dia disebut sebagai “Suara hati Australia”. Dan dia meyatakan bahwa “Saya akan tetap menjadi seorang penulis dan pelestari alam selama hidupku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar