Novel Meramu Hati karya Nela Fayza benar-benar membuat
saya seperti kembali ke masa-masa SMA dulu. Novel ini menceritakan tentang
seorang remaja putri yang baru masuk SMA bernama Khanza Nabila yang
mengidolakan kakak kelasnya yang notabene anak Rohis dan alim bernama Muhammad
Malik Al-Mubarokfurry. Di masa awal SMA memang tidak sedikit kakak kelas yang
dengan sengaja maupun yang tidak disengaja tebar pesona kepada murid-murid baru.
Dan sudah dipastikan banyak murid baru yang jadi ‘pengagum rahasia’ sang kakak
kelas. Begitu pula dengan Khanza. Ia amat mengagumi Malik walau Malik sama
sekali tidak mengenalnya.
Malik sebenarnya sama sekali tidak pernah tebar
pesona kepada siapapun termasuk kepada Khanza. Mereka bertemu di perpustakaan sekolah saat
Khanza dan beberapa temannya tengah mengikuti remidial ulangan fisika, salah
satu pelajaran yang dibenci Khanza. Saat itu Malik sedang mengajari temannya entah
pelajaran apa dan kemudian ia mendekati Khanza untuk meminjam pensilnya. Namun pensil itu tidak juga dikembalikan kepada
Khanza. Tentu Khanza merasa kesal terhadap Malik. Mungkin kesannya berlebihan, marah hanya karena kehilangan pensil. Meskipun harganya tak seberapa, tapi pensil itu tetap miliknya yang harus dipertahankan. Begitu fikirnya.
Kejadian yang tidak
menyenangkan tersebut justru membuat Khanza semakin memperhatikan Malik.
Awalnya ia tetap kesal karena pensilnya tidak juga dikembalikan, namun
kekesalannya berubah saat ia tahu bahwa Malik sangat pintar, alim dan juga
rajin beribadah. Sejak saat itu ia mulai mengagumi Malik. Khanza sebenarnya
anak yang berprinsip tegas pada dirinya dan sangat paham tentang ajaran agama
islam. Ia juga mengerti bahwa tidak ada istilah pacaran dalam islam. Tetapi,
sebagai anak baru gede dan masih labil, tetap saja dalam lubuk hatinya ia
berharap agar ia dan Malik dapat saling mengenal dan syukur-syukur bisa
berpacaran dengannya. Maka tak jarang hal-hal sepele yang berhubungan dengan
Malik bisa membuatnya tersenyum atau bahkan bersedih sepanjang hari.
Setiap hari ia
memperhatikan sang idola di depan kelas. Seperti takdir yang sudah digariskan
oleh Allah, ada saja kejadian yang membuat mereka tidak sengaja bertemu dan
bertatap muka. Entah itu di kantin sekolah, lapangan, masjid atau bahkan saat
ia melewati mading sekolah pun Malik ada disana. Kejadian sederhana yang
sebenarnya sepele itu semakin membuat Khanza bahagia berada dekat dengan Malik.
Padahal ia pun tahu bahwa bagi Malik mungkin hal itu sama sekali bukan hal yang
spesial.
Semakin hari Khanza
semakin sering memperhatikan Malik. Ia sampai mencari tahu akun facebook Malik
dan menambahkannya sebagai temannya. Tidak hanya itu, ia juga menyimpan
foto-foto sang idola yang ia ambil dari
facebooknya secara diam-diam. Hari demi hari ia habiskan untuk memikirkan
Malik, Malik, dan Malik seolah tidak ada hal lain yang lebih penting dari sosok
Muhammad Malik Al-Mubarokfurry Tersebut.
Sampai akhirnya ia harus benar-benar menyadari
bahwa dirinya dan Malik memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Walau ia rajin
me-like status facebook sang idola, mengiriminya pesan baik melalui facebook
maupun SMS namun tanggapan Malik tetap saja dingin. Ia mengacuhkan Khanza.
Semua pesan Khanza hanya dijawab seperlunya oleh Malik, sampai puncaknya Setelah
hari kelulusan Malik, ia menghapus
pertemanannya di facebook dengan Khanza dan tak pernah lagi menjawab pesan yang
dikirimkan oleh Khanza. Tinggallah Khanza kehilangan separuh hatinya. Pupus
sudah semua harapannya dan Ia mulai mencoba menata hati kembali dan memfokuskan
diri untuk belajar serta meraih cita-citanya meskipun bayang-bayang Malik masih
tetap menghampirinya.
Namun saat ia sudah berhasil untuk tidak
menumbuhkan potongan-potongan harapan kepada Malik, mereka justru dipertemukan
kembali oleh Sang Pemilik Cinta pada suatu waktu yang sama sekali tak terduga
sebelumnya. Khanza pun mendapat semua jawaban atas semua pertanyaan dalam benaknya
tentang kepergian Malik, hilang sudah kegelisahannya terhadap Malik yang pergi meninggalkannya
begitu saja. Semua penjelasan Malik kemudian menjadi sangat jelas untuk Khanza.
Ia bahagia walau tak pernah ada hubungan apapun diantara mereka.
Cerita dalam novel ini memang terkesan sangat
biasa dan sudah umum. Namun tema keagamaan dalam pemahaman seorang remaja
sangat mengena untuk remaja yang baru mengenal cinta. Ditambah dengan latar
tempat yang dituturkan oleh sang penulis benar-benar membuat saya sebagai
pembaca terbawa ke memori masa SMA dimana hampir sebagian besar hal yang
terjadi pada Khanza pernah saya alami juga. (ternyata saya juga pernah labil,
hehehe)
Beberapa hal yang
membuat novel ini tidak sekedar tentang cinta remaja adalah adanya kutipan ayat
Al-Qur’an dan doa-doa yang dituturkan oleh sang penulis menggunakan bahasa yang
sederhana namun bermakna dalam untuk semua pembacanya. Saya sangat menyukai
bagian saat Khanza memanjatkan doa kepada Allah demi memohon yang terbaik untuk
dirinya dan menyadari kesalahannya, salah satunya adalah doa berikut ini:
“Ya
Allah, inikah sebabnya Kau selalu membiarkanku patah hati? Sebenarnya Kau
berniat melindungiku dari permainan cinta, tapi aku tidak pernah sadar, sampai
kadang aku meminta hal yang salah. Dan ketika kau kabulkan, Arkan membalas
perasaanku lalu ia meminta jawaban. Kini aku yang sengsara . aku tak tahu harus
bagaimana. Aku takut salah ambil keputusan. Aku sadar, kali ini aku memang
harus mendekatkan diri kembali kepada Engkau. Aku harus tau maksud Engkau dari
semua ini, Apakah cinta ini sebuah anugerah atau sebuah ujian?”
Selain itu, beberapa
kutipan hadist juga menjadikan novel ini sangat layak untuk dibaca oleh kaum
muda maupun dewasa.
“Siapa yang meringankan
beban seorang muslim di dunia,
pasti Allah akan
meringankan beban di akhirat kelak.
Siapa yang memudahkan
orang yang dalam keadaan susah,
Pasti Allah akan
memudahkan urusannya di dunia dan
akhirat.
Siapa yang menutup aib
seorang muslim,
Pasti Allah akan
menutup aibnya di dunia dan akhirat.
Dan Allah akan selalu
menolong hambaNya,
Jika hamba tersebut
menolong saudarannya.”
(HR. Muslim)
Pahit
manis dan suka duka cinta bisa Khanza rasakan selama ia mengagumi malik tanpa
adanya hubungan spesial diantara mereka. Maka, seperti yang dikatakan Nela
Fayza sang penulis, “Tak perlu pacaran hanya untuk tahu apa rasanya cinta.”
Bitung,
Selasa, 07/07/2015
Wah terima kasih ya atas resensinya
BalasHapussama-sama. aku suka ceritanya :D
Hapus