Pages

Rabu, 27 Juli 2016

Linguistics and Literature e-Books






Linguistic




1. (Bradford Books) Dan Lloyd-Radiant Cool_ A Novel Theory of Consciousness-The MIT Press (2003)

2. (Cambridge Textbooks in Linguistics) Andrew Radford-Analysing English sentences_ a minimalist approach-Cambridge University Press (2009)

3. (Cognitive Linguistic Studies in Cultural Contexts) Dr. Farzad Sharifian-Cultural Conceptualisations and Language_ Theoretical framework and applications -John Benjamins Publishing Company (2011)

4. (Facts on File library of language and literature) Christine Ammer-The Facts on File dictionary of cliches-Facts on File (2006)

5. (Heinemann English Language Practice) Richard Acklam, Sue Heap, etc.-Help with Phrasal Verbs-Macmillan Education (1992)

6. Meaning in Language An Introduction to Semantics and Pragmatics

7.  Basic Linguistic Theory Vol 3 (R.M.W Dixon)

8. (Human Cognitive Processing) Andreas Langlotz-Idiomatic Creativity_ A Cognitive-Linguistic Model of Idiom-Representation And Idiom-Variation in English -John Benjamins Publishing Co (2006)

9. (Pragmatics & Beyond New Series 173) Mara Sophia Zanotto (ed.), Lynne Cameron (ed.), Marilda C. Cavalcanti (ed.)-Confronting Metaphor in Use_ An Applied Linguistic Approach-John Benjamins (2008)

10. (Topics in English Linguistics 78) Stefan Thim-Phrasal Verbs_ The English Verb-Particle Construction and Its History-Walter de Gruyter (2012)

11. COURSE IN GENERAL LINGUISTICS FERDINAND DE SAUSSURE

12. Crary-Alice-Wittgenstein-and-the-Moral-Life-Essays-in-Honor-of-Cora-Diamond-2007

13. Elizabeth Barry-Beckett and Authority_ The Uses of Cliche (2006)

14. Ellen Contini-Morava-Cognitive and Communicative Approaches to Linguistic Analysis (1999)

15. DICTIONARY OF IDIOMS AND THEIR ORIGINS

16. THE ROUTLEDGE HANDBOOK OF CORPUS LINGUISTICS

17. Cristina Cacciari, Patrizia Tabossi, Cristina Cacciari, Patrizia Tabossi-Idioms_ Processing, Structure, and Interpretation-Psychology Press (1993)

18. English Words A Linguistic Introduction

19. INTRODUCING APPLIED LINGUISTIC

20. Eric Partridge-A Dictionary of Cliches (1978)

21. François Recanati-Literal Meaning-Cambridge University Press (2004)

22. INTRODUCING ENGLISH SEMANTIC

23. INTRODUCING ENGLISH LINGUISTIC CHARLES F MAYER

24. Martin Everaert, Tom Lentz, Hannah de Mulder, Oystein Nilsen, Arjen Zondervan-The Linguistics Enterprise_ From knowledge of language to knowledge in linguistics (Linguistik Aktuell Linguistics Today

25. PHRASAL VERB AND IDIOMS RAWDON WYATT

26. McGraw-Hill's Essential American Idioms Dictionary

27. LANGUAGE AND MIND NOAM CHOMSKY

28. Robert Audi-Moral Value and Human Diversity-Oxford University Press, USA (2007)

29. Research Methods in Linguistics

30. in_the_loop_pages

31. LANGUAGE - LEONARD BLOOMFIELD

32. Steven J. Taylor, Robert Bogdan, Marjorie DeVault-Introduction to Qualitative Research Methods_ A Guidebook and Resource-Wiley (2015)

33. STYLISTICS APPROACH PAUL SYMPSON

34. The Facts on File Dictionary of Proverbs

35. THE ENGLISH LANGUAGE FROM SOUND TO SENSE
 








Literature

1. GLOSSARY OF LITERARY TERM ABRAMS

2. THEORY OF LITERATURE WELLEK AND WARREN

3. INTRODUCTION TO LITERARY STUDIES MARIO KLARER

4. LITERARY THEORY A VERY SHORT INTRODUCTION - JONATHEN CULLER

5. THE ENGLISH NOVEL AN INTRODUCTION - TERRY EAGLETON

6. AN INTRODUCTION TO LITERATURE CRITISISM AND THEORY ANDREW BENNET

7. CONTEMPOPARY LITERARY THEORY

8. GeneologyofMorals(1)





Selasa, 26 Juli 2016

Dave Pelzer's Trilogy (E-Book English Version)

For everyone who are looking for the Trilogy of Dave Pelzer, please click the links below.



1. The Lost Boy




2. A Child Called It



3. A Man Named Dave



 Hope it useful for you, ^-^

Rabu, 20 Juli 2016

Pohon Ara yang Menangis





Penulis:  Judith Wright 
Diceritakan kembali oleh: Christine Lindop
Penerjemah:  Siti Nadroh


 

Terkadang, masa kini tidaklah cukup, orang-orang harus terhubung dengan masa lalu – untuk mengetahui sejarah keluarga mereka, siapa mereka, darimana asal mereka, bagaimana mereka hidup…

Di Barat Laut Queensland ada seorang pria yang mencari masa lalunya. Disini, matahari membakar daratan kering dan gersang, udara panas membuat mata menjadi merah. Bagaimana orang-orang – atau pepohonan – bertahan di udara panas yang mengerikan ini?



“Hanya sekaleng susu, saya khawatir, Tuan Condon. Saat Anda hidup di tempat seperti ini Anda harus mengharapkan itu.” Kata seorang wanita. Dia menggenggam dan mengangkat tinggi sebuah teko ke udara, menunggu jawaban.

“Oh – tidak, jangan susu. Terima kasih.” Sejenak dia melupakan wanita itu dan menatap pemandangan yang tidak ramah diluar. Lalu dia mendekati wanita itu dan mencoba mengobrol walaupun cuacanya terlalu panas untuk bergabung dengan pesta minum teh yang konyol itu. Wanita itu bahkan mengganti pakiannya!

“Apa Anda sudah lama tinggal disini, Nyonya Hastings?”

“Tidak. Harold datang kesini sebagai seorang menejer dua tahun lalu – itu terjadi sebelum saya menikah dengannya. Saya tidak mengerti mengapa dia tinggal di tempat seperti ini! Kami mengharapkan suatu pekerjaan di kota secepat kami bisa mendapatkan sebuah rumah. Tentu saja bayarannya bagus, itu benar. Tapi tujuhpuluh mil dari kota terdekat – bayangkan! Dan sejujurnya, Tuan Condon, Saya tidak berfikir kalau kehidupan di kota cocok untuk saya. Anda tahu, rumah lama saya ditepi sungai, cukup dekat ke pertokoan di kota – tepat ditengah-tengah. Tapi kalau Charlotte Downs – saya selalu berkata, “pemandangan terbaik Charlotte Downs adalah dari kaca saat kau pergi menjauh.”

Tuan Condon tertawa kecil, “Jadi, siapa pemilik tempat ini sebenarnya?”

“Oh, milik sebuah perusahaan, seperti kebanyakan tempat tua lain disini. Tidak akan ada orang yang memilih untuk tinggal disini, ‘kan? Saya tidak tahu sudah berapa lama mereka memilikinya. Kami kadang mendapat suatu kunjungan dari orang-orang penting – dengan mobil-mobil besar, anda tahu, dan pakaian yang bagus – tapi hanya dimusim dingin.” Ia agak marah lalu tertawa kecil. “Mereka tidak perlu tahu seperti apa akhir tahun disini, ‘kan?”

“Lalu, anda tidak tahu apakah ada bangunan-bangunan asli yang masih berdiri?”

Wanita itu terlihat bosan. “Tidak. Saya tidak pernah menanyakannya. Tapi Bertha mungkin tahu – dia selalu bekerja dirumah ini. Ayahnya bekerja disini dengan teko sepanjang hidupnya. Jika anda ingin bertanya kepadanya…”

“Baiklah, sebenarya saya memiliki sebuah alasan khusus, anda tahu.” Dia mulai menjelaskan. Tapi wanita itu tidak tertarik dengan alasannya.

“Bertha.” Dia memanggil seseorang dengan menghadap ruangan gelap diluar beranda. “Kemari sebentar.”

Senjenak sunyi, kemudian pintu dibelakang pria itu terbuka, lalu dia berbalik. Bertha datang mendekat – berumur lebih dari empatpuluh tahun, berkulit cokelat tua, bertelanjang kaki, dengan pakaian yang lusuh, berjalan penuh rasa sakit dengan kaki yang kurus kecil.

“Ya, Nona?”

“Panggil saya Nyonya Hastings, Bertha, bukankah saya sudah pernah mengatakannya kepadamu. Pria ini , Tuan Condon, ingin mengetahui sesuatu tentang bangunan-bangunan disini.” Dia menaruh rokok dan pergi dengan tidak sabar.

“Saya hanya bertanya pada nyonya Hastings…” – Condon berkata karena tidak enak hati – “Apakah ada bangunan-bangunan asli yang tersisa, yang pertama kali dibangun disini.”

Bertha mengangkat lengannya yang kurus. “Diluar sana, didekat pohon hijau besar, anda lihat?”

“Ya.” Jawab Condon.

“Itu adalah rumah tua, ayahku yang mengatakannya beberapa tahun lalu. Lihat, rumah itu terbuat dari papan. Mereka menggunakannya sebagai tempat penyimpanan – kayu, cat, dan lainnya. Hampir ambruk, Anda lihat?”

“Apakah ayahmu – apakah dia pernah mengatakan kepadamu tentang orang-orang yang membangun pondok itu? Orang-orang memanggilnya keluarga Condon.”

Wajah Bertha tidak menunjukkan apapun. “Tidak. Saya sedang memasak, Nona – maksudku, Nyonya Hastings. Sebaiknya saya pergi dan melihat masakan saya.”

Nyonya Hastings berjalan kearah Condon, pendengarannya jelas sekali. “Ada pertanyaan lain, Tuan Condon?”

Condon menggelengkan kepalanya dan berterimakasih kepada Bertha. Tidak ada yang tersisa disana. Tahun-tahun berlalu, debu dari musim-musim kemarau dan basahnya musim hujan sudah menghapus semua yang pernah ada. Tapi dia tetap ingin melihat bangunan itu sebelum dia pergi.

“Katakan padaku,” Nyonya Hastings bertanya, hanya sedikit penasaran, “berapa tahun yang lalu saat keluarga Anda disini?”

“Kakek moyang saya meninggal disini pada tahun 1865.”

“Ya tuhan! Dan anda masih tertarik dengan hal itu?” kata nyonya Hastings. “Apa Anda ingin pergi dan melihat bangunan itu, mungkin?”

Condon berdiri, “Ya, terimakasih. Saya harus segera pergi. Saya ada janji di kota malam ini.”

“Silakan anda pergi sendiri kesana.” Kata Nyonya Hastings. “Saya tidak akan keluar, udaranya terlalu panas. Tapi saya akan kembali untuk mengucapkan selamat tinggal. Tidak banyak tamu yang datang kesini.” Matanya dengan jelas menunjukkan kalau persoalan pengunjung disini adalah suatu kekecewaan yang nyata.

Condon berjalan menuruni tangga dan mendekati bangunan tua. Sambil meninggalkan beranda yang teduh, udara panas membawa helaan nafasnya. Menurutnya bulan November adalah bulan terburuk untuk pergi ke daerah barat laut Queensland. Jika perusahaannya mengirimnya kesana lagi untuk urusan bisnis, dia akan mencoba menolaknya. Nama kota itu Hambleton – kota yang membuatnya berhenti. Jadi, masih ada, fikirnya, Hambleton, nama yang muncul didalam buku harian tua yang sekarang tulisannya sudah menjadi merah muda, seperti darah kering diatas kertas. Jadi, tempat itu benar-benar ada. Kemudian dia memutuskan untuk melihatnya.

Bangunan kecil itu nampak buruk sekarang, tapi dia bisa melihat kalau bagnunan itu dibuat dengan sungguh-sungguh. Dia teringat akan cerita selama gedung itu dibangun, tertulis didalam buku harian, bulan demi bulan; memilih pepohonan, memotongnya, membuat papan, menggabungkan semuanya, kemudian memasang atap dan membuat lantai.

***

Ellen dan anak-anak pindah ke rumah itu kemarin. Sebuah pilihan terbaik daripada sebuah kereta kuda, dan mereka sangat senang. Masa depan terlihat bagus, dan ternaknya baik-baik saja.

***

Ia membungkuk untuk melihat bagian-bagian rumah yang terbuat dari kayu itu, hampir satu abad lamanya – ya, Stephen Condon tua sudah mengetahui pekerjaannya. “Tapi untuk apa aku mengetahuinya?” Dia bergumam dengan sedih. Oleh karena itu, jelas baginya jika pada akhirnya Stephen akan bangga dengan karyanya sendiri melalui cara yang tidak pernah diketahuinya.

Dibagian dalam, bangunan itu dipenuhi berbagai jenis sampah, dirawat lalu ditinggalkan oleh pemilik yang berbeda bertahun-tahun yang lalu. Dua roda tua untuk kereta kuda tersandar di pojok, ada beberapa papan kayu, logam-logam tua berukuran kecil yang aneh, tonggak kayu, untaian tali, kotak kosong, dan benda-benda rusak lain yang dilupakan – semuanya tertutup debu putih tebal. Bagian dalam rumah itu menghilang dibaliksampah tersebut.

Dia bisa melihat tempat dimana dulu terdapat sebuah jendela. Tempat dimana dia melihat Ellen, nenek moyangnya, yang datang dan hidup dalam fikirannya melalui lembaran buku harian itu. Disana nenek moyangnya duduk dan menjahit; disana nenek moyangnya bersandar, lemah karena sakit, sementara dua anaknya panas karena demam berada ditempat tidur yang keras; disana nenek moyangnya mengenal kesepian, ketakutan dan kebahagiaan. Ellen – berumur 17 tahun saat menika, 20 tahun saat ia datang ke Australia dari perbukitan hijau yang teduh di Devonshire, 22 tahun saat meninggal dunia, Ellen yang menyukai burung dan menyimpan beberapa potong roti untuk diberikan kepada burung-burung itu, Ellen yang membenci ular dan kehilangan putrinya karena gigitan ular. Dan disana, didekat cerobong asap, terdapat sebuah meja. Dia membayangkan Stephen yang sedang memotong kayu, membuat meja, dan memberikannya kepada Ellen.

Tetapi udara panas di pondok kecil itu membawa Condon kembali ke pintu. Dia bersandar diluar pintu sambil menghela nafas dan melihat sekeliling bangunan-bangunan rumah lalu kearah pepohonan kering dan tanah yang gersang.

Para pelopor. Betapa bodohnya orang-orang yang membicarakan tentang mereka. Pada akhirnya, para pelopor itu hanya manusia biasa seperti yang lainnya – mereka bukan orang-orang yang baik, atau lebih kuat, atau bahkan lebih baik. Jika mereka bisa memilih maka tidak akan ada orang yang memilih untuk hidup di tempat seperti ini, dia bisa membayangkan ucapan Nyonya Hastings. Atau justru orang-orang itu benar-benar berbeda? Apakah mereka menemukan makna yang lebih dalam, tujuan yang lebih baik, dalam hidupnya – lebih dari yang diketahui oleh nyonya Hstings dan dirinya, John Condon? Hal itu tidak berguna untuk ditanyakan – kau tidak bisa tahu lebih banyak selain apa yang diucapkan buku harian kepadamu.

Dan apa yang dikatakan buku itu tentang pondok mengerikan yang berada disampingnya? Kematian, kematian, dan kematian; harapan yang hilang, lalu hidup kembali; kesepian, kebodohan, kelaparan yang menjanjikan kematian – kemudian tulisan tangan terakhirnya menangis: istriku meniggal dunia. Tidak ada namanya, tidak pernah disebutkan lagi, dan buku harian itu berakhir.

Secara tidak sengaja Condon menemukan tempat istirahat, didekat laut, dibawah panasnya kota bagian utara, dimana Stephen Condon biasa menghabiskan waktunya untuk membaca koran-koran lama. Impian Stephen Condon tiba pada sebuah akhir yang menyedihkan; dia pergi dari Charlotte Downs, tidak meninggalkan apapun kecuali makam dibelakangnya. Dia mengemudi dan membawa putranya yang masih hidup, tigaratus mil kearah kota bagian utara itu, dan meninggal disana.

Apa yang terjadi setelahnya? John Condon tidak mengetahuinya. Hanya buku harian itu yang tersisa, ditemukan diantara lembaran kertas tua saat ayahnya meninggal dunia. Pada bagian sampul ayahnya menulis “Buku harian kakekku?”dan Stephen Condon menghilang dibalik tanda tanya itu, menjadi sebuah masa lalu yang hilang.

Lalu mengapa dia, John Condon, datang ke tempat itu? Tidak ada yang dia dapatkan selain rasa sakit kepala. Apakah dia ingin kembali ke tempat itu, sebuah daerah dengan panas yang mengerikan, dimana mata dan kepalamu seperti terbakar? Hal itu mungkin terjadi jika dia mampu membeli tempat itu – dan tentu saja dia tidak mampu – tidak, sebenarnya da benar-benar tidak menginginkannnya. Dia menutup pintu dan mencari tempat berteduh. Dia akan pergi sesegera mungkin setelah dia menemukan wanita itu dan mengucapkan perpisahan. Kematian! Tempat itu dipenuhi oleh kematian.

Terdapat sebuah tempat berteduh disekitar dinding yang mengelilingi pondok itu. Diantara panasnya udara dan sinar matahari yang membakar, dia melihat sebuah tempat teduh lalu berajalan mendekatinya sambil bersyukur. Kemudian dia memandang dedauan hijau rindang diatas kepalanya yang bergerak perlahan karena tertiup angin, menghasilkan kesejukan. Itu adalah sebuah pohon ara yang menangis.

***

Hari ini Ellen menanam pohon ara Port Jackson. Sepertinya mustahi pohon itu bisa bertahan, tapi dengan segala cara dia tetap menjaganya agar tetap hidup dekat kereta kuda. Kami menanamnya untuk masa tua kami dengan sebuah kursi dan meja dibawahnya, walaupun tingginya sekarang hanya satu kaki. Pohon itu akan menciptakan suatu kesejukan yang indah untuk taman kami…

***

Hari yang sangat sulit dan menyedihkan bagi kami berdua. Hari ini kami memakamkan Jane kecil dekat pohon ara itu. Ellen bilang kalau kami harus memakamkannya didekat rumah.

***

Semalam Ellen baru saja melahirkan seorang anak laki-laki, tapi dia meninggal sesaat setelah dilahirkan. Ellen sangat terpukul dan lemah. Satu putra masih tersisa untuk kami…

***

Suatu perjalanan gila – suatu perjalanan hati, bukan kepala. Walaupun Condon tidak bisa merasakan, tapi saat dia memandang bayang-bayang biru-hijau pepohonan itu, dia merasakan suatu kemenangan. “Baiklah…” katanya dalam hati, walaupun dia tidak benar-benar tahu kenapa, “maanfaatnya muncul.” Ya, pohon ara itu selamat. Pohon itu masih hidup dengan daunnya yang hijau; disebuah tempat yang gersang, pohon itu berhasil bertahan hidup. Dan keluarga Condons yang meninggal sudah memberikan darah mereka untuk membuat pohon ini menjadi sesuatu yang bernyawa. Pohon itu lebih tinggi dari apapun yang bisa dia lihat. Keluarga Condons dan pemandangan gersang itu – disana mereka bertemu. Itulah sumbernya – itulah yang mereka inginkan.

Nyonya Hastings berjalan perlahan melewati rumput kering, topi penghalang sinar mataharinya bersinar merah muda. “Mari minum sebentar sebelum Anda pergi, tuan Condon. Anda sudah berada disini hampir satu jam! Menurutku matahari sudah membuat Anda sakit.”

Tiba-tiba dia menunjuk keatas pohon itu. “Nenek moyangku dan dua anaknya dimakamkan dibawah pohon ini.” Sekarang, mengapa dia mengatakan itu? Akhirnya dia sadar kalau dia bangga dengan kenyataan yang ada.

Nyonya Hastings sedikit menjerit, “tapi… sungguh mengerikan! Sekarang saya benar-benar tidak suka dengan tempat ini. Saya merinding setiap kali berfikir tentang makam. Mari kembali ke rumah. Tidak lama lagi suami saya akan kembali; saya yakin dia akan sangat senang bertemu dengan Anda.”

Pergi menjauh, John Condon kembali menjadi seorang pengusaha. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk datang ke kota demi memenuhi janjinya. Tinggi dan gagah diatas tanah gersang, pohon ara yang menangis itu menggerakkan daun-daunnya penuh kemenangan, tapi John Condon tidak melihat kebelakang. Dia sudah mendapatkan apa yang menjadi alasannya datang kesana.




***





Catatan:



Cerita ini berjudul "The Weeping Fig" karya Judith Wright.

Judith Wright (1915 – 2000) terkenal karena puisinya walaupun dia juga banyak menulis cerita pendek dan buku anak-anak. Banyak orang yang menganggap dia sebagai salah satu penyair terbaik  Australia di abad 20. Dia memiliki cinta yang dalam terhadap alam Australia. Selama bertahun-tahun dia berkerja menjaga lingkungan dan memperjuangkan hak asasi suku Aborigin. Dia disebut sebagai “Suara hati Australia”. Dan dia meyatakan bahwa “Saya akan tetap menjadi seorang penulis dan pelestari alam selama hidupku.”

Jumat, 15 Juli 2016

Karena Rusilla



 Penulis: Mena Abdullah dan Rey Mathew
Diceritakan kembali oleh: Christine Lindop
Penerjemah: Siti Nadroh






Hidup di kota yang baru berarti belajar tentang kehidupan yang baru, dan mempelajarinya diluar lingkungan keluarga tercinta, kau akan sadar bahwa tidak semua orang ramah. Rashida, Nimmi (yang menceritakan kisah ini) dan Lal adalah anak-anak keluarga suku Punjabi yang hidup di peternakan di Australia. Perjalanan pertama mereka ke kota memberi pengelaman baru untuk mereka – ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan dan ada juga yang sangat mengejutkan.


***

 
Sehari penuh – perjalanan ke kota, kata-kata ejekan untuk orang kulit hitam, ceret yang bernyanyi – semuaya karena Rusilla yang terbang jauh.

Rusilla adalah seekor burung kecil dan tidak ada yang memeliharanya di peternakan, tapi burung itu milik Lal. Kehilangannya adalah hal yang buruk dan menyedihkan bagi Lal.

Burung itu ditemukan oleh Rashida, oh bukan, tapi Rashida dan aku. Berada direrumputan dekat sungai, warna merah dan hijaunya berkilau saat burung itu mencoba terbang diantara rerumputan tinggi. Aku yang melihanya pertama kali dan menunjuknya. Tapi Rashida yang menangkapnya dengan perlahan. Lalu kami membawanya pulang untuk diberikan kepada Ayah. Baiklah, Rashida yang membawanya. Sebenarnya aku juga ingin memegangnya karena akulah yang menemukannya pertama kali, tapi Rashida tidak mengizinkanku dan aku tidak bisa memaksanya. Ia berhak menentukannya karena ia lebih tua dariku. Walaupun kami hanya anak-anak tepian sungai Gwydir, kami adalah keluarga suku Punjabi dan keluaga suku Punjabi tidak memohon atau mengemis.

Ayah memperhatikan burung itu. “Masih muda dan lemah.” Katanya. “Hampir mati.”

“Betul.” Kata Rashida dengan bangga. Ia mencoba meramal kehidupan seperti suku Punjabi. “Hampir mati.”

Rashida memberikan burung itu kepadaku dan aku mengambilnya dengan senang. Aku menggenggamnya dengan erat, terlalu erat mungkin. Kedua sayapnya bergerak dengan liar ditanganku dan aku bisa merasakan detakan aneh dibawah sayapnya, aku tahu kalau itu adalah detak jantungnya.

Jadi aku menggenggamnya lebih lembut dari sebelumnya. “Burung apa?” kataku. “ini jenis burung apa? Apa namanya?”

“Rusilla.” Jawab Ayah. “Burung ini disebut Rusilla.”

“Rusilla?” tanyaku. “Rusilla.” Nama yang bagus dan aku menyukainya.

Aku membawanya ke rumah dan memperlihatkannya pada Lal yang berusia empat tahun.

“Aku punya seekor Rusilla.” Kataku. “Ini burung yang langka, masih muda, lemah, dan hampir mati. Tapi kau bisa membantuku mencarikan makanan untuknya.”

Saat aku menaruh burung itu kedalam kandang anak ayam yang pernah hidup di taman, Lal berjalan mendekat dan wajahnya sangat seruis. Sejak hari itu, memelihara dan mencari makanan di taman untuk Rusilla menjadi tugas kami, Lal dan aku.

Taman adalah tempat yang indah dan menyenangkan. Taman itu tempat ibu kami, milik Ama sendiri. Dibalik dindingnya ada peternakan yang diisi oleh kambing, anak-anak ayam, Suleiman si ayam jantan, tempat dimana ayah berkerja, lebih jauh lagi ada bukit orang-orang Australia dengan wajahnya yang berbeda. Kami tidak pernah bertemu mereka, dan Ama – sebutan untuk ibu; Ama berarti cinta – Ama bilang kalau mereka sangat asing. Tapi semua selalu tampak asing bagi Ama kecuali taman ini.

Didalam tembok itu terdapat pedesaan yang ia kenal. Dingin dan indah dengan wangi dari berbagai jenis bunga, ada melati seperti bintang-bintang kecil, bunga violet putih, dan mawar Kashmiri merah muda yang kuncup seperti kepalan tangan bayi. Wangi masakan suku Punjabi dari dapur tidak berarti apa-apa ditempat itu. Disana juga ada Shahjehan si ayam betina. Lalu ada burung-burung liar berdatangan, burung magpie dengan suaranya yang keras yang membangunkan kami dipagi hari dan berkicau untuk kami dimalam hari, juga seekor burung hitam yang disebut “kokila” oleh orang india dan “koel” oleh orang Australia. Semuanya adalah burung yang suka bernyanyi yang datang dan pergi. Bagi Rusilla, taman ini adalah sebuah sangkar.

Taman ini juga sebuah sangkar bagi Lal. Ia seorang anak kecil yang baik dan anak laki-laki satu-satunya karena yang lainnya sudah meninggal setelah ia membuka matanya. Ama dan ayah sangat khawatir terhadap Lal, mereka menjaganya di taman. Rashida dan aku bisa berlari dengan bebas dipinggiran sungai, bertelanjang kaki dan berteriak kencang, tapi Lal tidak bisa keluar rumah tanpa ditemani orang dewasa. Ia harus tetap tinggal di taman bersama si bayi, Jamila, yang berumur enam bulan, yang menghabiskan hari-harinya dengan memasukkan genggaman tangan ke mulutnya , melihari daun-daun mawar terbang ke udara atau tidur sepanjang waktu. Dengan Jamila yang masih kecil itu, bisakah Lal bermain dengannya? Bagi Lal, Rushida adalah seekor burung sekaligus seorang teman dari surga.

Burung itu benar-benar menjadi milik Lal sejak aku tidak lagi tertarik dengannya. Aku bilang pada Lal kalau dia boleh memiliki burung itu, lagipula burung itu tidak berguna karena tidak pernah melakukan apapun selain berjalan mengelilingi kandangnya. Tapi Lal tidak peduli. Ia menyukai burung itu dan terus menatapnya selama berjam-jam.

Pada suatu pagi ketika kami bangun tidur, kami tidak melihat Rusilla, burung itu hilang. Kandangnya terbuka dan Salom si kucing menghilang. Burung-burung magpie berkicau dan Lal meggerakkan genggaman tangannya karena ia melihat ayahnya mengepalkan tangannya kearah matahari, lalu dia menangis.

Lal benar-benar menangis, air mata membasahi wajahnya, walau tanpa suara. Ia berlari mengelilingi taman – cepat dan lambat – melihat kesana kemari, mencari Rusilla. Tapi ia tidak berkata apapun.

“Ama,” kata Rashida, “biarkan Lal pergi ke sungai bersama aku dan Nimmi.”

“kami akan memperlihatkan bebek-bebek kepadanya.” Kataku. “Bayi mungil, Lal.”

Tapi itu bukan hal yang bagus. Ama berkata kepada ayah kalau itu bukan hal yang bagus, dan ayah tersenyum kecil, menggenggam tangan Lal dalam waktu yang lama. Tapi airmata masih membasahi wajah Lal dan setiap sore ayah pergi mengelilingi peterakan untuk mencari Rusilla. Burung dari surge itu sudah hilang.

Anak-anak tidur bersama di satu kamar dan malam itu Rashida dan aku terjaga dalam waktu yang lama karena mendengar suara Lal. Akhirnya kami naik ke tempat tidur besar dan mendekatinya.

“Lal sayang…” kata Rashida, “jangan menangis. Jangan menangis.” Aku melihat ada airmata yang mengalir dipipi Rashida lalu aku merasa kalau mataku mulai basah.

“Jangan menangis.” Kataku. Kemudian aku menangis, sangat kencang. Rashida yang juga menangis menjadi kesal kepadaku, lalu Ama tiba-tiba masuk ke kamar kami. Ia menggendong Lal kemudian memeluknya seperti bayi kecil.

“Ribut sekali.” katanya. “Pergi tidur.” Lalu Ama duduk dikursi bersama Lal dan berkata kepadanya dengan bahasa India dengan suaranya yang pelan – sangat pelan, tapi kami masih bisa mendengarnya. “Anakku,” katanya. “Anakku, jangan menangis lagi. Allah menciptakan burung untuk terbang. Jangan menangis. Tidak baik kalau kau diam didalam sangkar sementara kau memiliki sayap untuk terbang. Jangan menangis. Kau tidak bisa mengurung seekor burung. Kau tidak bisa menahan apapun, anakku.”

Lal duduk dekat dengan Ama, wajahnya merah karena menangis terus-menerus. Wajah Ama terlihat lelah tapi tiba-tiba ia tersenyum dan terlihat cantik. “Besok, Seyed akan mengajakmu naik kereta kuda dan kau bisa melihat kota.”

“Aku juga, Ama? Aku juga?” Rashida dan aku meloncat dari tempat tidur. Tidak satupun dari kami pernah pergi ke kota. Lal berhenti menangis.

“iya, kalian semua.” Jawab Ama. Ia membawa Lal ke kamarnya sementara Rashida dan aku berbisik-bisik dengan semangat tentang paman Seyed, Rusilla, dan kota.

Keesokan harinya paman Seyed datang dengan kereta kudanya. Kereta kuda itu selalu digunakan untuk ke kota dan sudah sangat tua. Dulu kereta kuda itu digunakan ayah saat pertama kali datang ke Australia. Dengan uang hasil kerja pertamanya ia membelinya. Masih ada namanya tertulis dibagian samping kereta.

Sudah lama kami tinggal disini tapi kami belum pernah pergi ke kota. Kami melompat dibagian belakang kereta sampai Seyed khawatir kami jatuh. Akhirnya dia mencoba mengobrol dengan kami, berharap bisa membuat kami diam.

“Lihat, itu lapangan yang bagus.” Katanya. Ia selalu berbicara menggunakan bahasa Inggris. “Dulu aku ingin ayahmu membeli lapangan itu, tapi tidak dia lakukan. Dia ingin pulang ke rumah untuk menikah. Aku bilang kepadanya kalau dia masih terlalu muda untuk menikah, tapi dia tidak mendengarku.” Seyed menggelengkan kepalanya lalu Rashida tertawa. Rashida tahu kalau ayahnya berumur empatpuluh tahun saat menikah. Seyed menggeleng lagi. “Ayahmu selalu bilang ingin menikah.”

Kapan kau akan menikah, paman Seyed?” Tanya Rashida. 

“Masih banyak waktu.” Jawab paman Seyed, dia berumur lima puluh tahun. “Masih banyak waktu.”

“Aku akan menikah denganmu.” Kataku, kemudian aku berfikir sejenak. “Nanti.” Tambahku, dan Rashida tertawa.

Percakapan itu berlangsung lama hingga matahari terasa membesar karena cahayanya yang panas disiang hari dan rumah-rumah seperti mendekat satu sama lain karena bayangannya. Saat kami menuju kota, tidak ada lagi kalimat yang diucapkan.

“Sebaiknya kalian menunggu disini, tidak terkena sinar matahari. Jangan berlari ke jalanan, aku akan kembali beberapa menit lagi.” Seyed menunjukkan jari peringatan kepada kami lalu meninggalkan kami. Kota itu kecil, lalu kami melihat kearahnya, melihat dengan serius.
 
“Apa itu?” Tanyaku sambil menunjuk ke sebuah bangunan yang sangat tinggi.

“Itu gereja.” Jawab Rashida.

“Lihat!” kata Lal tiba-tiba. “Rusilla.”

Kami melihatnya. Itu sebuah patung ayam jantan, berdekatan dengan sebuah patung lelaki disamping gedung. Patung itu terlihat sangat bagus dan kami terpukau melihatnya sementara Lal berceloteh tentang Rusilla dengan gembira, burung dari surga, dan bagaimana burung itu hidup disebuah rumah.

Karena Rusilla dan patung lelaki itu kami jadi tidak menyadari mereka. Tiba-tiba mereka sudah disana, anak-anak berkulit putih – seorang anak lelaki tinggi besar, seorang anak perempuan dan seorang anak kecil. Kami menatap mereka. Mereka juga menatap kami.

“What y’ wearin’ y’ pyjamas in the street f’r? (untuk apa kalian memakai baju tidur dijalanan?)” Tanya si anak lelaki tinggi besar.

“What y’ wearin’ y’ pyjamas in the street f’r?” Tanya si anak perempuan.

Kami menatap mereka dan aku mengulang pertanyaan itu dikepalaku, lagi dan lagi seperti sebuah lagu. What are you wearing your pyjamas in the street for? Aku tidak mengerti apa artinya tapi aku tahu kalau pertanyaan itu tentang pakaian kami. Kami semua berpakaian sama yaitu salwar kameez, sejenis terusan dan celana panjang dari katun. Pakaian jenis ini harganya murah dan mudah dibuat. Mengapa mereka menujuk, bernyanyi dan berulang kali mengatakan kata-kata pedas itu ?

“Negro.” Si anak lelaki tinggi besar mulai bernyanyi. “Tarik pelatuknya.”

“Negro. Negro. Tarik pelatuknya.” Yang lain mulai ikut bernyanyi. Mereka semua bernyanyi seperti sebuah game.

“Game!” teriak Lal. Selama ini dia hidup didunia perempuan dan dia anak lelaki satu-satunya, dan disini ada anak laki-laki lain. Lal berlari untuk bertemu mereka.

Si anak lelaki tinggi besar menangkap Lal dan memengang pinggangnya lalu mendorong Lal ke tanah. Aku menatapnya lalu berdiri karena terkejut, dan aku bisa merasakan kakiku mulai gemetar. 

Sur ka bucha!” kata Rashida. ”Sur ka bucha!” ia berteriak dan berdiri didepan si anak lelaki tinggi besar, lalu memukulnya dengan kepalan tangannya. Mulutku menganga karena ucapan Rashida itu berarti “anak babi” dan sangat kotor untuk diucapkan tapi aku mengikutinya dan berteriak “Sur! Sur!” dan melompat kehadapan si anak peempuan. Kedua tanganku menggenggam rambutnya.

Kami berkelahi – menendang dan memukul sementara Lal terkejut dan duduk di tanah – kemudian Seyed kembali.

Ai! Ai!” teriaknya saat ia melihat kami lalu berlari mendekat. Karena suaranya, perkelahian kami terhenti dan anak-anak itu berlari menjauh. Rashida berdiri menatap Seyed, terlihat kuat dan penuh kemarahan, tapi aku melihat kearah Seyed.

Seyed bertanya kepada kami apa yang sudah terjadi dan aku mengangkat kepalan tanganku yang berisi beberapa helai rambut berwarna terang dan mulai menangis. Dan tentu saja, membuat Lal ikut menangis; dia tidak bisa membiarkan satu pun dari kami menangis sendirian. Seyed mencoba tetap tenang. Ia menggendong Lal dan membersihkan debu ditubuhnya. Dia membersihkan rambutku dan berkata pada Rashida siapa yang terlalu angkuh untuk menangis, lalu dia menyeka hidung Rashida.

“Antarkan kami ke rumah.” Perintah Rashida. “Antarkan kami ke rumah sekarang.”

“Aku ada keperluan di bank. Tidak bisa pulang sekarang.” Tapi dia bisa melihat kalau Rashida sudah hampir menangis, jadi dia menyuruh kami untuk cepat duduk di kereta kuda itu dan membawa kami melewati jalanan. Kami bersandar dan tidak satupun dari kami yang melihat keluar.

“Kita akan pergi kemana?” tanyakyu dengan suara yang sangat kecil sehingga Seyed tidak bisa mendengarnya. Rashida mengubah posisi duduknya dan melihat keluar.

“Kita tidak pulang ke rumah.” Jawabnya, suaranya bergetar. DIa tetap duduk tegap, terlihat angkuh. Sementara aku tetap bersandar dan menangis di rambut Lal, menurutku Rashida terlihat sangat mirip dengan ayah dan berharap orang lain berfikir begitu juga terhadapku.

Seyed membawa kami ke sebuah rumah kecil dibagian lain dari kota dimana seorang wanita kulit putih tinggal disana. Dia bilang pada kami untuk tetap bersama wanita itu dan tidak membuat masalah karena wanita itu adalah temannya, dan jika kami berkelakuan baik dia akan kembali dan mengantarkan kami pulang dengan segera. Kemudian dia pergi ke kota sementara kami tetap di taman dan melihat ke tanah.

“Aku tidak tahu nama kalian.” Kata wanita itu.

Rashida yang tertua. “Namaku Rashida Bani. Ini adik perempuanku, Nimmi Kushil. Dan ini adik laki-lakiku – satu-satunya anak lelaki di keluarga kami – namanya Lal Muhammad. Kami datang dari peternakan Simla.”

“Aku tahu tempat itu.” kata wanita itu. “Aku tahu tempat itu dan aku kenal ayahmu sebelum kau lahir.” Kami menatapnya dengan sopan; dia pasti sangat tua. Kami tidak bisa membayangkan saat dimana ayah dan Ama belum memikirkan dan mengharapkan kami.

Wanita itu membawa kami kedalam rumahnya dan seperti wanita bijaksana lainnya, ia pergi dengan pekerjaannya dan meninggalkan kami sendirian. Kami berjalan mengelilingi rumah secara perlahan, melihat satu sama lain, dan melihat semuanya. Lalu kami memutuskan.

Rashida berdiri didekat piano. Dia menekan tombolnya. Lalu sesuatu yang hebat terjadi. Suatu nada keluar dengan kencang dan jelas. Kemudian menghilang, tapi kau tahu kalau nada itu tidak akan pergi karena kau sudah mengingatnya difikiran dan hatimu. Di menekan tombol lainnya dan setelah nadanya mulai terdengar, dia menyanyi. Kemudian ada dua nada yang sama dan berbeda tapi lagi-lagi nada piano itu menghilang dan tersimpan difikiranmu. Lal tertawa dan aku berdiri mendengarkan semetara Rashida mencoba nada lain yang berbeda. Beberapa bernada tinggi dan ada juga yang bernada rendah, dan dia bernyanyi sebisanya dengan semua nada itu. di rumah, dia selalu bernyanyi dan dia tahu semua lagu milik Ama.

Aku duduk dilantai dekat Rashida dan membalikkan halaman majalah. Halamannya bersinar dan wangi. Ada gambar besar dan aku mendekatkan kepalaku untuk melihat dan menciumnya dan aku benar-benar menyukainya.

Lal mulai berbicara pada seeker kucing hitam yang tidur dibawah meja. Ia berbicara dengan gembira dalam waktu yang lama tapi kucing itu bangun dan berjalan memasuki ruangan lain. Lal mengikutinya.

Tiba-tiba terdengar suara siulan keras dan teriakan Lal. Rashida dan aku bangkit dan berlari mengejar Lal. Dia berada di dapur, berdiri didepan kompor. Diatas kompor itu ada sebuah ceret, sebuah ceret yang bernyanyi. Ia menunjuk ceret itu.

“Lihat.” Katanya. “Dengar.” Kami tidak percaya. Kami bertiga berdiri disana dengan mata terbuka lebar karena terkejut. Sebuah ceret bernyanyi, bernyanyi dengan suara yang jelas dan tinggi.

“Seperti seekor burung.” Kata Rashida.

“Sulap.” Kataku.

“Russila.” Kata Lal.

Wanita itu masuk dan mengangkat ceret itu sambil mematikan kompornya. “Ceret ini bernyanyi untuk memberitahu kalau airnya sudah panas.” Katanya. “Aku melihat pamanmu berada dijalan kembali kesini dan menaruh ceret ini untuk membuat teh.”

Lalu kami duduk untuk minum teh dan makan kue juga mengobrol seperti sebuah keluarga. Sekarang kami menyukai wanita itu, wanita baik hati dengan piano dan majalah, kucing dan ceret itu. Kami bercerita tentang peternakan, tentang rusilla dan taman dimana Lal tinggal, juga tentang Jamila si bayi mungil dan tentang betapa lama waktu tidurnya. Kami menceritakan apapun kepadanya dan dia mendengarkan, tertawa dan tersenyum sementara Seyed minum teh hitam penuh gula. Lal juga bercerita. Ia bercerita kepada Seyed dengan sangat serius tentang ceret luar biasa yang benyanyi seperti seekor burung.

Kemudian kami keluar mendekati kereta kuda milik Seyed. Kami berdiri sejenak di taman untuk mengucapkan selamat tinggal dan wanita itu memetik dua tangkai mawar lalu memberikan yang berwarna merah pekat ke Rashida dan setangkai mawar merah muda kepadaku.

“Untuk gadis-gadis yang baik.” katanya. Lalu ia melihat kearah Lal dan mengusap kepalanya. “Aku tidak bisa memberi bunga kepada seorang laki-laki.”

Wajah Lal menunduk dan kami khawatir dia akan menangis, tapi dia hanya terlihat sedih dan Seyed menggendongnya menaiki kereta kuda. 

“Jangan pergi.” Kata wanita itu. “Tunggu.” Lalu dia masuk kedalam rumahnya.

Kami semua sudah duduk di kereta kuda dan siap pergi saat dia keluar. Dia membawa ceret itu. “Ini untukmu.” Katanya dan ia memberikan ceret itu kepada Lal. “Aku masih punya dua.”
 
Lal menatap ceret itu tapi Seyed menatapnya penuh makna, dan separuh hatinya  ingin mengambil ceret itu dan mengembalikannya. Bahkan Lal juga tahu kalau laki-laki suku Punjabi tidak menerima hadiah dengan mudah.

“Biarkan dia membawanya.” Kata wanita itu. “Seorang teman memberimu sesuatu yang sudah menjadi miliknya.” Seyed terlihat berfikir, lalu dia tersenyum, sebuah senyum yang bagus. “Kau wanita suku Punjabi.” Katanya.
 
Sekarang ceret itu menjadi milik Lal. Sepanjang perjalanan ke rumah, kami menggenggam hadiah kami masing-masing, bahkan saat kami tertidur. Tapi kami terbangun ketika sudah hampir sampai di rumah. Kami melompat mendekati Seyed yang khawatir kami akan jatuh. Kami mendengarnya berdoa kepada Allah untuk menjaga kami hingga dia mengantarkan kami ke rumah dan bertemu ayah.

Matahari mulai tenggelam saat kami melihat rumah kami. Hari itu berakhir. Burung-burung terbang kembali ke pepohonan dan ada suara-suara kecil dari hewan malam yang mengantuk.  Juga tercium bau asap kayu dan masakan, dan disana, didekat pintu, ada Ama dengan si bayi dalam gendongan dan sebuah senter di tangannya.

“Tidak lagi.” Kata Seyed Muhammad dengan serius (tapi tidak sungguhan) saat dia membantu kami turun dari kereta kuda. “Aku tidak akan membawa anak-anak mengerikan ini lagi ke kota, selama Allah membiarkanku hidup.”

Kami semua menertawakannya dan kami memberikan bunga mawar untuk Ama agar dia bisa mencium wanginya. Tapi Lal memaksa berdiri diantara kami.

“Lihat, Ama.” Katanya sambil mengangkat ceret miliknya, “Rusilla.”




***






Catatan:

Cerita ini berjudul "Because of the Rusilla" karya Mena Abdullah dan Rey Mathew.

Mena Abdullah (1930–) adalah putri dari seorang imigran suku Punjabi di Australia. Ia hidup di daerah peternakan kambing dekat sungai Gwydir di New South Wales. Selama beberapa tahun ia bekerja Organisasi Persemakmuran dan Penelitian Ilmiah, dimana ia bertemu dengan Rey Mathew (19292002). Bersama-sama mereka menulis sebuah kumpulan cerpen berjudul The Time of the Peacock (1965) termasuk cerita Because of the Rusilla. Mena Abdullah terus menulis cerita pendek yang kebanyakan tentang kehidupan sebagai muslim di Australia. Rey Mathew menghabiskan sebagian besar hidupnya di luar Australia sebagai penulis naskah dan kritikus seni.