Pages

Senin, 29 Agustus 2016

Kaleng Makan yang Kosong







By: David Malouf
Retold by: Christine Lindop
Translated by: Siti Nadroh




Beberapa orang bisa melihat sesuatu yang tidak nyata. Atau mungkin sesuatu yang nyata, hanya saja orang lain tidak bisa melihatnya. Siapa yang benar? Siapa yang kita percaya? Untuk beberapa pertanyaan mungkin tidak ada jawabannya.

Wanita dalam cerita ini adalah seorang ibu yang ditinggalkan oleh anaknya untuk selamanya, tetapi ingatan tentang kematian anaknya tetap hidup dalam fikiran dan hatinya. Dan sebuah kenangan bisa terlihat seperti kenyataan seperti seseorang yang masih hidup di dunia.


Pemuda itu sudah lama berada di sana. Ia berdiri direrumput di antara semak-semak mawar dan tanaman bunga lainnya, pundaknya tidak tegap, kedua tangannya berada disampingnya. Ia berdiri sangat tenang dengan wajah yang menatap ke sebuah rumah dihadapannya, seperti seseorang yang sudah membunyikan bel pintu tetapi tidak mendapat jawaban, dan berharap ada seseorang yang akhirnya muncul di jendela atas. Ia sepertinya tidak menyadari kehadiran burung-burung currawong hitam yang terbang melewatinya dengan pekikan keras, atau melompat disekitar rerumputan.

Awalnya, bayangan rumah itu tepat di kakinya tetapi kemudian bergerak ke belakang saat pagi mulai beranjak siang, dan sekarang ia berdiri dbawah sinar matahari yang membuat bayangan dirinya. 

Dibelakangnya, mobil-mobil berlalu lalang disepanjang jalan, membawa anak-anak ke sekolah, dan truk-truk mengantarkan sesuatu ke rumah-rumah – di sini, rumah-rumah tidak diberi pagar; tamannya langsung terbuka dengan jalanan. Pemuda itu hanya berdiri. Dan satu-satunya sesuatu diantara dirinya dan pohon-pohon bunga adalah sebuah keran air dengan pipa baja yang keluar dari rerumputan.

Pada awalnya, saat melewati dinding kaca di ruang makan dan melihat sosok tubuh kurus dengan bayangannya yang pendek direrumputan, wanita itu berteriak karena terkejut. Greg! Ia sangat mudah dikenal – diusianya yang sama. Karena ragu dengan penglihatannya, wanita itu pergi tepat ke depan dinding kaca itu dan menatap keluar. Tapi Greg sudah meninggal tujuh tahun yang lalu. Sebagian dirinya sadar akan hal ini, bagian dari dirinya yang mengamati orang asing itu, tapi bagi sebagian dirinya yang lain, Greg masih hidup, seorang anak lelaki yang masih berkembang dalam kesempurnaan hidupnya, oleh karenanya wanita itu mengetahui bagaimanaa Greg terlihat saat berusia limabelas tahun, tujuhbelas tahun dan sekarang dua puluh tahun. 

Pemuda itu tidak seperti Greg. Ia berdiri dengan pundak membungkuk kedepan dan pakaiannya yang tidak pas, ia terlihat kumal, tidak modis, tapi hal itu pasti karena ia miskin. Dengan celana panjangnya yang longgar dan topi lebarnya, ia terlihat seperti seseorang dari kota atau zaman lain. Menurutnya, penampilan pemuda itu seperti para lelaki yang hidup dimasa kecil wanita itu, para lelaki yang keluar untuk bekerja.

Kurus dan pucat, tanpa jaket, tentu saja pemuda itu melihat wanita itu muncul di dinding kaca dan sedang memperhatikannya, tapi ia sama sekali tidak mempedulikannya.

Pemuda itulah yang mengingatkan wanita tersebut dengan zaman krisis moneter, dan para lelaki itu, beberapa hanya memiliki satu lengan atau satu kaki, yang menunggu di sudut-sudut jalan dimasa kecil wanita itu, mengenakan seragam yang digabung dengan pakaian lama, menawarkan pensil atau korek api untuk dijual. Kadang, saat kau menjawab bel pintu dan membukanya, kau akan menemukan salah satu dari mereka berdiri di anak tangga. Yang mereka inginkan adalah suatu pekerjaan: memotong rumput, membersihkan daun-daun di atap, atau menambal sepatu… Saat tidak ada pekerjaan, mereka hanya berdiri, seperti yang dilakukan pemuda itu, menunggu tawaran secangkir teh dengan sepotong roti, atau beberapa sen – tidak peduli apa atau berapa banyak. Apa yang kau tawarkan tidak terlalu penting; mereka ingin kau mengenal mereka, menyadari kalau kau dan mereka adalah sama. Sebagai seorang anak kecil di kota kecilnya, wanita itu memperhatikan bagaimana ibunya memperlakukan para lelaki itu, dan ia bergumam: inilah salah satu hal yang dilakukan orang-orang. Ada cara untuk melakukannya sehingga seorang lelaki bisa tetap terlihat gagah, dan kau bisa melakukannya juga. Ketika wanita itu tumbuh besar, krisis moneter itu berakhir. Sebagai gantinya, terjadi Perang Dunia II. Ia tidak pernah menerapkan hal-hal yang sudah setengah ia pelajari itu. 

Wanita itu berjalan keluar kearah kebun dan menatap pemuda itu, hanya udara, tidak ada kaca diantara mereka.

Pemuda itu tetap orang yang tidak dikenal oleh wanita itu. Pemuda itu sedikit bergerak, dan saat wanita itu berdiri di sana dan diam-diam memperhatikannya untuk beberapa saat, ia melihat pemuda itu terus bergerak. Ia berjalan mengikuti matahari, seperti yang dilakukan oleh tumbuhan. Jika pemuda itu memutuskan untuk bertahan, fikir wanita itu, mungkin ia akan terbiasa dengannya. Bagaimanapun juga, mengapa tanaman bunga dan bukan seorang anak muda yang normal?

Wanita itu kembali kedalam rumah dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan rumahnya. Sebenarnya rumah itu tidak membutuhkannya karena hanya dua orang yang tinggal di sana, tetapi setiap hari ia selalu smelakukan hal yang sama. Ia memulainya dari ruang tamu, membersihkan dan membuat semuanya rapi, berhati-hati agar tidak menyentuh mesin catur elektronik yang sangat dicintai suaminya. Diatas meja, dengan cahaya disisinya, terdapat bagian dari mesin itu, yang menurutnya sebagai sesuatu yang membuat tamu yang datang menjadi enggan untuk menginap. Mesin itu mengeluarkan suara seseorang untuk mengatur pion-pion catur yang bergerak dengan suara yang menyeramkan, seperti seorang laki-laki yang berbicara di sebuah makam, dan pernah suatu ketika, dihari-hari saat ia mulai tidak menyukai benda itu, ia menyalakannya tanpa disengaja. Ia langsung berbalik ketika suara datar dan berat itu berbicara kepadanya. Untuk beberapa saat rasanya seperti sesuatu yang tidak bernyawa tiba-tiba memutuskan untuk berkomunikasi dengannya. tetapi, sekarang benda itu tidak membuatnya sangat terkejut lagi, namun ia tetap menghindarinya.

Setelah selesai membersihkan ruang tamu, dan tanpa kembali ke jendela itu lagi, ia berjalan lurus ke kamar mandi. Ia membersihkan semua bagian kamar mandi itu, termasuk shower dan toiletnya, kemudian berjalan lurus kembali ke ruang tamu dan melihat keluar.

Pemuda itu masih di sana dan sudah bergerak seperempat lingkaran. Ia melihat tubuh kurus pemuda itu dari samping. Tapi apa yang terjadi? Pemuda itu tidak memiliki bayangan. Pipa baja itu membentuk sebuah bayangan direrumputan, tapi tidak dengan pemuda itu. Butuh satu menit, satu menit yang menyeramkan, baginya untuk menyadari kalau garis hitam direrumputan itu bukanlah sebuah bayangan pipa, tapi sebuah jejak aliran air. Jadi itu benar. Itu tengah hari.

Kemudian wanita itu melakukan hal yang tidak biasa. Ia berjalan lurus memasuki dapur, mengambil mentega, tepung terigu dan gula, lalu membuat biskuit yang dipenuhi kacang didalamnya. Ia melakukannya dengan cepat dan menikmati kebiasaan lamanya, yaitu memasak.

Biskuit itu tidak memiliki nama istimewa. Ia belajar membuatnya saat masih kecil sdari seorang perempuan yang bekerja untuk keluarganya di kota. Saat ia mencampur bahan-bahan biscuit itu dan menaruhnya keatas sebuah kertas untuk dipanggang, ia merasa seperti menjadi dirinya semasa muda dulu, seorang wanita muda yang bergerak lebih ringan, dan lebih yakin. Ia tidak pernah membuat biscuit ini – tidak pernah merasa bisa membuatnya – sejak Greg mennggal dunia. Selagi kepingan biscuit itu dipanggang dan aromanya yang manis memenuhi rumahnya, ia melakukan hal lain yang tidak ia rencanakan. Ia pergi ke kamar Greg diujung ruangan dan mulai mengambil bendera didinding yang Greg dapatkan dari pertandingan renang, pita hijau dengan medali emas, juga pita ungu dan biru, lalu menaruhnya diatas tempat tidur dengan hati-hati. Ia mengambil sebuah dus dari bawah tangga dan memasukkan semua medali itu kedalamya. Lalu ia membersihkn rak buku dan mengambil pesawat kecil milik Greg dan menaruhnya kedalam dus yang sama. Dari lacinya, wanita itu mengambil pensil, sekotak kartu, majalah, buku catatan dan benda lain milik putranya, lalu memasukkan semuanya kedalam dus dan membawanya keluar. Kemudian ia mengambil seperai bersih dan memasangnya di tempat tidur itu.

Sekarang biscuit itu sudah siap dikeluarkan dari panggangan. Ia menghitung jumlahnya. Semuanya ada duapuluhtiga. Tanpa melihat keluar, ia membuka jendela dapur dan meninggalkan biscuit itu didepan jendela yang terbuka agar dingin. Lalu ia kembali dan duduk di tempat tidur Greg.

Ia melihat ke sekeliling dinding yang kosong. Ia membayangkan apa yang akan ditaruh oleh seorang anak muda didinding itu. Rasanya menyakitkan mengetahui bahwa ia tidak bisa menebaknya.

Lalu sosok lain dari masa lalu muncul dipikirannya.

Pada pertengahan tahun di sekolahnya, ada seorang anak laki-laki yang duduknya hanya berjarak dua meja didepannya yang bernama Stevie Caine.Iia selalu merasa kasihan dengannya karena anak itu miskin dan hanya tinggal bersama bibinya. Ayahnya bekerja di rel kereta api tetapi kehilangan pekerjaannya setelah sebuah kecelakaan mengambil nyawanya. Pemuda di luar itulah yang mengingatkannya pada Stevie Caine. Bahunya kecil dan membungkuk kedepan, wajahnya pucat luar biasa, pergelangan tangannya hanya tulang. Rambut Stevie kusam dan beraroma sabun cuci. ia sangat miskin sehingga tidak mampu pergi ke bioskop pada Sabtu sore, atau memiliki sebuah radio, ia bahkan tidak bisa bergabung dalam obrolan yang menarik bersama anak-anak lain. Saat waktu makan siang tiba, ia duduk seorang diri jauh di sisi lapangan, dan wanita itu menebak-nebak alasannya adalah karena tempat makan yang dibawa ayahnya dari rel kereta api tidak berisi apa-apa, atau hanya berisi sepotong roti. Walaupun Stevie sangat miskin – tapi ia tidak pernah mengeluh – itu adalah hal yang sangat mengejutkan bagi wanita itu. Kadang saat Stevie bersemangat, wajahnya dipenuhi sinar kegembiraan dan keramahan yang membuat wanita itu ingin meraihnya dan menyentuh kulitnya yang kekar untuk merasakan kehangatannya. Tapi mungkin ia akan salah paham atas sikap wanita itu terhadapnya – ia akan berpikir kalau wanita itu menyukainya, atau, lebih buruk lagi, merasa kasihan kepadanya. Jadi wanita itu tidak melakukan apa – apa.

Stevie Caine berhenti sekolah saat usianya empatbelas tahun dan menjadi seperti ayahnya yang bekerja di rel kereta api. Wanita itu kadang melihatnya mengenakan seragam pekerja rel kereta api. Topi hitamnya membuat wajahnya terlihat semakin kurus, dan ia membawa tempat makan tua yang sama. Tapi ia menolak untuk bersedih atau dikasihani, dan itulah yang membuat perasaan lembut wanita itu terhadapnya tetap hidup. Bahkan sampai saat ini, bertahun-tahun kemudian, wanita itu bisa melihat bagian belakang leher Stevie yang kurus itu. Jika ia punya kesempatan, ia akan meraihnya dan menyentuh kulitnya yang kasar, tidak peduli lagi kalau itu akan membuat Stevie salah paham.

Saat Stevie berusia delapanbelas tahun, ia langsung bergabung dengan tentara dan langsung terbunuh; wanita itu melihatnya di Koran – namanya tertulis di Koran itu.

Dan pemuda yang berdiri di depan rumahnya ini terlihat seperti Stevie Caine – Stevie yang terakhir kali dilihatnya, dengan topinya yang lembut dan seragam pekerja rel kereta apinya. Ia tidak begitu mengenal Stevie, tapi ia tidak pernah melupakannya. Menurutnya, ada dua jenis ketidakadilan yang terjadi, pertama adalah kekejaman yang bisa diubah; jenis yang lainnya adalah ketika seorang anak berusia tigabelas tahun terlempar dari sepedanya dan meninggal dunia, dan itu tidak bisa diubah. Ia mengingat Stevie Caine karena hal ini dan karena tempat makannnya yang kosong. Kini sudah terlambat, tapi ia ingin mengisinya dengan biskuit penuh kacang didalamnya yang tidak memiliki nama istimewa. 

Dengan cepat ia pergi keluar (pemuda itu masih ada disana, diatas rerumputan dekat jendela), lalu menghitung biskuit yang sudah cukup dingin untuk disimpan. Jumlahnya duapuluhtiga, sama seperti sebelumnya.

Pemuda itu tetap di sana sepanjang sore dan masih di sana dengan bayangannya saat Jack pulang. Wanita itu hampir marah dengan pemuda itu, tapi ia tidak ingin hal itu terbukti. Betapa anehnya jika kau berjalan mendekati seseorang, lalu melambaikan tanganmu untuk mengusirnya dan melihat apakah ia akan pergi, tapi ternyata tidak berhasil.

Mereka berdua lalu minum teh, kemudian Jack mengambil satu biskuit itu lalu memakannya dengan perlahan setelah menatap wanita itu dengan tatapan malu dan penuh kecemasan, wanita itu berpura-pura tidak melihatnya padahal ia tengah memperhatikannya. Jack mencoba untuk tidak menunjukkan betapa sedihnya ia. Jack yang malang.

Tersisa duapuluhdua kue lagi.

Kemudian, sementara ia duduk memainkan catur dan suara mekanik itu memberitahu gerakan apa yang harus ia lakukan terhadap pion caturnya, wanita itu pergi ke jendela dan melihat keluar. Hujan turun dengan lembut dan membuat lampu jalanan terlihat redup. Mobil-mobil yang berjalan perlahan membuat suara lembut di jalanan yang basah. 

Pemuda itu berdiri di sana, di tempat yang sama. Pakaiannya yang lusuh kini basah kuyup, dan tetesan air yang jatuh dari ujung topinya berkilauan karena cahaya lampu.

“Menyedihkan sekali,” kata wanita itu, “berada diluar sana dimalam seperti ini, dan tidak punya tujuan kemana harus pergi. Pasti banyak yang seperti mereka, hanya berdiri diluar, dibawah rintikan hujan, atau tidur di sana.”

Sesuatu disuara wanita itu, sebentuk perasaan yang sangat senyentuh dan mengkhawatirkan bagi Jack, membuat lelaki itu meninggalkan permainan caturnya dan berjalan ke samping wanita itu. Untuk beberapa saat mereka berdiri didepan dinding kaca yang gelap itu. Lalu wanita itu bergerak, menatap mata Jack dan melakukan hal yang tidak biasa. Ia meraih Jack dan tangannya memeluk dada Jack – sekarang Jack merasakannya. Itu adalah hal yang sangat tidak biasa! Perasaan takut tiba-tiba meninggalkan wanita itu, dan ia mencium Jack.

“Aku punya segalanya” adalah pikiran wanita itu terhadap dirinya.

Keesokan paginya, sendiri lagi, wanita itu membersihkan sisa sarapan dan membuat daftar belanja. Kemudian ia pergi ke jendela.

Hari itu cuaca cerah, dan di sana ada mereka, serupa tapi tak sama; keduanya pucat dan putus asa, dengan bahu yang kurus, mengenakan pakaian lusuh dan kumal. Mereka tidak muncul bersama-sama. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau mereka saling kenal, atau mungkin yang pertama memanggil pemuda yang satunya dari suatu tempat. Tapi keduanya sama saja, mengusulkan sebuah rencana atau semacamnya. Besok, ia menebak, akan ada empat orang, dan lusa ada enambelas orang – sampai tidak ada tempat lagi untuk mereka direrumputan itu. Pasti ada jutaan orang seperti mereka; mereka memenuhi jalanan, dan di jalan lain – dengan tidak ada lagi ruang untuk mobil-mobil – lalu di kota, sampai sebagian besar bumi tertutup olehnya. Ini hanya permulaan.

Wanita itu tidak merasa khawatir. Dua orang itu hanya berdiri disana. Tapi ia memutuskan untuk tidak menceritakan hal itu kepada Jack sampai Jack menyadarinya. Lalu mereka bersama-sama akan melakukan apa yang diperlukan.

Senin, 15 Agustus 2016

Pohon Lada



By:  Dal Stivens
Retold by: Christine Lindop
Translated by:  Siti Nadroh 


Saat kita mengenang masa lalu, kita biasanya memikirkan saat-saat menyenangkan – rumah di mana kita tumbuh berkembang, permainan yang kita mainkan, dan impian yang kita punya.
Joe muda tumbuh besar di kota, tapi ayahnya memiliki kenangan indah tentang masa kecil dirinya di sebuah desa kecil. Joe mendengarkan cerita ayahnya dan membayangkan pohon lada besar di halaman belakang rumahnya…


Ayahku sering bercerita tentang pohon lada saat aku kecil, dan jelas itu hal yang sangat berarti baginya – seperti sebuah Rolls Royce yang selalu ingin ia beli. Bukan tentang apa yang dikatakan ayah mengenai pohon lada itu – ia tidak pandai merangkai kata-kata – tapi tentang bagaimana ia mengatakannya. Saat ia bercerita tentang pohon lada di Tullama, tempat di mana ia tumbuh besar, kau bisa membayangkannya dengan jelas: sebuah pohon besar dengan lembaran daun-daun hijaunya yang panjang di halaman belakang rumah yang luas di suatu desa.

“Halaman belakang yang pas – bukan satu dari halaman kotamu yang buruk itu.” kata ayahku. Di pohon besar itu selalu terdengar riuh suara burung-burung yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain.

Saat kami tinggal di Newtown, Sydney, aku pernah melihat pohon-pohon lada saat ayah membawaku jalan-jalan pada minggu sore. “Lihat, ada pohon lada.” Kataku pada ayah saat aku melihat pohon itu.

“Ya ampun, nak, itu hanya kumpulan pohon kecil yang tumbuhnya berkerumun.” Kata ayahku. “Pohon lada tidak bisa tumbuh subur di perkotaan. Terlalu banyak polusi. Kau harus melihatnya di barat sana, di kampung halamanku.”

Ayahku bertubuh tinggi dan kurus dengan mata cokelat sayu dan kepala yang penuh dengan impian. Itulah mengapa ia ingin memiliki sebuah Rolls Royce, suatu hari nanti. “Pertama rumah kita kemudian suatu hari, kalau aku beruntung, aku akan membeli sebuah Rolls Royce.” Katanya.

Beberapa temannya berpikir kalau itu impian gila.

“Apa yang akan kau lakukan dengan mobil seperti itu, Peter?” Tanya mereka. “Pergi dan hidup bersama para millioner?”

Ayah lalu mengusap kumis cokelat panjangnya, dengan sedikit warna putih diantaranya, dan mencoba menjelaskan, tapi ia tidak bisa membuat mereka mengerti. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk menyadari betapa sebuah Rolls Royce sangat berarti baginya.

“Ini bukan tentang bagaimana orang lain berpikir tentangku.” Kata ayah pada ibu. “Tidak, ya ampun. Aku ingin memiliki sebuah Rolls Royce karena itu adalah mesin paling sempurna yang ada di dunia ini. Itulah mengapa Rolls Royce–– “

Lalu ia berhenti dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ia rasakan, dan dengan kikuk tapi penuh cinta, ia akan melanjutkan ceritanya tentang betapa cantiknya mesin itu…

“Apa yang akan seorang mekanik bengkel lakukan dengan sebuah Rolls Royce, aku tanya kau!” kata ibu. “Aku akan merasa bodoh jika duduk didalamnya.”

Sedetik kemudian ibu meraih sapunya dan mulai membersihkan lantai dapur dengan kasar. Ibuku bertubuh kurus dengan rambut kecoklatan yang disingkapkan kebelakang dari wajahnya.

Seperti pohon lada itu, mobil Rolls Royce juga sangat berarti bagi ayah. Ia lahir di Tullama, di sebuah desa yang gersang di mana pohon-pohon mallee tumbuh. Ayahnya adalah seorang kuli bangunan dan menginginkan putranya menjadi seperti dirinya. Tapi mimpi ayahku adalah menjadi seorang insinyur teknik mesin. Saat ia berumur delapanbelas tahun, ia pergi ke kota dan mulai belajar bersama dengan seorang insinyur teknik mesin. Ia pergi ke kelas pada malam hari. Tapi setelah dua tahun, ia berhenti karena kerusakan pada matanya.

Iitu semua karena uang.” Katanya suatu hari. “Jika kau punya uang, kau bisa pergi ke universitas dan belajar banyak hal dengan sebaik-baiknya lalu menjadi seorang insinyur. Aku terlalu keras bekerja dengan mataku, kau lihat – aku pergi ke kelas malam lima kali dalam seminggu dan belajar setibanya aku di rumah.”

Setelah itu, ayahku mengambil pekerjaan apapun yang bisa ia dapatkan, tapi selalu berkaitan dengan mesin. “Aku suka bermain dengan mesin-mesin, tapi aku tidak punya pengalaman berlatih yang sesungguhnya.” Katanya suatu hari.

Ia tahu banyak hal dan sebagian besar adalah hal-hal yang hanya bisa kau pelajari dari buku-buku. Ia paham tentang bebatuan dan bagaimana proses terbentuknya. Ia bisa bicara berjam-jam tentang kehidupan di bumi dan bagaimana awal mulanya. Ia megajarkanku lebih banyak daripada semua guruku di sekolah.

Aku ingat saat ia berbicara dengan ibu disatu malam. Saat itu umurku dua belas tahun, dan ia berumur empatpuluhtujuh tahun. Saat itu keadaannya serba sulit dan ibuku khawatir akan masa depan kami.

“Setiap hari aku mendengar orang-orang yang kehilangan pekerjaannya.” Kata ibu.

“Aku belum kehilangan pekerjaanku.” Kata ayah. “Dan jika itu terjadi, aku punya satu cara untuk menghasilkan uang.”

“Pasti itu tentang penemuanmu yang lain kan, Peter? Kali ini apa lagi?”

“Itu urusanku.” Jawab ayah. Ia mengatakannya dengan bangga.

Satu hal yang membuat ibuku kesal adalah karena ayah selalu menghabiskan uang demi penemuan-penemuannya. Yang lainnya adalah karena ayah selalu memenuhi halaman belakang rumah dengan sampah.

“Apa yang akan kau lakukan dengan halaman kecil yang kotor ini? Tanya ayah. “Saat aku kecil di Tullama, aku memiliki halaman belakang yang sesungguhnya – kenapa? Karena halaman itu luas – sebesar ––"

Lalu ia berhenti, tidak mampu mendapatkan kata yang tepat.

Jadilah beberapa buah mesin tua tiba di halaman belakang. “Ini sangat murah!” Katanya dengan gembira.

Kemudian setelah ayah berkata kalau ia memiliki sebuah rencana untuk menghasilkan uang, ia pergi lebih awal pada satu minggu pagi. Ia kembali pada waktu makan siang dengan sebuah lori Ford. Dibelakang lori itu terdapat sepasang mesin percobaan. Aku berlari mendekatinya.

“Aku baru saja membelinya, Joe. Lihat.” Katanya padaku.

Dan ia sekarang memiliki – kedua mesin dan lori itu. 

“Sangat murah! Empatpuluh pound untuk keduanya – sepuluh pound sekarang, dan dua pound setiap bulannya.”

Ibuku kesal saat ia mendengarnya.

“Kenapa membuang uang untuk sebuah mesin saat kita membutuhkannya untuk membayar rumah, Peter?” tanya ibu.

“Astaga… mesin ini akan membayar rumah kita dalam waktu singkat.” Kata ayah. “Dan bisa untuk membeli barang-barang lain juga.”

Aku mengetahuinya dari cara ia melihat keatas dan kearah kepala ibuku saat ia memikirkan mobil Rolls Royce itu.

Setiap hari ia sangat bersemangat, mengitari mesin itu, berdiri dibelakangnya dan melihatnya, lalu berjalan mendekatinya. Ia menghabiskan sore harinya dengan menyalakan dan mematikan mesin itu. Setiap malam, saat ia pulang ke rumah dari garasi di minggu berikutnya, hal pertama yang ia lakukan adalah melihat mesin itu. Ia memiliki beberapa rencana di pikirannya tapi ia masih merahasiakannya.

“Tunggu dan lihat, Joe.” Katanya.

Ia tidak megatakan rahasianya selama seminggu lebih walaupun aku tahu kalau tidak ada hal lain yang ia pikirkan. Akhirnya, ia mendekatiku di dapur pada satu malam, saat ibuku berada di kamar tidur, lalu berbisik dengan penuh teka-teki. “Ini adalah sebuah penemuan untuk membersihkan sumur, nak.”
 
“Untuk membersihkan sumur?”

Ia terdiam untuk mendengar sekelilingnya, khawatir ibu kembali.

“Malam ini aku menaruh sebuah lampu disana, nak.” Ia berbisik, “Keluarlah nanti dan aku akan memperlihatkan padamu.”

Ide ayahku, ia menjelaskannya kemudian, adalah suatu cara membersihkan sumur di desa. Kau menekan sikat keras diujung pipa penghisap kotoran dan kau tidak akan kehilangan banyak air dari sumur.

“Setiap kota kecil memiliki setengah lusin sumur, Nak.” Katanya. “Banyak bank yang memilikinya, dan satu atau dua diantaranya milik keluarga orang kaya. Sama seperti di Tullama. Ada uang didalamya karena kau bisa membersihkan sumur itu tanpa terlalu banya membuang air. Seperti menemukan emas – kau tidak boleh kalah, Nak.”

Hal itu terdengar menarik bagiku.
 
“Kapan ayah mulai?” tanyaku.

“Secepatnya.” Katanya. “Pekerjaan di garasi tidak akan bertahan lebih lama lagi.”

Ia benar mengenai hal itu, tapi sampai hari kematian ibuku, ia selalu mempunyai sebuah fikiran bahwa mungkin ayah hanya membuat pekerjaannya menemui sebuah akhir. Pada awal tahun 1930 ayahku pergi dengan lorinya, pergi ke barat.

“Kau harus pergi ke tempat-tempat yang tidak sering turun hujan.” Katanya.

“Seperti Tullama?” tanyaku.

“Ya, seperti Tullama, Nak.”

Aku mulai memikirkan pohon lada.

“Apakah kau akan pergi ke Tullama dan melihat pohon lada itu?”

Ayah mengusap kumisnya yang panjang. Dari matanya muncul pandangan itu – pandangan yang sama saat ia berpikir atau membicarakan Rolls Royce. Ia terdiam sejenak.

“Ya ampun, tentu saja, jika aku pergi kesana.”

Setelah mengatakan itu, ayah memulai perjalanannya. Setiap minggu aku mendapat surat darinya. Ia menulisnya dengan baik. ia pergi ke barat dari Sedney dan aku mengikuti kota-kota yang ia katakan di surat itu melalui peta. Satu kota membutuhkan waktu hampir seharian, lalu untuk kota-kota yang lebih besar, ia akan tinggal disana selama satu minggu, sedangkan di kota yang lebih kecil hanya satu hari atau satu hari setengah.

Setelah dua bulan pergi, ayah masih berada di kota yang cukup jauh dari Tullama, tapi kau bisa lihat kalau ia pergi mendekatinya.

“Ayahmu dan pohon ladanya yang bodoh!” kata ibu, tapi ia mengatakannya tanpa emosi. Ayah mingirimkan uang kepadanya sebanyak yang ayah gunakan untuk membeli rumah saat ia bekerja di garasi.

Tapi ketika ayah sudah mendekati Tullama, ibu terlihat sedikit bersemangat. Ia membuat bendera kecil untukku untuk ditaruh diatas peta. Beberapa waktu terakhir suatu perubahan muncul di surat ayah. Awalnya surat-surat itu berisi hal yang menggembirakan dan penuh semangat, tapi sekarang lebih tenang. Ia tidak banyak membicarakan uang yang ia dapatkan, atau mengatakan hal lain tentang Rolls Royce. Mungkin kegembiraannya yang semakin dekat degan pohon lada membuat dirinya lebih tenang, menurutku begitu.

“Aku tahu apa ini,” kata ibuku. ”Ia tidak mendapatkan makanan yang layak. Ia terlalu tua untuk berhenti dengan keadaaan seperti ini. Ia tidak memperhatikan dirinya, aku yakin. Dan tanpa tempat tidur yang nyata untuk berbaring – hanya dibalik lori itu.”

Kupikir hari itu tidak akan pernah tiba – tapi ternyata kini ayah hanya berjarak satu kota lagi sebelum ia sampai di Tullama. Surat-suratnya biasanya tiba pada hari Selasa – ia menulisnya hari minggu – tapi belakangan aku menunggu kiriman surat itu setiap hari dan tiga kali terlambat sekolah. Saat suratnya sampai, aku meraihnya dari tangan pak pos dan segera masuk ke dalam rumah. Surat itu dari Tullama.

“Baiklah… baiklah… tenang, Joe.” Kata ibu, “Kau dan pohon lada-mu.”

Aku membaca surat itu dibalik siku ibu. Hanya satu lembar. Tidak ada tulisan tentang pohon lada. Ayah baik-baik saja dan berhasil mendapatkan uang, tapi ia memutuskan untuk segera kembali pulang.

Aku tidak memahaminya.

Pada hari selasa berikutnya, tidak ada surat yang datang. Tidak juga dihari rabu. Hari kamis ayah tiba di rumah. Ia mengejutkan kami, tiba diwaktu sarapan. Ia bilang kalau ia sudah menjual lori dan mesinnya, dan pulang ke rumah menggunakan kereta. Ia terlihat kelelahan dan malu dan entah bagaimana semuanya menyatu. Aku melihat kumisnya mulai memutih.

“Mesinnya tidak bagus.” Katanya. “Selalu rusak. Mesin itu merugikanku dengan hampir semua yang kudapatkan. Aku harus menjualnya untuk mendapatkan uang dan membayar hutang, juga untuk membeli tiket pulang ke rumah.”

“Oh Peter.” Kata ibu, memeluk ayah. “Cintaku yang malang. Aku tahu ada yang salah.”

“Ibu pikir itu karena makanannya.” Kataku. “Ia pikir ayah tidak mendapatkan makanan yang layak.”

“Aku akan membuatkan secangkir teh untukmu, Peter.” Kata ibu. “Lalu, aku akan membuatkanmu sarapan.”

“Astaga… Kedengarannya bagus.” Kata ayahku. Ini pertama kalinya sejak ia masuk dan benar-benar terdengar seperti ayahku yang biasanya.

Ibu bergegas pergi ke dapur dan ayah berbicara lagi. “Aku pikir awalnya aku melakukannya dengan baik.” Katanya. “Tapi mesin itu terlalu tua. Aku selalu membongkarnya – mengganti bagian ini, bagian itu. Semua itu menghabiskan uang yang sudah aku dapatkan.”

Lalu ia bercerita entang perjalanannya. Sekarang aku mengerti mengapa ia kembali, dan aku ingin tahu semua hal tentang pohon lada itu.

“Apakah kau melihat pohon lada itu, ayah?”

“Ya, aku benar-benar melihatnya.”

Aku berdiri tepat didepannya saat ia duduk didepan meja, tapi ia tidak melihat kearahku melainkan pada sesuatu yang sangat jauh. Ia tidak menjawabku dalam waktu yang lama.

“Itu hanya kumpulan pohon kecil, Nak – dan sebuah halaman belakang yang kecil.”

Ia tidak akan mengatakan apapun lagi selain itu dan ia tidak pernah membicarakan pohon lada – atau Rolls Royce – lagi.


***







Catatan:

Dal Stivens (1911 – 1997) bekerja sebagai seorang jurnalis, reporter lapangan dan pelayan publik sebelum menjadi seorang penulis penuh di tahun 1950. Novelnya yang terkenal berjudul A Horse of Air, dan ia juga menulis banyak cerita pendek. Katanya, “cerita pendek harus berkembang secara natural diluar tahun berapa kau hidup”, dan karakter utama di cerita yang berjudul The Pepper-tree merupakan pengalamannya saat bertemu seorang laki-laki dimasa kecilnya yang datang ke kota untuk membersihkan sumur. Lelaki itu mengoleksi fosil, dan dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari seorang anak kecil yang penasaran. Stivens memiliki kecintaan pada lukisan, dan sejarah alam, ia juga pendiri Lembaga Penulis Australia (Australian Society of Authors).

Senin, 01 Agustus 2016

Pulang



By: Archie Wellen
Retold by: Cristine Lindop
Trandlated by: Siti Nadroh




 

Rumah, bagi sebagian suku Aborigin di Australia berarti sebuah perkemahan diluar kota, jauh dari tempat-tempat orang kulit putih tinggal.

William Jacob Woodward (Billy) pulang ke rumah dimana dia tumbuh, rumah yang jauh dari kota tempatnya menjadi seorang pelukis dari suku Aborigin yang sukses dan seorang bintang sepakbola didunia orang kulit putih. Tapi, berada jauh dari rumah selama lima tahun adalah waktu yang lama…

***



I want to go home
I want to go home
Oh, Lord, I want to go home…

Suara penyanyi itu muncul dari kaset dan keluar melalui udara, memasuki dunia nyanyian burung-burung magpie dan keheningan malam.

Lelaki itu tidak tahu akan dunia itu. Dunianya adalah mobil baru yang berkilau, Kingswood besar yang melewati jalanan dengan cepat.

Akhirnya dia bisa berbangga hati dan berjalan dengan kepala diangkat tinggi seperti yang dilakukan leluhurnya bertahun-tahun yang lalu.  Dia baru saja melaksanakan pertunjukkan pertamanya satu bulan lalu. Semua lukisannya habis terjual lalu dia membeli mobil dengan uang yang dia dapatkan.

Tangan hitamnya menggerakkan roda hitam berkilau yang berputar di persimpangan. Selama lima tahun dia bekerja keras dan menabung, sekarang, diulang tahunnya yang ke duapuluhsatu, dia pulang dengan mobil baru, pakaian baru, dan hidup yang baru. Dia mengambil sebatang rokok dari sebuah kotak yang ada dipinggirnya, lalu menyalakannya. Rambutnya rapi dan pakaiannya bersih. 

Billy Woordward pulang ke rumahnya, dengan bangga dan gagah, seperti seorang tentara yang kembali dari medan perang.

***


Enambelas tahun. Tahun terakhir di sekolah.

Adiknya, Carlton dan sepupunya, Rennie Davis, berada dipinggir sungai, pada malam terakhir sebelum dirinya pergi ke universias di Perth, disana mereka bertiga merayakan pesta perpisahan, bersama gadis-gadis mereka disampingnya. Udara panas yang sunyi, sinar bulan disungai, suara bisikan dan tawa kecil. Juga dentingan botol-botol bir yang beradu.

Masa-masa di universitas, dengan semua tugas dan pelajaran, semua orang melakukan hal yang sama dengan cara yang sama – tapi saat bermain sepakbola, Billy menjadi berbeda dari biasanya.

Tangan hitamnya menangkap bola. Kaki hitamnya menendang bola. Loncatannya menyundul bola, melambung tinggi ke langit yang panas.

Tidak ada seorangpun yang bisa menghentikannya. Dia lupa dengan sungai-sungai, orang-orang sedarahnya, dan seorang gadis dihatinya.

Saat dia berumur delapanbelas tahun, dia dipilih menjadi aggota tim terbaik di kota. Itu adalah tahun dimana dia bermain untuk Australia Barat. Saat itu, dia dianggap sebagai pemain terbaik. Itu adalah tahun-tahun kenangannya.

Dia tidak pernah pergi ke perkemahan di Guildford, jadi dia tidak pernah melihat orang-orang seperti dirinya; hitamnya, sunyinya, tatapan orang-orangnya, keributan dan ketakutannya, orang-orang yang mabuk. Dia yang sekarang seperti orang kulit putih.

William Jacob Woodward menyelesaikan masa lima tahun sekolahnya dengan hasil yang memuaskan. Semua guru sangat bangga kepadanya. Dia pergi ke Institut Teknologi Australia Barat untuk belajar melukis. Dia memakai pakaian bersih dan memotong rambutnya sehingga semua gadis disana menyukainya.

Billy adalah seorang lelaki yang tampan, dengan hidung dan dagu yang mirip kakeknya dan ketenangan dari leluhur suku Aborigin. Dia berdiri tegak dan penuh kebanggaan, dengan bibir sensitif dari seorang pemimpi dan tatapan mata cokelat emas yang tenang.

Dia pergi ke klub malam secara rutin dan duduk sendiri di satu sudut yang gelap, atau bersama seorang gadis yang dilukisnya. Dia biasanya minum anggur dan melihat orang-orang kulit putih berdansa diringi musik berirama cepat.

Dia sedang berjalan menuju rumahnya ketika seorang wanita aborigin setengah baya keluar dari sebuah gang dipinggir jalan dan setengah menghalanginya, kedua tangannya menarik kaos Billy. Wanita itu tertawa didepan muka Billy dalam keadaan mabuk.

“Billy! Ya, kau Billy Woodward, kan?”

“Ya. Siapa kau?” tanya Billy dengan ketus.

“Kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Rose, bibimu, dari pedalaman Koodup.” Wanita itu tertawa lagi. Jelek, sangat jelek. Matanya merah dan kuning, giginya rusak, dan rambutnya kotor tidak terawat.

Dia dari suku yang sama dengan dirinya.

Dia mendorong wanita itu dan menginggalkannya dengan cepat. Tapi berhari-hari setelah kejadian itu, dia selalu teringat dengan wajah wanita itu setiap kali dia mencoba membuat sebuah lukisan. Dia merasa sangat malu bahwa orang seperti wanita itu sama seperti dirinya, dari satu suku yang sama.

Kehidupan Billy adalah: melukis gambar, bermain bola dan bersandiwara. Tapi orang-orang dari sukunya tahu, mereka selalu mengetahuinya.

Dipertandingan sepakbolanya yang terakhir, dia bermain melawan seorang lelaki setengah aborigin yang terus menatapnya selama permainan berlangsung dengan matanya yang hitam.

Setelah permainan berakhir, keluarga lelaki itu tiba dengan sebuah mobil tua besar. Billy, berdiri bersama teman-temannya yang berkulit putih, melihat kearah mereka dari kejauhan. Dia melihat anak-anak menendang bola dengan berteriak dan tertawa, dan dua orang lelaki disamping mobil itu membicarakan pemain yang lebih muda, seorang gadis cantik menoleh keluar dari jendela mobil, dan sepasang orang tua berada dibelakangnya. Ketiga lelaki itu melihat kearah Billy – Billy yang fashionable, bersama teman-teman kulit putihnya. Senyum mereka membeku beberapa saat, tatapan mata mereka seperti sebuah pisau yang menusuk Billy.

Oleh karena itu Billy pulang, karena dia teringat akan rumahnya saat dipertandingannya yang terakhir itu.
Malam itu hujan. Malam hari – waktu dimana perasaan takut akan hantu muncul seperti akan membunuh, dengan tidak meninggalkan jejak apapun ditanah dibelakang mereka, lewat bagaikan bayangan awan mendung disekitar matahari.

Pepohonan bergerak di bawah sinar yang redup. Sesuatu yang aneh berwarna hitam  dengan rambut yang panjang dan berantakan, menarik tangan Billy. Para leluhur seolah menangis, “ingat aku.” Suara jeritan atau bisikan yang lelah; lelah karena peringatan tak berguna yang tidak didengarkan. Billy tidak mengerti pepohonan itu. mereka melempar Billy ke depan, bahkan saat dia berfikir untuk kembali dan tidak pulang ke rumahnya – sebuah tempat yang dia pernah berjanji pada dirinya untuk tidak pernah kembali kesana lagi.
Terdengar langkah kaki di jalan tepat dipersimpangan Koodup.

Ternyata seorang lelaki suku Aborigin.

Billy menghentikan mobilnya, atau dia akan menabrak lelaki itu.

Pintu mobil terbuka.

Lelaki itu masuk kedalam mobil bersama angina dan hujan.

“Terimakasih, kawan. Dingin sekali disini.” Katanya, kemudian lelaki itu menatap Billy dengan mata hitamnya yang tajam. “Apa kau ini seorang Nyoongah*, kawan?”

“Ya.”

Well, namaku Darcy Goodrich.”

Dia mengulurkan tangannya yang kasar, kuning kecokelatan, dan kotor. Suatu kesedihan seumur hidup melekat disetiap sela jarinya.

Billy berjabat tangan dengannya, “Namaku William Woodward.”

“Benarkah?” kedua matanya melihat kearah Billy lagi. “Kau menuju daerah sekitar Koodup, William?”

“Ya.”

“Bagus. Oh... mobil milikmu ini bagus sekali. kau pasti punya banyak uang, kan?”

Billy hanya diam.

Dia lebih suka kalau lelaki basah yang kedinginan itu tidak bersamanya. Dia tetap memfokuskan mata cokelat keemasannya ke jalanan didepannya.

“Punya rokok, William?”

“Tentu, silakan ambil sendiri.”

Jari-jari hitam itu membuka kotak rokok yang mahal milik Billy.

“Kau mau juga, kawan?”

“Terimakasih.”

“Apakah kau putra Teddy Woodward, William?”

“Ya, itu benar. Bagaimana kabar ibu dan ayah, dan semuanya?”

Akhirnya dia mengetahui semua tentang keluarganya dan larut dalam lautan kesedihan.

Darcy melihatnya dengan terkejut, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Dia menghisap rokoknya tanpa suara.

“Apa yang tidak kau ketahui?” tanyanya dengan pelan. “Ayahmu seorang pemabuk. Dia seorang pemabuk yang buta. Mobilnya datang entah dari mana ketika dia menyeberang jalan dimalam hari seperti ini. Tidak ada yang melihatnya. Tidak ada yang menghentikannya atau membantunya. Saudaramu Carl menemukan ayahmu dihari berikutnya dan tidak ada yang membantunya. Kejadian itu terjadi beberapa tahun lalu.”

Beberapa tahun lalu – itu berarti saat Billy berumur sembilanbelas tahun, saat dia menjadi bintang sepakbola. Disalah satu malam yang bersinar bersama orang-orang kulit putih, saat dia hidup dengan kondisi yang baik ditemani anggur dan wanita kulit putih, Ayahnya justru meninggal di kota – seorang diri.  

Dia mengingat ayahnya sebagai seorang lelaki yang berani berbuat curang bahkan lebih baik dari orang lain di perkemahan saat bermain kartu disuatu acara. Dia bisa membuat perahu dari bulu-bulu bebek, kemudian dia, Carlton dan Billy berlomba dipinggir danau, dimana orang-orang dulu sering datang, awalnya.

Cahaya dari Koodup menyinari dirinya saat ia melewati sebuah tikungan.

“Kuberitahu padamu, kawan. Berhentilah di hotel lalu beli sekardus bir.”

“Baiklah, Darcy.” Billy tersenyum dan melihat lelaki itu untuk pertama kalinya. Dia akhirnya menyadari kalau dirinya butuh seoraang teman untuk menemaninya pulang dan bercerita tentang kehidupan lamanya.

“Kau pasti ingin bertemu dengan keluargamu lagi, kan?” tanya Darcy.

Keluarganya: Bibi Rose yang jelek, mendiang ayahnya yang dilupakan, kakak dan sepupunya yang nakal. Bahkan lelaki pendiam ini. Mereka semua adalah keluarganya. Berasal dari suku yang sama dengannya.

Dia tidak akan pernah bisa menyangkalnya.

Mobilnya berhenti disamping hotel, kemudian dua orang Nyoongah itu berlari dibawah hujan lalu masuk ke bar hotel yang gelap.

Pelayan bar disana lama sekali menghampiri mereka, walaupun bar itu sangat sepi pengunjung. Sepasang mata merah menatap Billy.

“Tolong sekardus bir.”

“Hanya orang bajingan yang minum bir di perkemahan. Polisi mengatakan kepadaku bahwa orang-orang yang banyak minum sepertimu hanya menimbulkan masalah.”

“Oh ayolah, kami akan meminumnya ditempat yang kami mau, kawan.”

“Benarkah? Kau memang bajingan!” pelayan bar itu menatap Billy dengan terkejut. “Baiklah, kau tidak akan mendapat apapun dariku. Kau bisa pergi dari sini sebelum aku memanggil polisi. Mereka akan memberitahumu apa yang boleh dan tidak boleh kau lakukan, negro sialan yang pintar!”

Sesuatu menohok perasaan billy dengan sangat kuat sehingga dia ingin menarik pelayan bar itu dan memukulnya.

Billy berkulit hitam, dan pelayan bar itu berkulit putih, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

Setiap waktu billy bebas menikmati anggur di klub malam dengan pakaian berkelas dan dikelilingi oleh senyuman dari wanita – wanita kulit putih, dia bisa memainkan permainan orang-orang kulit putih bahkan lebih baik dari orang-orang di sukunya. Dan melukis pemandangan kotanya dengan warna-warna yang disukai orang kulit putih, sementara orang-orang sebangsanya justru meremehkan dan menganggapnya tidak berguna, selama itu pula dia menganggap dirinya lebih baik dari orang lain di suku bangsanya.

Tapi pada akhirnya, dia hanya lelaki negro.

Darcy berajalan perlahan mendekati pelayan bar yang sedang marah itu.

“Permisi… Tuan Owett, tapi William baru saja pulang, lihat.” Katanya. Dia merasa malu karena telah membuat kesalahan. “Kami akan meminumnya di perkemahan, kau tahu.”

“Baru pulang? Mengapa dia dipenjara?”

Billy memukul pelayan bar itu sebagai jawaban, tepat diperutnya dan sangat menyakitkan.

“Baiklah... Baiklah, Darcy, aku akan melupakan kejadian ini sekarang juga. Hanya saja, jangan biarkan kawanmu ini membuatku kesal lagi.”

Mereka diguyur hujan lagi saat keluar dari bar itu dan masuk kedalam mobil. Lalu pergi menjauh melewati jalanan berbatu sekitar satu kilo meter meninggalkan kota. Darcy membuka satu botol dan memberikannya ke Billy.

“Kalau kau bertindak bodoh, kawan, kau akan pergi jauuuuhhhh dari kota ini.”

Billy minum bir pahit itu sangat banyak. Rasanya seperti sinar matahari setelah badai hebat. Dia mulai merasa tenang.

“Hey, Darcy, hari ini umurku tepat 21 tahun.”

Darcy tersenyum lebar dan menjulurkan tangannya.

“Duaputuluhsatu? Bagaimana rasanya?”

“Tidak ada bedanya dari kemarin.”

Billy menjabat tangan Darcy.

Mereka tertawa dan minum untuk merayakan hari ulang tahun Billy sambil menuju perkemahan. Gelap dan basah, dengan angin kencang dan hujan yang menyerang pondok-pondok suku aborigin yang tidak beraturan bentuknya. Darcy menunjuk ke sebuah pondok diujung perkemahan.

“Ibumu tinggal disana.”

Bangunan itu sederhana, terbuat dari logam dan kayu. Dua buah karung, dijahit menjadi satu, dijadikan sebuah pintu. Dimana-mana terlihat mainan berukuran kecil yang berserakan, dan lumpur.
Billy berhenti sedekat mungkin dengan pintu Dia sudah lupa seperti apa rumahnya.

“Ayo, kawan. Ayo lihat ibumu. Kau mungkin beruntung, dan lihat saudaramu.”

Perlahan dia keluar dari mobil, tempat yang sunyi dan kumuh itu menariknya.

Dia adalah salah satu anggota keluarga itu.

Dia mengikuti Darcy melewati pintu yang terbuat dari karung itu. Dia merasa tidak yakin dan khawatir sendiri.

Disana ada enam orang: dua wanita tua, seorang lelaki sangat tua, dua lelaki muda, dan seorang wanita muda yang pemalu, yang menanti seorang bayi. Lelaki muda yang berada paling dekat ke pintu melihat keluar dengan wajah yang kekuning-kuningan. Rambut hitam panjang terurai di wajahnya. Dia memakai baju berwarna merah dari bahan katun – merah untuk tanah leluhurnya, merah untuk darah yang jatuh ke tanah saat bangsa kulit putih datang. Merah, satu-satunya hal yang bersinar di tempat yang gelap dan membosankan ini.

Lelaki muda itu tersenyum tipis kearah Darcy dan birnya.

“Selamat siang, Darcy, dia temanmu?”

“Kau ini bodoh sekali, Carl. Dia ini kakakmu yang baru pulang.”

Carlton menatap Billy, tidak percaya dengan ucapan Darcy. Kemudian, senyumnya sedikit mengembang. Lalu dia berdiri, mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman dan saling menatap, tersenyum. Kebahagiaan muncul secara perlahan diantara keduanya.

Lalu Rennie, sepupunya yang tinggi, kurus serta berambut kemerahan dan mata abu-abu, bersalaman dengannya. Dia mengenalkan Billy kepada ibunya, Phyllis, yang mengingatkan Billy pada China Groves dan Florrie Waters sebagai orang tua ibunya.

Ibu Billy duduk terdiam di meja dapur. Sebelah matanya tidak bisa melihat, sebelah lagi menatap putranya, tapi tidak ada pancaran selamat datang darinya. Dia terlalu angkuh untuk menunjukkan rasa sakitnya.

Dari wanita ini aku lahir, fikir Billy, seperti bunga yang muncul dari tanah. Dari perkemahan ini dia terbang.

Dia mengingat ibunya sebagai seorang wanita berkulit cokelat yang mudah tertawa, dengan rambut hitam panjang, dia bernyanyi dengan pelan sambil membersihkan rumah atau memasak. Sekarang dia sudah tua dan terlihat bodoh dengan segala kesedihannya.

“Jadi, akhirnya kau kembali. Kenapa kau tidak pulang saat kami memakamkan ayahmu? Kukira kau berfikir kalau kau jauh lebih baik dari keluarga lamamu, ‘kan?” dia bergumam dengan suara yang kecil bahkan sebelum Billy sempat mengucapkan salam. Lalu matanya kembali menunjukkan kesedihan.

“Hari ini ulang tahunku, bu. Aku ingin melihat semua orang. Tidak ada yang memberitahuku kalau ayah sudah meninggal.”

Carlton menatap Billy.

“Pasti yang ke duapuluhsatu, kan, Billy.”

“Ya.”

“Baiklah, kita harus adakan pesta,” Carlton tersenyum. “Kami akan membeli minuman.”

Carlton dan Rennie pergi ke kota dengan menggunakan mobil Billy. Saat mereka pergi, Billy merasa sungkan dan kesepian. Ibunya hanya menatapnya. Phyllis tidak mengucapkan apapun, dan neneknya mengobrol dengan Darcy, obrolan perkemahan yang tidak dimengerti oleh Billy.

Kedua saudaranya kembali melalui pintu dengan sebuah kardus yang ditaruh diatas meja oleh Carlton, kemudian dia mendekati kakaknya. Wajahnya menatap Billy seperti anak kecil yang menunggu untuk menunjukkan sesuatu yang dia buat kepada ayahnya. Bibirnya yang hitam berusaha tidak tersenyum.

“Selamat ulang tahun, Billy.” Kata Carlton, lalu memberikan sebuah jam tangan emas yang berkilau dari dalam saku celana jins nya.

“Jam tangan itu hidup, Billy.” Kata Rennie disamping ibunya, Darcy dan China tertawa.

Gelak tawa menari didalam ruangan itu seperti daun-daun kering yang melayang lepas dari pohonnya.
Mereka minum dan mengobrol. Darcy pulang ke rumahnya dan para orang tua pergi tidur. Ibunya tidak berkata apapun kepada Billy sepanjang malam. Esok pagi Billy akan membeli beberapa gorden cantik untuk jendela, memasang sebuah pintu yang lebih baik, dan membeli baju yang paling bagus untuk ibunya.

Mereka teringat dengan kenangan indah saat Billy bukanlah William Woodward si bintang sepakbola dan artis, tapi Billy si anak nakal, dengan senyum lebar dan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik karena postur tubuhnya yang bagus.

Disinilah mereka – berkumpul bersama lagi, tapi sekarang Rennie akan menjadi seorang ayah, dan Carlton baru saja kembali setelah tiga bulan dipenjara. Dan Billy? Dia tidak dimanapun.

Akhirnya Carlton berdiri.

“Waktunya tidur.” Dia menepuk pundak kakaknya dengan pelan. “Sampai jumpa besok, Billy.” Dia tersenyum.

Billy berbaring diatas selimut dan memandang api yang hampir mati. Dalam fikirannya dia bisa mendengar suara ayahnya yang menceritakan sebuah kisah, dan suara ibunya yang menyanyi. Lalu dia tertidur.

***


Dia bangun karena mendengar suara burung-burung magpie di pepohonan yang sunyi. Dia turun ke lantai dan berjalan menuju pintu dengan perlahan.

Mata Carlton melihatnya dari balik selimut di tempat tidurnya.

“Kau mau kemana?” Dia berbisik.

“Hanya jalan-jalan.”

“Sampai jumpa lagi, Billy.” Dia tersenyum lalu kembali tidur. Billy pergi keluar.

Matahari dengan gerimis kecil muncul keatas bukit dan menyinari perkemahan. Gelas-gelas yang pecah terkena sinar matahari, terlihat putih, seperti tulang binatang yang mati. Beberapa anak muda berdiri mengelilingi mobil Billy. Billy melambaikan tangannya kearah mereka dan mereka balas melambai kearahnya. Setelah mandi, Billy pergi ke danau. Dia ingin – sangat ingin – mengingat ayahnya.

Dia berdiri disana, melihat kilauan hujan yang jatuh ke air yang hijau. Burung-burung bernyanyi dengan kencang dan jelas dari pepohonan disekitarnya yang berwarna hijau, cokelat dan hitam. Lalu dia berjalan kembali ke pondok. Asap dari api melambung keatas dan menyatu dengan awan mendung.

Saat dia tiba dipinggir perkemahan, sebuah mobil polisi dengan paksa berjalan melewati lumpur dan sampah. 

Seseorang yang berkulit putih menatap garang kearahnya. Mobil itu berhenti.

“Hey kau! Kemari!”

Orang-orang disekitar perapian melihatnya dari sudut mata mereka, saat dia berjalan mendekat.

“Itu mobilmu?”

“Ya.” Billy menatap polisi besar dengan seragam biru itu. disampingnya ada supirnya, polisi yang lain.

“Siapa namamu, dan darimana kau mendapatkan mobil itu?” tanya si supir.

“Aku sudah bilang kepadamu, itu mobilku. Namaku William Jacob Woodward, ada masalah?” Billy menjawab dengan marah.

Polisi itu keluar dari mobilnya. Dia melihat Billy yang hitam, yang tiba-tiba saja merasa kecil dan lemah.

“Kau saudara Carlton?”

“Jika kau ingin tahu –“

“Aku ingin kau tahu, kau negro sialan. Aku ingin tahu semua tentangmu.” Jawab polisi itu.

“Ya, seperti dimana kau semalam saat toko dirampok, secepat kau pulang kerumah dan menimbulkan masalah di bar.” Jawab si supir.

“Aku tidak membuat masalah, dan aku tidak terlibat dalam perampokan apapun. Aku suka caramu datang kemari saat ada masalah –”

“Jika kau tidak terlibat dalam perampokan, lalu jam tangan apa ini?” tanya polisi itu penuh kemenangan, lalu dia menarik tangan Billy yang sudah melukis banyak gambar indah untuk suku bangsanya. Dia menariknya ke punggung Billy, lalu melempar Billy kearah mobil polisi itu. jam tangan emas itu menggantung diantara jari-jarinya yang merah muda.

“Dengar, aku disini sejak semalam. Kau bisa tanyakan pada nenekku atau Darcy Goodrich.” Tapi perasaan Billy tahu kalau itu bukan solusinya.

“Jangan katakan itu padaku. Saat ada masalah, kalian, orang-orang sialan, akan bekerjasama seperti lalat mengerumuni toilet.” Kata si supir.

Tidak ada gunanya lagi. Tidak dengan pepohonan, yang dengan bebas melepaskan ranting kecilnya. Tidak dengan orang-orang disekitar api yang hangat. Tidak dengan hujan, yang turun membasahi leher dan kulitnya. Hanya lelaki besar dan mesin yang berkilau dengan tulisan POLISI dipinggirnya.

“Kau negro sialan, aku akan membuatmu – dan saudara kandungmu – menyesal. Semalam kau hampir membunuh si Peter tua.” Kata si polisi besar. Lalu supir yang berdiri disampingnya, menatap Billy dengan marah dibalik kacamata hitamnya.

“Kalian keluarga Woodwards semuanya sama saja, pencuri sialan. Jika kau fikir kau adalah seorang petinju dan memukul orang tua, kau bisa mencoba melawan polisi besar ini saat kami kembali ke pos.”

“Ayo tangkap yang lainnya, Morgan.” Kata si polisi besar. “Bu Riley bilang kalau ada dua orang lagi dari mereka.”

Billy dipaksa masuk kedalam mobil itu dengan kasar, dan duduk disana dengan malang saat mobil itu berjalan menjauh dari perkemahan. Dia melihat Kingswood baru yang berdiri di lumpur. Darcy, Rennie yang ketakutan, dan beberapa orang lain berdiri disana, menatap dengan hampa. Billy melihat polisi itu menarik saudaranya dari dalam pondok, matanya penuh kesedihan,menunduk ke tanah. Dia didorong masuk ke mobil bagian belakang.

Carlton melihat Billy dengan tatapan putus asa, lalu tersenyum lemah.

“Selamat datang di rumah, kakak.” Dia berbisik.





***






Catatan:
*Nyoongah adalah sebutan untuk penduduk asli suku Aborigin.

Archie Wellen (1957–) tumbuh di sebuah peternakan didaerah Barat daya Australia. Novel pertamanya yang berjudul Day of the Dog terbit pada tahun 1981 yang kemudian dijadikan sebuah film berjudul Blackfellas ditahun 1993. Buku dan filmnya memenangkan banyak penghargaan. Novel keduanya, Land of the Golden Clouds, diterbitkan pada tahun 1998. Dia juga menulis puisi, cerita pendek, dan drama. Menuturnya sangat penting bagi suku Aborigin untuk menulis tentang pengalaman hidup mereka karena “manusia mati dan membawa perasaan mereka bersamanya tapi tulisan tetap hidup selamanya.”