Pages

Rabu, 17 Juni 2015

Cerpen: Liburan untuk Keiko


Oleh: Siti Nadroh



                Ohayo minna-san… lihat lihat, minggu kemarin aku baru saja pergi berlibur ke Hawaii bersama keluargaku. Kami naik kapal pribadi milik ayahku, hadiah dari perusahaan tempatnya bekerja. Fotonya bagus-bagus kan.” Ucap seorang anak laki-laki berpenampilan rapi saat melangkah kedalam kelas. Semua anak yang sedang mengobrol langsung menoleh kearah datangnya suara, mulai berkumpul mendekati anak tersebut.

                “Indah sekali pantainya.” Ucap Keiko, salah satu teman sekelas Nakashima. Ia terkagum-kagum melihat foto-foto tersebut. “ Tapi… Hawaii itu kan jauh, hebat sekali kamu bisa pergi berlibur kesana.” Ucapnya dengan sangat polos. Ia tidak sadar bahwa ucapannya tersebut hanya akan menambah kesombongan Nakashima saja.

                “Tentu saja bisa. Ayahku akan menuruti apa saja yang aku inginkan. Biasanya kami pergi berlibur ke Eropa, tetapi karena kemarin waktu liburan ayahku tidak lama, maka aku memilih Hawaii sebagai tujuan liburan kami kali ini yang jaraknya paling dekat dari Tokyo.” Dari nada suaranya sangat terlihat bahwa ia ingin dipuji teman-temannya.

                “Suatu saat nanti aku akan berlibur kesana juga.” Keiko bergumam pelan.

                Nakashima yang sedari tadi memperhatikan raut wajah Keiko langsung berkomentar, “Kamu sih mana mungkin bisa pergi kesana. Semua teman-teman disini juga tau kalau ayahmu sangat sibuk membangun gedung-gedung tinggi itu. Bahkan ketika ada kunjungan orang tua ke sekolah saja ayahmu tidak pernah hadir. Sepertinya ia tidak punya waktu untukmu. Kasihan sekali kamu.” Ucapnya dengan nada menyindir.

                “Itu tidak benar! Tidak lama lagi ayahku pasti pulang ke Tokyo dan mengajakku pergi berlibur bersama Ibu.” Keiko berkata sambil menahan tangis. Kemudian ia berlari keluar kelas, tak bisa lagi menahan airmatanya. Teman-temannya yang lain saling melirik, terdengar juga tawa kecil diantara mereka.


***


                Pagi itu, setelah libur tahun baru, Nakashima, murid kelas 4B yang berasal dari keluarga kaya kembali memamerkan kisah liburannya kepada teman-teman sekelasnya. Sudah menjadi kegiatan rutin baginya untuk melakukan itu setiap hari pertama sekolah setelah libur panjang. Dan sudah bisa dipastikan teman-temannya yang lain hanya bisa iri saja terhadapnya, termasuk Keiko. Ia bahkan jarang sekali pergi berlibur. Ayahnya seorang kontraktor bangunan di kota Kagoshima. Jaraknya yang cukup jauh dan pekerjaannya yang seolah tidak pernah berhenti membuat ayahnya tidak bisa pulang setiap hari. Maka ia hanya mengunjungi Keiko dan ibunya beberapa bulan sekali saja dan waktunya tidak bisa ditentukan.

                Pernah suatu ketika ayahnya pulang ke Tokyo. Saat itu Keiko sedang ujian kenaikan kelas sehingga ia tidak bisa bolos demi pergi berlibur dengan ayahnya.

                “Berapa lama ayah di Tokyo? Bisakah ayah pergi berlibur dulu denganku dan ibu sebelum kembali ke Kagoshima?” Tanya Keiko disuatu malam saat mereka berkumpul di ruang keluarga. Ia sangat berharap ayahnya akan memberi jawaban yang ia harapkan.

                “Tiga hari lagi ayah harus kembali ke Kagoshima,Sayang. Maafkan Ayah.”

                “Ujianku juga tinggal tiga hari lagi. Ayah minta izin cuti saja, kita pergi ke festival musim panas. Sehari saja. Ya?” Keiko masih mencoba meluluhkan hati ayahnya.

                “Maafkan ayah sayang, tetapi kali ini ayah benar-benar belum bisa pergi berlibur denganmu. Pekerjaan ayah sedang banyak sekali, tidak bisa ditinggalkan untuk waktu yang lebih lama lagi.”

                “Ayah selalu begitu. Kerja. Kerja. Kerja. Saat perayaan Tanabata kemarin juga ayah bilang begitu. Ayah tidak sayang aku. Harusnya ayah tidak usah datang saja saat aku sedang ujian seperti sekarang ini.” Keiko mulai menangis.

                “Bukan begitu, Sayang. Lain kali ayahmu pasti bisa berlibur bersama dengan kita.” Ucap ibunya mencoba menenangkan putrinya. Keiko hanya diam, memainkan pensilnya dan mencoret-coret bukunya.

               “Ayah janji. Musim gugur nanti kita pasti akan pergi berlibur bersama. Kita akan mendaki gunung. Menikmati suasana alam yang indah. Ayah akan berusaha!”

               “Ayah tidak bohong kan?”

               “Tentu saja tidak. Janji!.” Ayahnya mengangkat jari kelingking kanannya, membuat simpul dengan jari kelingking Keiko.

               “Janji.” Ucap Keiko, tangan kirinya sibuk menyeka air mata dipipinya.


***


               Beberapa bulan kemudian, tepatnya saat musim gugur tiba dan dedaunan yang tadinya berwarna hijau mulai berubah menjadi warna merah atau kuning, harapan Keiko untuk bisa berlibur dengan ayahnya ternyata belum juga tercapai. Ia mendapat kabar dari ibunya bahwa perusahaan tempat ayahnya bekerja sedang mengerjakan proyek besar yang sebenarnya tidak dipahami oleh putrinya itu, tetapi ia mengerti apa maksud dari ucapan ibunya. Ayahnya tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Waktu libur yang biasa dimanfaatkan untuk pulang ke Tokyo pun terpaksa digunakan Ayahnya untuk tetap bekerja. Mengurusi pekerjaannya.

Mendengar kabar itu, ditambah dengan sindiran Nakashima pagi tadi menambah kesedihan di hatinya. Di kelas ia hanya terdiam, dan tidak bersemangat seperti biasanya.

               “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Nakashima kan memang begitu orangnya.” Shimita, teman sebangku Keiko mencoba menghibur.

                “Tapi kan aku juga ingin pergi berlibur. Bahkan pergi piknik ke Kyoto menikmati makan siang bersama dibawah bunga sakura yang sedang bermekaran saja aku belum pernah.”

                “Tidak lama lagi kan sakura mekar, dan sekolah kita akan pergi Hanami ke Kyoto bersama dengan orang tua kita juga, kalau tidak salah sekitar bulan Maret. Coba saja kamu minta ayahmu untuk pulang ke Tokyo dan pergi Hanami bersama kita nanti.”

                 “Oiya ya, aku hampir saja lupa, dan yang kutau disana bunga sakuranya sangat indah, suasana di kuil Osshiro dan Otera juga tak kalah segar. Aku ingin pergi kesana.” Keiko bergumam, ia tersenyum.

                Sepulang dari sekolah ia langsung menyambar telepon yang tidak jauh dari tangga menuju kamarnya, ia tau saat ia pulang sekolah berarti ayahnya sedang makan siang, maka ia tidak ragu ataupun takut untuk menelpon ayahnya. Kan tidak sedang bekerja. Fikirnya.

Satu persatu ia menekan tombol telepon berdasarkan nomor ponsel ayahnya. Nada tuut tuut tuut terdegar lama. Membuat ia semakin tidak sabar untuk segera mendengar suara ayahnya.

                “Halo.” Terdengar suara khas ayahnya diseberang sana.               

                “Halo ayah, sedang apa? aku tidak mengganggu kan?”

                “Iya, Sayang. Ayah sedang makan siang. Kamu sudah pulang sekolah? Bagaimana harimu di sekolah tadi?”

                “Sudah. Umm… Menyenangkan.” Jawabnya singkat. Bukan ini hal yang ingin aku bicarakan. Batinnya. “Ayah, apakah bulan maret nanti saat sakura mekar ayah bisa pulang? Di sekolah akan diadakan piknik bersama ke Kyoto untuk menikmati sakura. Ayah bisa menemani aku kan?”

                “Ayah belum bias pastikan, Sayang. Sesegera mungkin akan ayah kabari ya.” Dari suaranya, Keiko tau bahwa ayahnya masih ragu.

                “Yah…. Ayolah, kali ini saja ayah. Sebab diundangannya tertulis “pergi piknik bersama Ayah dan Ibu”. Maka ayah dan ibu harus ikut menemani aku. Ayolah… kumohon.” Keiko memelaskan suaranya demi membujuk ayahnya.

                  “Baiklah sayang, akan ayah usahakan.”

                “Terimakasih ayah. Selamat bekerja kembali. Aku sayang ayah.” Seketika nada suara Keiko berubah riang seperti saat ia melihat salju turun di hari pertama musim dingin. Ayahnya disebrang sana hanya tersenyum, mulai berfikir untuk mengajukan cuti selama seminggu demi putrinya dan berharap-harap cemas akan mendapat izin cuti dari perusahaannya.

                Hari demi hari Keiko dengan sabar menunggu kabar dari ayahnya. Sesekali ia bertanya kepada ibunya, namun jawaban ibunya masih sama, “belum ada kabar sayang. Sabar ya.Ayahmu pasti pulang.”

               “Baiklah.” Jawab Keiko lemas sembari menaiki anak tangga menuju kamarnya.

               Setelah hampir tiga bulan ia menunggu, pagi itu akhirnya ayahnya menelpon. Tepat sehari sebelum keberangkatannya ke Kyoto.

                “Halo sayang. Ayah punya kabar baik untukmu, ayah diizinkan cuti selama satu minggu!”

                “Benarkah? Jadi ayah bisa pergi piknik denganku? Ayah tidak bohong kan?” Keiko senang sekali mendengar kabar tersebut.

          “Benar sayang. Ayah tidak bohong. Ayah bisa ikut pergi Hanama denganmu dan kawan-kawan di sekolahmu.” Ujar ayahnya senang.

                “Asik… Terimakasih ayah. Lalu kapan ayah akan pulang ke Tokyo? Kita harus persiapkan semuanya.” Tanya Keiko bersemangat.

                “Sore nanti ayah akan pulang sayang. Tunggu ya.”

                “Baiklah, aku akan membuat boneka Teru-Teru Bozu dan menggantungnya di jendela kamarku.”

                “Hahaha…Yayaya… terserah kamu saja sayang, tapi ini kan musim semi, mana mungkin hujan.” Ledek ayahnya, anaknya memang kadang polos sekali.

                “Biar saja, aku kan suka boneka itu, dan aku yakin seperti yang diceritakan Ayah jika aku menggantungnya maka tidak akan turun hujan.”

               “Baiklah sayang, selamat membuat boneka. Ayah akan telpon kamu lagi nanti.”

               “Oke!” ucap Keiko. Percakapan siang itu membuatnya sangat bersemangat. Ia langsung menaiki anak tangga, masuk ke kamarnya dan sibuk membuat boneka Teru-Teru Bozu.

                “Nah, Teru-teru yang manis, kamu harus membantu aku untuk membuat matahari bersinar cerah besok. Jangan turunkan hujan ya. Sehari saja. Karena aku akan pergi piknik dengan ayahku melihat sakura. Besok adalah hari yang penting untukku. Jadi bantulah aku.” Ia berkata sendiri sebelum menggantungkan boneka Teru-Teru Bozu yang telah selesai ia buat.

               Setelah menggantungkannya, ia bersiap tidur. Sambil memandang boneka yang berayun terhempas angina malam itu ia bergumam, “Besok akan menjadi hari yang sangat mnyenangkan.” Kemudian ia terlelap dalam tidurnya.


 ***


                Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, namun betapa kecewanya Keiko saat mengetahui bahwa hujan turun sangat deras pagi itu, perkiraan cuaca di televisi bahkan mengatakan bahwa hujannya akan berlangsung seharian penuh disertai angin kencang.

                “Yaaahhh… Kenapa hujan? Padahal aku sudah susah payah membuat lima boneka Teru-teru bozu untuk menghalangi hujan.” Ia kecewa sekali.

                “Mau bagaimana lagi sayang, pihak sekolah barusan telepon, katanya karena cuaca buruk  terpaksa acara piknik ke Kyotonya dibatalkan.” Ayah berkata dengan sangat hati-hati.

                “Menyebalkan sekali. Bahkan untuk pergi melihat sakura saja aku tidak bisa. Aku memang anak paling tidak beruntung di dunia.” Ucap Keiko sedih, ia mulai menangis.

                “Kamu tidak boleh berkata seperti itu sayang. Kalau besok cuaca cerah, kita pergi ya.Tidak perlu menuggu kawan-kawanmu. Kita langsung pergi saja ke Kyoto.”Ayahnya mencoba menghibur.

                “Aku tidak percaya. Ternyata cerita ayah tentang Teru-teru bozu yang bisa menahan hujan agar tidak turun hujan itu bohong. Aku sudah malas. Jangan ganggu aku.” Jawab Keiko, ia melangkah menuju kamarnya. Usaha ayahnya untuk menghibur Keiko sama sekali tidak berhasil. Seharian ia hanya mengurung diri di kamar. Turun hanya pada waktu makan, dan kemudian mengurung diri lagi. Hingga malam tiba dan ia kembali terlelap.


***


                “Keiko sayang… Ayo bangun.” Kata ibunya dibalik pintu kamarnya.

                “Sebentar lagi bu, aku masih mengantuk, lagipula, hari ini kan sekolah masih libur. Aku ingin tidur sebentar lagi saja.” Jawab Keiko setengah sadar.

                “Apa kamu tidak mau pergi melihat sakura hari ini? Ibu sudah mempersiapkan semuanya lho. Ayo bangun.” Ucap ibunya, masih dibalik pintu kamar putrinya.

                “Kemarin kan hujan, pasti hari ini juga sama saja. Aku malas bu. Sudah tidak berminat lagi.”

               “Benarkah? Coba buka jendelamu dan lihat cuaca pagi ini. Ayo bergegas!”

               Seketika itu Keiko langsung bangkit dari tempat tidurnya, ia membuka jendela dan bersorak kencang, “Aaaahhhhh….. Cerah sekali. Ayo pergi piknik melihat Sakura di Kyoto. Tunggu aku Bu.”

               Pagi itu, keriuhan terjadi didalam rumah Keiko. Setelah sekian lama menanti, akhirnya impian Keiko untuk pergi berlibur bersama kedua orang tuanya tercapai juga. Hari itu benar-benar menjadi hari yang menyenangkan baginya. Boneka Teru-Teru Bozu yang menggantung di jendela kamarnya seolah ikut senang, ia berayun lembut di hempas angin pagi yang sejuk setelah hujan sehari semalam kemarin. 






THE END.





Daffodilss,
17 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar