Pages

Rabu, 29 Oktober 2014

Summary of A Man Named Dave Novel



A Man Named Dave” is the last story in Dave Pelzer’s autobiographical novels which published in 2001 and focuses on the story of his triumph and forgiveness. The previous novels are “A Child Called It” and “The Lost Boy”

In the beginning of “A Man Named Dave”, Dave Pelzer explained how hard his childhood was when he lived with his mother and how horrible his mother treated him abusively. After suffering 12 years of abuse from his mother, he was survived and free from his mother’s mistreatment then he was entered to the foster system. He starts to work in a young age, to prove his worth to society. His work made him drop out of high school. Then he tried to enlist to the Air Force and tried to become a fireman, like his father was. 

Dave entered to the Air Force. Though he continued doing his job seriously, he felt discourages in jobs that he did not enjoy. Due to his schedules of working, he lacked social skills and failed to make friends.

After several years in the service, he got information that his father lied sick in the hospital. He arrived days before his father died and he realized that cancer took his father. The loss made him feel more hopeless, as he hoped to save money to buy a house for him and his father. Without that goal, he seemed so hopeless and no more had a passion in life.

After several years in the Air Force, he moved to be a crewman on a refueling plane. With this promotion, he had transferred to a base back in his home state of California. He relaxed himself by renting an apartment close to the base. Months later, he fell in love to Patsy, a young woman in his apartment complex.

He never had a love relationship before, so he was a bit shy when he realized that he attracted to Patsy. However, Patsy pursued him continually. Though he recognized their personality conflicts right away, he felt his scarred background damages him, but finally he decided to marry Patsy.

Days after his marriage, his jobs become busier than before. In the deepest of his heart, he feared that he was genetically programmed to fail as a parent like his parents were. However, the birth of his son proved otherwise. He felt very happy at that time. On the other hand, as his son is growing, he became much busier in doing his job in the Air Force than before. It made his relationship with Patsy becomes worse. Then, he decided to retire from the Air Force and transition into life as a motivational speaker.

Finally, however, Patsy asked to break up with him. She refused to support his job as an unprofitable speaker. Then, they decided to divorce. In the process of taking over his own life, including publishing the first two volumes of his memoirs, he met Marsha, who became his wife. With the success of his books, he became a famous speaker. Shortly, after moving to his dream home on the Russian River, he married Marsha.

Sabtu, 18 Oktober 2014

DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN



Salib dan ummat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji.
 Dia tidak di Salib.

Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda kuno.
Tidak ada tanda apa pun di dalamnya.

Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah,
dan ke Kandahar Aku memandang.
Dia tidak di dataran tinggi
maupun dataran rendah.

Dengan tegas,
aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan).

Di sana cuma ada tempat tinggal
(legenda) burung Anqa.

Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah.
Dia tidak ada di sana.

Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf
Dia ada di luar jangkauan Avicenna …

Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.
Dia tidak di tempat lain.




-Jalaludin Rumi,
Salah satu penyair favorit saya.
Karyanya banyak bertemakan cinta juga ketuhanan.

Jumat, 10 Oktober 2014

Genggaman


hangat. lembut. damai.
setidaknya itulah yang kurasakan saat aku menggnggam tangan itu.
Ada ketenangan dalam diri juga kuatan yang ia berikan padaku. seperti sengatan listrik.
tapi tentu sengatan dan getaran ini takkan membunuhku.
langsung bisa kurasakan begitu saja.

pantaslah mereka mengatakan, "gengamlah tangaku, aku merasa sendiri."

ternyata pengaruhnya memang sangat besar.
dapat kurasakan betapa tenangnya saat aku menggenggam itu,
kehangatan yang diberikannya mampu membuatku seolh tebang, menjauh dari semua masalah yang sedang mlandaku.
ah, betapa beruntungnya aku.


kehangatan itu, yah, biarlah aku menggenggam tanganku sendiri.
sampai sekarang masih belum ada yang mampu meraihnya bahkan menggantikan genggaman tanganku terhadap diriku.




@kampus, Rabu, 10 oktober 2014
Hari ulang tahun Ibu


Rabu, 08 Oktober 2014

Jarak dan Rindu





Jika mendung adalah jarak yang memisahkan matahari dengan bumi,

mungkin saat ituah matahari mengenal rindu terhadap bumi.
Dalam rindunya, ia tidak berhenti memberikan sinarnya ke bumi.
kehangatannya akan tetap bisa dirasakan walaupun mendung menghalangi.
Cepat atau lambat, seiring mendung yang memudar, jarak itu akan semakin berkurang.
Mereka - matahari dan bumi - akan kembali menatap satu sama lain.


Cinta dalam rindu atau rindu dalam cinta?
Apapun itu, keduanya tetap indah.












Rabu, 08 Oktober 2014.
Mendung, tanpa secangkir teh hangat.

Selasa, 07 Oktober 2014

A poem?





love me, just like the moving sky up there.


care of me just like your words in your poems.

is this a poem?

well, truly I don't know.



@Office, 
Tuesday Morning.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Hewan Kurban


"10 Juta? gila!. apa tidak bisa kurang lagi?"

"Kambing ini perawatannya berbeda dari yang lain, Pak. Khusus kami sediakan untuk kurban."

"Mahal sekali. Kurangi sedikit lagi lah. Masa tetap segitu?"

"Wah tidak bisa, Pak. Untuk yang satu ini 10 juta sudah harga terendah. Kami merawatnya juga tidak asal-asalan. Tentu bapak juga menginginkan kambing dengan kualitas baik kan?"


Proses tawar menawar siang itu terjadi sangat lambat. Sang calon pembeli bermobil mewah itu tetap kekeuh ingin membeli kambing tersebut dengan harga murah. Namun sang penjual tentu tidak ingin melepas begitu saja kambing terbaiknya dengan harga rendah.


"Kalau yang ini berapa?." Ia menunjuk kambing lain yang ukurannya lebih kecil, juga terlihat seperti tidak terlalu baik kualitasnya.

"Kalau itu 7 juta."


Sang calon pembeli belum juga memutuskan kambing mana yang akan ia ambil. Tiba-tiba di tengah perdebatan itu, datanglah seorang lelaki berkaos hitam dengan sedikit noda tanah yang menempel pada bagian depan kaosnya. Wajahnya terlihat lelah sekali. Banyak kerutan di wajahnya seolah menggambarkan betapa kerasnya hidup yang ia jalani. Ia terlihat tidak lagi muda. Mungkin seorang kuli bangunan yang baru saja pulang kerja. Ia berhenti dan turun dari sepedanya tepat disamping sang penjual kambing.


"Berapa harga kambing ini, Pak?." Tanyanya kepada sang penjual. Ia menunjuk kambing yang sedari tadi sedang diincar oleh sang calon pembeli pertama.

"10 juta, Pak."

"Kualitasnya bagaimana?"

"Bisa dijamin baik, Pak. Kami tidak ingin mengecewakan pembeli."

"Baiklah saya ambil yang ini." Kata sang bapak tua sambil menghitung sejumlah uang kemudian memberikannya kepada sang penjual.

"Ini uangnya. mohon dihitung kembali."

"Baiklah. Tunggu sebentar, Pak. Akan kami proses."


Bapak tua itu mengangguk. Ia berdiri menunggu sambil melihat-lihat kambing lain disekitarnya.
Melihat betapa cepatnya proses pembelian bapak tua itu, calon pembeli pertama melangkah mendekati bapak tua tersebut.


"Kenapa bapak langsung menerima saja harga kambing itu? bahkan tanpa menawar sedikitpun. Itu mahal sekali pak." Tanyanya kepada bapak tua.

"Saya hanya ingin yang terbaik untuk ibadah saya. Semoga dengan ini Dia tidak kecewa kepada saya."


Sang calon pembeli itu seolah tersentak oleh apa yang diucapkan sang bapak tua. Ia terdiam.





Bitung, 03 Oktober 2014.
10:59 WIB.

Rabu, 01 Oktober 2014

Senandung pucuk-pucuk pinus


Aku berdiri diantara rimbunnya pohon pinus. Sendiri. hanya angin yang selalu menemaniku. Ia seolah tour guide yang sedang menjelaskan apa yang ada disekitarku saat ini. Kilauan embun mengantung di pucuk pinus itu memantulkan  sinar matahari yang panasnya belum seberapa.

Aku terus berjalan. menapaki setiap langkah di hutan ini mengingatkanku akan dia. Seseorang di masa lalu. Dulu kami sering sekali menghabiskan waktu di tempat ini. tanpa tujuan yang jelas. Tanpa percakapan. Hanya tangan kami yang terus menggenggam satu sama lain. Kami terpukau dan terhipnotis oleh damainya suasana diantara rimbunan pinus itu.

Kebersamaan dalam sunyi itu yang membuatku memutuskan untuk kembali ke tempat ini. Aku tidak tahu. Mungkin aku telah melakukan tindakan bodoh. Saat sedang berusaha melupakannya, aku malah terus terbawa arus kenangan masa dulu saat bersamanya. Di tempat ini, walaupun ini ku sendiri, tetap bisa kurasakan damai yang sama, nyanyian alam yang sama, sejuta cerita yang pernah ku lalui disini tetap tersimpan rapi dalam jiwa pohon-pohon itu.

Kini setelah lama berjalan tanpa arah, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Bersandar pada batang pohon pinus. Tempat yang tepat untuk beristirahat. Dulu kami – aku dan dia – sering sekali beristirahat disini. Tetap dalam diam. Atau kadang hanya senyum manis yang terbingkai di wajah kami. Aku terduduk lemah saat melihat ukiran yang pernah kami buat pada salah satu sisi pohon ini. Bukan namaku atau namanya. Hanya empat huruf, “Kita”.

Lama aku terdiam. Tertunduk. Tanpa kusadari airmata mulai menganak sungai di pipiku. Siluet bayang masalalu itu kembali muncul. Membuat sesak. Seketika aku sadar. Aku harus segera pergi dari tempat ini. Semakin lama aku disini, semakin aku terjebak dalam relung peyesalan. Aku butuh warna baru, setidaknya untuk kembali meramaikan hati juga fikiranku.

Aku berdiri, kubersihkan serpihan kulit pinus yang menempel pada punggung jaketku. Aku membalikkan badan untuk melangkah pulang. Tiba-tiba kudengar suara khas itu.

“Hai, apa kabar? Aku menepati janjiku untuk menemuimu di tempat ini”.  



Senin, 01 oktober 2014.