Oleh: Siti Nadroh
“Ohayo minna-san… lihat lihat, minggu
kemarin aku baru saja pergi berlibur ke Hawaii bersama keluargaku. Kami naik
kapal pribadi milik ayahku, hadiah dari perusahaan
tempatnya bekerja. Fotonya bagus-bagus kan.” Ucap seorang anak laki-laki
berpenampilan rapi saat melangkah kedalam kelas. Semua anak yang sedang
mengobrol langsung menoleh kearah datangnya suara, mulai berkumpul mendekati
anak tersebut.
“Indah
sekali pantainya.” Ucap Keiko, salah satu teman sekelas Nakashima. Ia terkagum-kagum
melihat foto-foto tersebut. “ Tapi… Hawaii itu kan jauh, hebat sekali kamu bisa
pergi berlibur kesana.” Ucapnya dengan sangat polos. Ia tidak sadar bahwa
ucapannya tersebut hanya akan menambah kesombongan Nakashima saja.
“Tentu
saja bisa. Ayahku akan menuruti apa saja yang aku inginkan. Biasanya kami pergi
berlibur ke Eropa, tetapi karena kemarin waktu liburan ayahku tidak lama, maka
aku memilih Hawaii sebagai tujuan liburan kami kali ini yang jaraknya paling
dekat dari Tokyo.” Dari nada suaranya sangat terlihat bahwa ia ingin dipuji
teman-temannya.
“Suatu
saat nanti aku akan berlibur kesana juga.” Keiko bergumam pelan.
Nakashima
yang sedari tadi memperhatikan raut wajah Keiko langsung berkomentar, “Kamu
sih mana mungkin bisa pergi kesana. Semua teman-teman disini juga tau kalau
ayahmu sangat sibuk membangun gedung-gedung tinggi itu. Bahkan ketika ada
kunjungan orang tua ke sekolah saja ayahmu tidak pernah hadir. Sepertinya ia
tidak punya waktu untukmu. Kasihan sekali kamu.” Ucapnya dengan nada menyindir.
“Itu
tidak benar! Tidak lama lagi ayahku pasti pulang ke Tokyo dan mengajakku pergi
berlibur bersama Ibu.” Keiko berkata sambil menahan tangis. Kemudian ia
berlari keluar kelas, tak bisa lagi menahan airmatanya. Teman-temannya yang
lain saling melirik, terdengar juga tawa kecil diantara mereka.
***
Pagi
itu, setelah libur tahun baru, Nakashima, murid kelas 4B yang berasal dari
keluarga kaya kembali memamerkan kisah liburannya kepada teman-teman
sekelasnya. Sudah menjadi kegiatan rutin baginya untuk melakukan itu setiap
hari pertama sekolah setelah libur panjang. Dan sudah bisa dipastikan
teman-temannya yang lain hanya bisa iri saja terhadapnya, termasuk Keiko. Ia
bahkan jarang sekali pergi berlibur. Ayahnya seorang kontraktor bangunan di kota
Kagoshima. Jaraknya yang cukup jauh dan pekerjaannya yang seolah tidak pernah
berhenti membuat ayahnya tidak bisa pulang setiap hari. Maka ia hanya
mengunjungi Keiko dan ibunya beberapa bulan sekali saja dan waktunya tidak
bisa ditentukan.
Pernah
suatu ketika ayahnya pulang ke Tokyo. Saat itu Keiko sedang ujian kenaikan
kelas sehingga ia tidak bisa bolos demi pergi berlibur dengan ayahnya.
“Berapa
lama ayah di Tokyo? Bisakah ayah pergi berlibur dulu denganku dan ibu sebelum
kembali ke Kagoshima?” Tanya Keiko disuatu malam saat mereka berkumpul di
ruang keluarga. Ia sangat berharap ayahnya akan memberi jawaban yang ia
harapkan.
“Tiga
hari lagi ayah harus kembali ke Kagoshima,Sayang. Maafkan Ayah.”
“Ujianku
juga tinggal tiga hari lagi. Ayah minta izin cuti saja, kita pergi ke festival
musim panas. Sehari saja. Ya?” Keiko masih mencoba meluluhkan hati ayahnya.
“Maafkan
ayah sayang, tetapi kali ini ayah benar-benar belum bisa pergi berlibur
denganmu. Pekerjaan ayah sedang banyak sekali, tidak bisa ditinggalkan untuk
waktu yang lebih lama lagi.”
“Ayah
selalu begitu. Kerja. Kerja. Kerja. Saat perayaan Tanabata kemarin juga ayah bilang
begitu. Ayah tidak sayang aku. Harusnya ayah tidak usah datang saja saat aku
sedang ujian seperti sekarang ini.” Keiko mulai menangis.
“Bukan
begitu, Sayang. Lain kali ayahmu pasti bisa berlibur bersama dengan kita.” Ucap
ibunya mencoba menenangkan putrinya. Keiko hanya diam, memainkan pensilnya dan
mencoret-coret bukunya.
“Ayah
janji. Musim gugur nanti kita pasti akan pergi berlibur bersama. Kita akan
mendaki gunung. Menikmati suasana alam yang indah. Ayah akan berusaha!”
“Ayah
tidak bohong kan?”
“Tentu
saja tidak. Janji!.” Ayahnya mengangkat jari kelingking kanannya, membuat
simpul dengan jari kelingking Keiko.
“Janji.”
Ucap Keiko, tangan kirinya sibuk menyeka air mata dipipinya.
***
Beberapa
bulan kemudian, tepatnya saat musim gugur tiba dan dedaunan yang tadinya
berwarna hijau mulai berubah menjadi warna merah atau kuning, harapan Keiko
untuk bisa berlibur dengan ayahnya ternyata belum juga tercapai. Ia mendapat
kabar dari ibunya bahwa perusahaan tempat ayahnya bekerja sedang mengerjakan
proyek besar yang sebenarnya tidak dipahami oleh putrinya itu, tetapi ia
mengerti apa maksud dari ucapan ibunya. Ayahnya tidak bisa meninggalkan
pekerjaannya. Waktu libur yang biasa dimanfaatkan untuk pulang ke Tokyo pun
terpaksa digunakan Ayahnya untuk tetap bekerja. Mengurusi pekerjaannya.
Mendengar kabar
itu, ditambah dengan sindiran Nakashima pagi tadi menambah kesedihan di
hatinya. Di kelas ia hanya terdiam, dan tidak bersemangat seperti biasanya.
“Sudahlah
tidak usah dipikirkan. Nakashima kan memang begitu orangnya.” Shimita, teman
sebangku Keiko mencoba menghibur.
“Tapi
kan aku juga ingin pergi berlibur. Bahkan pergi piknik ke Kyoto menikmati makan
siang bersama dibawah bunga sakura yang sedang bermekaran saja aku belum pernah.”
“Tidak
lama lagi kan sakura mekar, dan sekolah kita akan pergi Hanami ke Kyoto bersama
dengan orang tua kita juga, kalau tidak salah sekitar bulan Maret. Coba saja
kamu minta ayahmu untuk pulang ke Tokyo dan pergi Hanami bersama kita nanti.”
“Oiya ya, aku hampir saja lupa, dan yang kutau
disana bunga sakuranya sangat indah, suasana di kuil Osshiro dan Otera juga tak
kalah segar. Aku ingin pergi kesana.” Keiko bergumam, ia tersenyum.
Sepulang
dari sekolah ia langsung menyambar telepon yang tidak jauh dari tangga menuju
kamarnya, ia tau saat ia pulang sekolah berarti ayahnya sedang makan siang,
maka ia tidak ragu ataupun takut untuk menelpon ayahnya. Kan tidak sedang bekerja. Fikirnya.
Satu persatu ia
menekan tombol telepon berdasarkan nomor ponsel ayahnya. Nada tuut tuut tuut terdegar lama. Membuat ia
semakin tidak sabar untuk segera mendengar suara ayahnya.
“Halo.”
Terdengar suara khas ayahnya diseberang sana.
“Halo
ayah, sedang apa? aku tidak mengganggu kan?”
“Iya,
Sayang. Ayah sedang makan siang. Kamu sudah pulang sekolah? Bagaimana harimu di
sekolah tadi?”
“Sudah.
Umm… Menyenangkan.” Jawabnya singkat. Bukan
ini hal yang ingin aku bicarakan. Batinnya. “Ayah, apakah bulan maret nanti
saat sakura mekar ayah bisa pulang? Di sekolah akan diadakan piknik bersama ke
Kyoto untuk menikmati sakura. Ayah bisa menemani aku kan?”
“Ayah
belum bias pastikan, Sayang. Sesegera mungkin akan ayah kabari ya.” Dari
suaranya, Keiko tau bahwa ayahnya masih ragu.
“Yah….
Ayolah, kali ini saja ayah. Sebab diundangannya tertulis “pergi piknik bersama Ayah dan Ibu”. Maka ayah dan ibu harus ikut
menemani aku. Ayolah… kumohon.” Keiko memelaskan suaranya demi membujuk
ayahnya.
“Baiklah
sayang, akan ayah usahakan.”
“Terimakasih
ayah. Selamat bekerja kembali. Aku sayang ayah.” Seketika nada suara Keiko
berubah riang seperti saat ia melihat salju turun di hari pertama musim dingin.
Ayahnya disebrang sana hanya tersenyum, mulai berfikir untuk mengajukan cuti
selama seminggu demi putrinya dan berharap-harap cemas akan mendapat izin cuti
dari perusahaannya.
Hari
demi hari Keiko dengan sabar menunggu kabar dari ayahnya. Sesekali ia bertanya
kepada ibunya, namun jawaban ibunya masih sama, “belum ada kabar sayang. Sabar
ya.Ayahmu pasti pulang.”
“Baiklah.”
Jawab Keiko lemas sembari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Setelah
hampir tiga bulan ia menunggu, pagi itu akhirnya ayahnya menelpon. Tepat sehari
sebelum keberangkatannya ke Kyoto.
“Halo
sayang. Ayah punya kabar baik untukmu, ayah diizinkan cuti selama satu minggu!”
“Benarkah?
Jadi ayah bisa pergi piknik denganku? Ayah tidak bohong kan?” Keiko senang
sekali mendengar kabar tersebut.
“Benar
sayang. Ayah tidak bohong. Ayah bisa ikut pergi Hanama denganmu dan kawan-kawan
di sekolahmu.” Ujar ayahnya senang.
“Asik…
Terimakasih ayah. Lalu kapan ayah akan pulang ke Tokyo? Kita harus persiapkan
semuanya.” Tanya Keiko bersemangat.
“Sore
nanti ayah akan pulang sayang. Tunggu ya.”
“Baiklah,
aku akan membuat boneka Teru-Teru Bozu dan menggantungnya di jendela kamarku.”
“Hahaha…Yayaya…
terserah kamu saja sayang, tapi ini kan musim semi, mana mungkin hujan.” Ledek
ayahnya, anaknya memang kadang polos sekali.
“Biar
saja, aku kan suka boneka itu, dan aku yakin seperti yang diceritakan Ayah jika
aku menggantungnya maka tidak akan turun hujan.”
“Baiklah
sayang, selamat membuat boneka. Ayah akan telpon kamu lagi nanti.”
“Oke!”
ucap Keiko. Percakapan siang itu membuatnya sangat bersemangat. Ia langsung
menaiki anak tangga, masuk ke kamarnya dan sibuk membuat boneka Teru-Teru Bozu.
“Nah,
Teru-teru yang manis, kamu harus membantu aku untuk membuat matahari bersinar
cerah besok. Jangan turunkan hujan ya. Sehari saja. Karena aku akan pergi
piknik dengan ayahku melihat sakura. Besok adalah hari yang penting untukku.
Jadi bantulah aku.” Ia berkata sendiri sebelum menggantungkan boneka Teru-Teru
Bozu yang telah selesai ia buat.
Setelah
menggantungkannya, ia bersiap tidur. Sambil memandang boneka yang berayun
terhempas angina malam itu ia bergumam, “Besok akan menjadi hari yang sangat
mnyenangkan.” Kemudian ia terlelap dalam tidurnya.
***
Hari
yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, namun betapa kecewanya Keiko saat
mengetahui bahwa hujan turun sangat deras pagi itu, perkiraan cuaca di televisi
bahkan mengatakan bahwa hujannya akan berlangsung seharian penuh disertai angin
kencang.
“Yaaahhh…
Kenapa hujan? Padahal aku sudah susah payah membuat lima boneka Teru-teru bozu
untuk menghalangi hujan.” Ia kecewa sekali.
“Mau
bagaimana lagi sayang, pihak sekolah barusan telepon, katanya karena cuaca
buruk terpaksa acara piknik ke Kyotonya
dibatalkan.” Ayah berkata dengan sangat hati-hati.
“Menyebalkan
sekali. Bahkan untuk pergi melihat sakura saja aku tidak bisa. Aku memang anak
paling tidak beruntung di dunia.” Ucap Keiko sedih, ia mulai menangis.
“Kamu
tidak boleh berkata seperti itu sayang. Kalau besok cuaca cerah, kita pergi
ya.Tidak perlu menuggu kawan-kawanmu. Kita langsung pergi saja ke
Kyoto.”Ayahnya mencoba menghibur.
“Aku
tidak percaya. Ternyata cerita ayah tentang Teru-teru bozu yang bisa menahan
hujan agar tidak turun hujan itu bohong. Aku sudah malas. Jangan ganggu aku.”
Jawab Keiko, ia melangkah menuju kamarnya. Usaha ayahnya untuk menghibur
Keiko sama sekali tidak berhasil. Seharian ia hanya mengurung diri di kamar.
Turun hanya pada waktu makan, dan kemudian mengurung diri lagi. Hingga malam
tiba dan ia kembali terlelap.
***
“Keiko
sayang… Ayo bangun.” Kata ibunya dibalik pintu kamarnya.
“Sebentar
lagi bu, aku masih mengantuk, lagipula, hari ini kan sekolah masih libur. Aku
ingin tidur sebentar lagi saja.” Jawab Keiko setengah sadar.
“Apa
kamu tidak mau pergi melihat sakura hari ini? Ibu sudah mempersiapkan semuanya
lho. Ayo bangun.” Ucap ibunya, masih dibalik pintu kamar putrinya.
“Kemarin
kan hujan, pasti hari ini juga sama saja. Aku malas bu. Sudah tidak berminat
lagi.”
“Benarkah?
Coba buka jendelamu dan lihat cuaca pagi ini. Ayo bergegas!”
Seketika
itu Keiko langsung bangkit dari tempat tidurnya, ia membuka jendela dan
bersorak kencang, “Aaaahhhhh….. Cerah sekali. Ayo pergi piknik melihat Sakura
di Kyoto. Tunggu aku Bu.”
Pagi
itu, keriuhan terjadi didalam rumah Keiko. Setelah sekian lama menanti,
akhirnya impian Keiko untuk pergi berlibur bersama kedua orang tuanya tercapai
juga. Hari itu benar-benar menjadi hari yang menyenangkan baginya. Boneka
Teru-Teru Bozu yang menggantung di jendela kamarnya seolah ikut senang, ia berayun
lembut di hempas angin pagi yang sejuk setelah hujan sehari semalam kemarin.
THE END.
Daffodilss,
17 Juni 2015